Liputan6.com, Jakarta - Permasalahan swastanisasi air di Jakarta hingga kini belum juga selesai. Meski Pemprov DKI telah berupaya mengakuisi 100% saham PT Palyja dari 2 operator swasta, namun masih dalam tahap due dilligent atau pengkajian kelayakan.
Febi Yonesta dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI mengatakan, berdasarkan data Pemprov DKI, PAM Jaya membukukan akumulasi kerugian negara dari kontrak Pemprov dan swasta itu, sejak 1998 hingga 2012 lalu adalah sebesar Rp 1.179.747.577.095.
"Jika Perjanjian Kerja Sama (PKS) dilanjutkan sampai tahun 2022, kerugian negara akan mencapai Rp 18,2 triliun," ungkapnya dalam Diskusi Pengelolaan Air di Gedung Joang 45, Jakarta, Kamis (17/4/2014).
Sebab, PKS antara PAM Jaya dengan PT Palyja yang dikuasai PT Suez International dengan PT Astratel berlaku selama 25 tahun, yaitu dari 1997 hingga 2022. Ia menilai akar persoalan air di Jakarta adalah dimulainya PKS antara PAM Jaya dengan pihak swasta PT Palyja (Suez-Perancis) dan PT Aetra (Thames-Inggris) di era Soeharto.
"Perjanjian kerja sama itu timpang dan mengandung berbagai persoalan yang menjerat dan melemahkan Pemprov DKI dalam hal ini PAM Jaya sebagai pemegang daulat rakyat untuk mengelola air," jelas Febi.
Pihaknya juga menilai selama ini pemerintah 'tidak berani' memutus kontrak kerja sama dengan pihak swasta dalam pengelolaan air baku di Jakarta. Dan membiarkan PKS tetap berlangsung selama 15 tahun.
15 Tahun Swasta Kelola Air Jakarta, Kerugian Negara Capai Rp 1 T
Permasalahan swastanisasi air di Jakarta hingga kini belum juga selesai.
Advertisement