Liputan6.com, Jakarta - 1899 menjadi tahun penting buat Raden Ajeng Kartini. Ia genap 20 tahun. Setahun sebelumnya, Kartini lepas dari masa pingitan yang menyebalkan.
Kartini getol membaca sejak kecil. Ia rutin menyimak koran Semarang, De Locomotief. Ia juga menerima paket majalah yang diedarkan toko buku kepada para pelanggan. Di antaranya majalah wanita Belanda, De Hollandsche Lelie. Saat dipingit selama 6 tahun, sebagian waktunya habis untuk menikmati bacaan.
De Hollandsche Lelie pula yang memuat iklan yang dipasangnya. Iklan kecil itu, dimuat pada edisi 15 Maret 1899, bertuliskan: "Raden Ajeng Kartini, putri Bupati Jepara, umur sekian dan seterusnya, ingin berkenalan dengan seorang 'teman pena wanita' untuk saling surat-menyurat. Yang dicari ialah seorang gadis dari Belanda yang umurnya sebaya dengan dia dan mempunyai banyak perhatian terhadap zaman modern serta perubahan-perubahan demokrasi yang sedang berkembang di seluruh Eropa.”
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi, kepala perempuan ningrat itu penuh dengan rasa penasaran. Ia sangat ingin tahu tentang "pergerakan perempuan" di Eropa. "Apakah benar seperti yang digambarkan dalam buku-buku atau majalah-majalah?" tulis Sitisoemandari mengutip putri Raden Mas Ario Sosroningrat itu.
Gayung pun bersambut. Estelle Zeehandellar merespons. Ia lahir dari keluarga Yahudi di Amsterdam, 5 tahun lebih tua dari Kartini, dan seorang aktivis femini. Kartini memanggilnya Stella.
Sosok Stella yang idealis niscaya klop dengan perempuan kelahiran 21 April 1879 tersebut. Mereka pun segera saling berkirim surat. Pertemanan pena ini membuka jalan Kartini untuk "berkenalan" dengan sejumlah tokoh lain di Belanda.
Dalam surat pertamanya untuk Stella, Kartini bercerita tentang berakhirnya masa pingitannya. Ia menulis,"Aku mau maju, maju terus! Bukan pesta-pesta atau memburu kesenangan yang kuinginkan, tetapi tujuanku adalah adalah kemerdekaan. Aku mau merdeka, mau berdiri sendiri, agar tidak perlu tergantung pada orang lain, agar tidak terpaksa harus kawin..."
Kartini juga kerap membicarakan buku-buku yang dibacanya kepada Stella. Misalnya, Max Havelaar karya Multatuli (Eduard Douwes Dekker). Ia terpukau dengan riwayat penulisnya yang pernah menjadi Asisten Residen di Lebak tapi gelisah dengan penderitaan rakyat pribumi.
Baca Juga
Dibukukan dan Menarik Perhatian
Buku lain yang diperbincangkan dengan Stella adalah Hilda van Suylenburg karya Goekoop-de Jong van Beek en Donk. "Roman feminis, yang di kala terbit menggoncangkan masyarakat Belanda ini, menceritakan tentang kepahitan dan penderitaan hidup seorang wanita yang menentang kekolotan..." tulis Sitisoemandari.
Konon, Kartini membaca buku tersebut sampai 3 kali. Sekali, ia pernah mengunci diri dalam kamar agar bisa menyelesaikan buku itu dalam satu kesempatan. Kisah di sana memang sangat cocok dengan keprihatinan putri Bupati Jepara tersebut.
Kartini banyak menulis tentang dirinya. Namun, ia juga banyak mengutarakan pandangan sosial-politisnya. Dalam sepucuk surat kepada istri Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, JH Abendanon, ia menulis, "Tetapi dapatkah Bunda menyangkal bahwa di samping hal-hal yang indah dan mulia dalam masyarakat Bunda terdapat banyak juga hal-hal yang sama sekali tidak patut dinamakan 'peradaban'?
Setelah Kartini wafat, JH Abendanon menghimpun dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini pada teman-temannya, bukan hanya Stella, di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang secara harafiah bermakna "Dari Kegelapan Menuju Cahaya." Terbit pertama kali pada 1911.
Terbitnya surat-surat Kartini sangat membetot perhatian. Pikiran-pikiran Kartini mulai menggeser pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Hindia Belanda, terutama di Jawa. Itu semua berawal dari sebuah iklan kecil.
Advertisement