Liputan6.com, Jakarta Pengadaan bus Transjakarta terus menimbulkan dilematis. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama enggan menerima bus baru yang datang dari China. Sementara pada sisi lain, Perda tahun 2005 mengatur angkutan umum harus menggunakan gas.
Dalam hal ini, pria yang disapa Ahok itu tak ingin disebut menolak menggunakan angkutan berbahan bakar gas. Namun lantaran infrastruktur pendukung seperti Stasiun Pengisian Bahan bakar Gas (SPBG) belum terpenuhi, dirinya lebih bersikap realistis.
"Kita butuh 45 SPBG. Itu ada baru 2017. Kalau sudah datang 1.000-2.000 bus, terus mau isi pakai air kencing? Demi gas, tapi tidak ada bus," ujar Ahok di Balaikota, Jakarta, Jumat (28/3/2014).
Dalam Perda, jelas Ahok, disebutkan seluruh kendaraan umum dan operasional harus menggunakan gas. Perda itu ditetapkan pada 2005. Tapi pengadaan bus DAMRI, Mayasari Bhakti, dan PPD pada 2009 masih menggunakan bus bermesin diesel.
"Jadi menurut saya, beli saja dulu bus yang nggak pakai gas. Lagi pula, gas sama Euro III sama emisinya. Beda dengan Perda 2005 yang waktu itu belum ada Euro III dan Euro V," lanjutnya.
Istilah EURO merupakan standar emisi gas buang di Eropa dan telah menjadi standarisasi dunia. Regulasi ini diterapkan di Eropa untuk kendaraan berat bermesin diesel dengan tingkatan I hingga V.
Menurut Ahok, saat ini masyarakat tak begitu memusingkan apakah bus yang ditumpanginya menggunakan solar atau gas. Yang diinginkan saat ini frekuensi kedatangan bus lebih cepat dan tepat.
"Anda mau bus tiap 10 menit ada atau mau ngotot mau tunggu gas. Buktinya anggota DPRD saja pakai bensin. Mobil truk sampah kita saja operasional pakai solar. Orang sumbang bus tidak boleh jalan, padahal bus pariwisata pakai solar. Ini alasannya nggak jelas," tandas Ahok. (Raden Trimutia Hatta)
Baca Juga
Baca juga:
Advertisement
Anak Buah Jokowi Jadi Tersangka Korupsi Transjakarta Rp 15 T