Liputan6.com, Jakarta - Pemprov DKI Jakarta tengah berupaya mengakuisisi 100% saham PT Palyja dari PT Suez International dan PT Astratel sebagai operator pelayanan air baku di Ibukota. Namun, akuisisi dilakukan secara Business to Business (B to B) bukan Goverment to Business (G to B), atau tidak melalui PAM Jaya melainkan 2 BUMD DKI yaitu Jakarta Propertindo dan Pembangunan Jaya.
Direktur Utama PAM Jaya Sriwidayanto Kaderi mengungkapkan, ketidaksertaan pihaknya dalam proses akuisisi tersebut karena adanya aturan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan pihak swasta yang mengikat.
"Kenapa tidak PAM Jaya karena kita terikat perjanjian terkait dana buy back yang cukup besar sampai Rp 3,6 triliun," jelasnya dalam Diskusi Pengelolaan Air di Gedung Joang 45, Jakarta, Kamis (17/4/2014).
Dalam PKS yang berlaku 25 tahun dari 1997 hingga 2022 itu, disebutkan nilai akuisisi saham jika dilakukan PAM Jaya yaitu berkisar Rp 3,1 - Rp 3,6 triliun. Sementara, jika ditangani oleh BUMD, dalam hal ini Jakpro dan Pembangunan Jaya, maka harga pembelian saham dapat lebih murah karena tidak berdasarkan kontrak kerja sama.
"Kalau melalui BUMD, bisa jauh lebih rendah sekitar Rp 2,1 triliun. Ini sehingga diambil BUMD," jelas Sriwidayanto.
Proses akuisisi 51% saham Suez oleh Pembangunan Jaya saat ini sedang dalam tahap due diligent atau pengkajian uji kelayakan. Begitu juga dengan proses pembelian 49% saham Astratel oleh Jakarta Propertindo. Kedua BUMD tersebut menggunakan konsultan akuisisi untuk menilai seluruh aspek hukum, keuangan, dan teknis dari Palyja.
Alasan PAM Jaya Tak Ikut Akuisisi Pengelolaan Air dari Swasta
Pemprov DKI Jakarta tengah berupaya mengakuisisi 100% saham PT Palyja dari PT Suez International dan PT Astratel sebagai operator air baku.
Advertisement