Sukses

Satinah, Potret Buram Pahlawan Devisa

Sepertinya masalah TKI akan terus muncul selama pemerintah belum serius melindungi dan mengubah paradigma perlakuan TKI.

Liputan6.com, Jakarta - Nyawa tenaga kerja Indonesia (TKI) Satinah binti Jumadi Amad tinggal menghitung hari. Sebab, pada 3 April 2014, Satinah akan menghadapi hukuman pancung di Arab Saudi. Eksekusi tidak akan dilakukan jika ganti rugi dibayar 7 juta riyal atau Rp 21 miliar dibayar.

Pemerintah melalui perwakilan KJRI terus berupaya melakukan negoisasi dengan keluarga korban, namun hingga kini keluarga korban belum juga menyetujui penawaran diyath atau uang pengampunan dari KJRI. Mereka tetap meminta diyath 7 juta riyal.

Awalnya diyath yang diminta sebesar 15 juta riyal, kemudian turun menjadi 10 juta riyal pada 14 Juni 2011 setelah pemerintah negosiasi dengan gubernur di Arab dan keluarga. Diyath lalu turun lagi menjadi 7 juta riyal setelah pertemuan negosiasi pada Desember 2011.

Hingga kini Kemenlu telah mengumpulkan dana sebesar 4 juta riyal. Uang sebesar itu diperoleh dari APBN sebesar 3 juta riyal, dari donatur sebesar 500 ribu riyal. Serta, dari pengumpulan dana dari asosiasi tenaga kerja sebesar 500 ribu riyal.

Kasus Satinah bermula ketika dia ditetapkan sebagai pembunuh majikan perempuannya, Nura Al Gharib di wilayah Gaseem, Arab Saudi dan mencuri uang sebesar 37.970 riyal pada Juni 2007.

Satinah mengakui perbuatannya dan dipenjara di Kota Gaseem sejak 2009 dan hingga kasasi pada 2010 Satinah diganjar hukuman mati. Seharusnya, Satinah menghadapi algojo pada Agustus 2011. Namun, tenggat waktu diperpanjang hingga 3 kali, yaitu Desember 2011, Desember 2012 dan Juni 2013.

Nasib Satinah saat ini ada di tangan ahli waris korban. Jika tawaran uang diyath 4 juta riyal diterima, maka Satinah dipastikan akan segera bebas. Namun jika ditolak, kemungkinan besar nasib Satinah akan berakhir di tangan algojo 3 April 2014.

Kasus Satinah mungkin salah satu potret buram di antara ribuan masalah TKI yang berada di luar negeri. Potret buram seperti ini seakan terus menimpa TKI. Tuntas satu kasus, muncul lagi kasus lainnya.

Di sisi lain, pemerintah masih saja mengirimkan TKI ke luar negeri. Mungkin terlalu sayang bagi pemerintah, karena TKI merupakan penyumbang devisa negara terbesar. Maklum, negeri ini memang dikenal sebagai negara pemasok tenaga kerja terbesar ke berbagai negara.

Jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa atau terbesar keempat dunia menjadikan Indonesia mampu memasok tenaga kerja ke beberapa negara.  Ada sekitar 521 ribu jumlah warga Indonesia yang bekerja di luar negeri.

Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menyebutkan ada 3 negara yang kerap menghadapi masalah TKI. Periode 25 Maret 2014, Arab Saudi menjadi negara tujuan kerja TKI yang paling sering menghadapi persoalan.

Pada 2013, tercatat 3.769 TKI di Arab Saudi menghadapi permasalahan dari total pekerja 45.394 orang. Meski terbanyak, jumlah kasus TKI tersebut turun dibandingkan pada 2012 sebanyak 8.940 orang. Arab Saudi selama 4 tahun terakhir telah menjadi negara tujuan TKI yang paling banyak menghadapi persoalan.

Negara lain yang juga sering menghadapi kasus seputar TKI adalah Uni Emirat Arab. Di negara yang tengah gencar membangun ini, total kasus TKI mencapai 3.737 orang dari total pekerja 44.505 orang. Sama seperti Arab Saudi, jumlah kasus TKI juga menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 5.545 orang.

Negara Timur Tengah tampaknya masih menjadi daerah yang paling banyak menghadapi kasus TKI. Terbukti, di urutan ketiga sebagai negara paling banyak menghadapi kasus TKI adalah Qatar. Sebanyak 2.777 TKI dinyatakan bermasalah oleh BNP2TKI, menurun jika dibandingkan 2012 sebanyak 4.061 orang.

Dari total 19.741 TKI yang bermasalah sepanjang 2013, persoalan yang dihadapi para pekerja umumnya seputar pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak oleh para majikan. Masalah lain adalah sakit akibat bekerja dan gaji yang tidak dibayarkan.

Pemerintah Langgar Aturan Sendiri

TKI bermasalah kemudian menurun karena penerapan moratorium dan pengetatan proses rekrutmen. Namun pemerintah sendiri yang akhirnya mencabut moratorium tersebut, melalui keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang secara sepihak mencabut moratorium antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Arab Saudi terkait pengiriman TKI.

Pencabutan tersebut dilakukan Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi melalui penandatangani perjanjian bilateral (Memorandum of Understanding/MoU) terkait penempatan dan perlindungan TKI. MoU kedua negara tersebut ditandatangani di Riyadh, Arab Saudi pada 19 Februari 2014. Dengan demikian, moratorium atau penghentian sementara pengiriman TKI ke Arab Saudi itu berakhir.

Jelas pencabutan moratorium ini disayangkan banyak pihak, khususnya bagi Komisi IX DPR yang menangani masalah tenaga kerja. Seperti Anggota Komisi IX Okky Asokawati, ia menyangkan pencabutan moratorium tersebut. Sebab, menurut dia, belum saatnya mengingat masih banyak masalah TKI di negara tersebut yang belum terselesaikan dengan baik.

Selain itu, juga termasuk masalah-masalah pra-penempatan TKI dan sanksi terhadap Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) nakal. "Bagaimana Kementerian Luar Negeri bisa mengontrol TKI di sana juga belum terdata dengan baik sehingga dengan dibukanya kembali pengiriman TKI ke luar negeri khususnya ke Arab sebetulnya belum tepat," ujar Okki pada Selasa 4 Februari 2014.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung menyesalkan penandatanganan MoU RI-Arab Saudi tersebut. "Intinya, kalau memang betul ada pencabutan moratorium, seyogianya dikomunikasikan lebih dahulu dengan pimpinan DPR, juga dengan DPR secara kelembagaan. Sampai hari ini, kami belum mendapatkan informasi. Sungguh sangat ajaib kalau kemudian, tanpa melakukan komunikasi dengan DPR," kata Pramono di gedung DPR, Jakarta, Kamis 20 Maret 2014.

Senada dengan anggota Komisi IX DPR, Rieke Diah Pitaloka, jika melirik UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, tepatnya pasal 27 ayat 1, penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Indonesia atau tenaga kerja asing.

Dengan demikian, pemerintah melanggar aturannya sendiri dengan pencabutan moratorium tersebut. "Dengan ketentuan pada pasal di atas, maka sebenarnya pengiriman TKI ke Saudi adalah sebuah pelanggaran terhadap UU karena RI tak pernah punya nota kesepahaman dengan Saudi," kata Rieke, Rabu 19 Februari 2014.

Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah juga menyayangkan hal yang sama. Anis mengatakan, kendati langkah tersebut suatu kemajuan setelah 31 tahun belum ada kesepakatan di antara dua negara ini, namun ada hal yang dikhawatirkan. Sebab, kedua negara belum melindungi buruh migran.

"Bagaimana bisa memastikan bahwa kalau di dalam MoU ada hari libur, ada gaji yang dia harus bayar tiap bulan, ada akses berkomunikasi bagi keluarga, paspor dipegang oleh yang bersangkutan," kata Anis di Senayan, Jakarta, Kamis 20 Februari 2014.

Tetapi, menurut Anis di Arab Saudi masih berlaku 'kafalah system', bahwa dokumen TKI masih dipegang majikan. Jika seorang TKI hendak pergi atau pindah majikan harus atas izin majikan. Tanpa itu, pihak Imigrasi tidak bisa berbuat apa-apa. Maka itu, Anis menolak bila penandatanganan moratorium itu dikatakan sebagai jalan terbaik untuk perlindungan buruh migran.

Harunysa MoU tersebut diberikan masa transisi sejauh mana ini akan diimplementasikan, mengingat Arab Saudi sendiri kultur kebijakannya masih sangat patriarkis terhadap perempuan mereka sendiri. Apalagi, terhadap perempuan asing sebagai pekerja rumah tangga (PRT).

TKI di Arab Saudi akan sulit mendapat haknya pascapenandatanganan perjanjian itu, seperti hari libur. Akibatnya, dengan pencabutan moratorium bersamaan pengesahan MoU akan menempatkan buruh migran di posisi rentan. Apalagi, dulu moratorium diberlakukan mulai 1 Agustus 2011, ketika Ruyati dieksekusi mati dan ribuan TKI juga menghadapi eksploitasi dan saat ini moratorium dicabut saat Satinah 3 April nanti akan dieksekusi mati.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar mengatakan, penandatanganan MoU tersebut selain akan membuka kembali moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi, juga menjadi tonggak sejarah dalam hal penempatan dan perlindungan TKI di Arab Saudi. Sebab untuk pertama kalinya penandatanganan MoU perlindungan TKI antara pemerintah Indonesia dengan Arab Saudi berlangsung.

“Ini menjadi awal sejarah baru dalam penempatan dan perlindungan TKI kita di Arab Saudi. Dengan mengantongi perjanjian perlindungan yang selaras dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, TKI Kita dapat bekerja kembali di Arab Saudi," kata Muhaimin, 18 Februari 2014.

Menurut Muhaimin MoU tersebut akan memberikan kepastian hukum baik bagi pengguna maupun bagi TKI yang bekerja di Arab Saudi. Selain itu, penandatanganan perjanjian tersebut sekaligus memberikan kepastian jaminan perlindungan bagi TKI yang bekerja pada pengguna jasa.

Pahlawan Devisa?

Meskipun dijuluki pahlawan devisa, namun tetap saja tidak ada upaya perlindungan tegas dari pemerintah. Julukan hanya sekadar slogan belaka. Buktinya, sistem penempatan TKI masih berorientasi keuntungan. Pihak swasta secara tidak langsung mendorong pemerintah, namun tidak dibarengi dengan perlindungan serius.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Penempatan TKI (APJATI) Ayub Basalamah mengungkapkan, pemasukan Indonesia dari para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di luar negeri berkurang hingga lebih dari separuhnya. Turunnya pemasukan dari aktivitas remitansi ini dipicu keputusan pemerintah yang memberlakukan moratorium penempatan TKI ke Arab Saudi pada 1 Agustus 2011.

Jika sebelumnya, pasar TKI bisa memberikan kontribusi Rp 120 triliun per tahun dari bisnis remitansi. Kini, kiriman uang para pekerja di Timur Tengah tersebut berkurang tajam menjadi Rp 40 triliun-50 triliun. "Sekarang ada sekitar 70% yang hilang," ujar Ayub, Jakarta Selatan, Rabu 4 September 2013.

Ayub menjelaskan, sebelum moratorium berlaku, sektor perbankan di daerah tumbuh seiring banyaknya keluarga TKI yang mengantre mencairkan uang kiriman. Bank rata-rata harus melayani pengantre antera 200-300 orang per hari.

Sebagai contoh, dana kiriman TKI di wilayah Lombok mencapai Rp 300 miliar per tahun atau Rp 29 miliar per bulan. "Tapi setelah moratorium Lombok kehilangan Rp 360 miliar. Dan kondisi ini sama dihadapi semua daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan wilayah lain," jelasnya.

Melihat kondisi itu, APJATI mengusulkan dua solusi yang bisa menjadi pertimbangan pemerintah dalam masalah penempatan TKI. Pertama, pencabutan moratorium yang diharapkan mampu menggenjot kenaikan penerimaan remitansi. Kedua, peningkatan kualitas dan perlindungan TKI dilakukan melalui penataan sistem pelatihan dan sertifikasi.

"Nanti juga kami akan meningkatkan pembentukan Perwakilan Luar Negeri (Perwalu) setelah moratorium ini dicabut," tandas Ayub.

Di sisi lain penindakan terhadap pelaku kekerasan TKI sampai sekarang masih lemah, akibat tidak adanya perjanjian perlindungan yang jelas antara negara pengirim dan penempatan tenaga kerja. Selain itu juga masalah rendahnya kualitas TKI dan perdagangan manusia.    

Sepertinya masalah TKI tidak akan tuntas selama pemerintah belum serius melindungi dan mengubah paradigma perlakuan terhadap TKI sebagai pahlawan devisa sesungguhnya. (Anri Syaiful)