Liputan6.com, Jakarta - Majelis hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta menunda sidang pembacaan vonis Izedrik Emir Moeis, terdakwa kasus dugaan suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tarahan, Lampung. Sebab, Politisi PDIP itu dilarikan ke rumah sakit akibat serangan jantung.
Hal itu sebagaimana yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di muka sidang Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Kamis (3/4/2014). "Kami terima penetapan majelis hakim tanggal 2 April 2014, bahwa sesuai rujukan dokter KPK, yang bersangkutan harus dirujuk ke rumah sakit," kata Jaksa Supardi.
Menurut Supardi, setelah pemeriksaan selesai di RS Jantung Harapan Kita, dokter menyatakan Emir harus dirawat inap. Sehingga pihaknya belum bisa menghadirkan mantan Ketua Komisi XI DPR itu ke persidangan.
"Kami tidak bisa hadrikan terdakwa. Sampai tadi malam kita belum dapat info persis, kapan terdakwa bisa keluar dari rumah sakit," katanya.
Mengetahui hal itu, Ketua Majelis Hakim Mattheus Samiaji memutuskan menunda kehadiran Emir dalam sidang ini. Penundaan ini dilakukan sampai awal pekan depan. "Dengan mengingat masa tahanan yang ada, majelis hanya bisa menunda sampai Senin 7 April 2014."
"Lebih baik sidang pagi saja. Kalau sekiranya bisa sidang kita bacakan, kalau tidak bisa ditunda ke hari lain. Jika sekiranya terdakwa sudah sehat agar penuntut umum menghadirkan terdakwa dalam sidang," tandas Mattheus.
Izedrik Emir Moeis dituntut pidana penjara 4 tahun 6 bulan oleh Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Emir juga dituntut membayar denda sebesar Rp 200 juta subsider kurungan penjara 5 bulan.
Jaksa menilai, Emir terbukti menerima suap sebesar US$ 357 ribu berikut bunga dari Alstom Power Incorporated (Amerika Serikat) melalui Presiden Direktur Pacific Resources Inc, Pirooz Muhammad Sharafih, supaya memenangkan konsorsium Alstom Inc, Marubeni Corporation (Jepang), dan PT Alstom Energy System (Indonesia) terkait pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap 1000 megawatt di Tarahan, Lampung pada 2004 silam.
Emir terbukti melanggar delik dakwaan kedua, yakni Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (Raden Trimutia Hatta)
Baca juga: