Liputan6.com, Jakarta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Satinah yang dinyatakan bersalah membunuh majikannya di Arab Saudi terancam menjalani hukuman pancung bila proses diyat tak memenuhi kesepakatan hingga tenggat waktu 3 April 2014.
Keluarga majikan meminta TKI Satinah membayar diyat Rp 25 miliar jika ingin bebas dari hukuman pancung. Pemerintah pun tengah mengupayakan negosiasi dengan keluarga majikan Satinah di Arab Saudi. Bala bantuan dari sejumlah kalangan di Indonesia dikumpulkan untuk menebus Satinah.
Namun menurut Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Hikmahanto Juwana, diyat merupakan tanggung jawab keluarga Satinah, bukan pemerintah Republik Indonesia (RI). Pemerintah hanya bisa mengawal proses hukum, termasuk mencarikan pengacara hingga pelaku menjalani masa hukuman.
"Pemerintah tidak seharusnya membayar diyat yang diminta oleh keluarga korban pembunuhan yang dilakukan oleh Satinah. Masyarakat di Indonesia harus memahami bahwa diyat merupakan uang yang harus dibayarkan oleh pelaku tindak pidana atau keluarganya, bukan oleh pemerintah," ujar Hikmahanto dalam keterangan tertulis kepada Liputan6.com di Jakarta, Jumat (28/3/2014).
Dia menjelaskan, bila ada pembayaran diyat, maka hal tersebut merupakan hubungan antara pelaku dan keluarga korban yang bersifat kontraktual, bukan hubungan antara pemerintah RI dengan keluarga korban.
Hikmahanto menilai pembayaran diyat oleh pemerintah RI bisa memicu keluarga korban pembunuhan untuk mengkomersialkan diyat. Keluarga korban bakal berpandangan Indonesia mampu membayar diyat seberapapun besarnya.
"Pemerintah memang pernah melakukan pembayaran uang diyat bagi Darsem, TKI yang diancam hukuman mati. Kondisi ini tentu tidak baik. Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban," ujarnya.
Karena itu, lanjut Hikmahanto, pemerintah tidak seharusnya melakukan pembayaran uang diyat. Pemerintah harus menyampaikan kepada keluarga korban terkait hal ini, bahwa keluarga Satinah tidak mampu bila harus membayar uang diyat yang fantastis.
"Uang diyat yang dibayar oleh pemerintah akan menjadi preseden buruk. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk pembangunan dan memberi kesejahteraan rakyat tidak seharusnya digunakan untuk membayar pemerasan melalui lembaga diyat," tandas Hikmahanto. (Yus Ariyanto)
Baca Juga:
Baca Juga
Dukung Satinah, Dongkrak Jokowi? Rieke PDIP: Terserah Omong Apa
Advertisement