Sukses

Kartini, Terguncang Hebat Saat Gagal Sekolah ke Belanda

Kartini lalu mengatakan, tujuannya pergi ke Negeri Kincir angin adalah untuk belajar, khususnya ilmu pendidikan.

Liputan6.com, Jakarta - Pada awal 1902, HH van Kol hendak melakukan perjalanan ke Hindia Belanda. Sebelum berangkat, Estelle "Stella" Zeehandellar menyampaikan pesan: mampirlah ke Jepara dan temui Kartini.

Sejak 3 tahun sebelumnya, Stella menjadi sahabat pena Kartini. Stella ingin kolega separtainya, di Partai Sosialis Demokrat (SDAP) Belanda, itu bersua sang putri Bupati Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat tersebut. Kepada Stella, Kartini mengungkapkan hasrat, juga adiknya Rukmini, untuk bersekolah di Belanda.

Ketika van Kol akhirnya singgah di Jepara, Kartini  pun mengungkapkan keinginannya. Sempat ada secuil salah paham. "Lalu ia (van Kol) bercerita tentang apa yang  disaksikannya sendiri, bahwa perkawinan antara orang Jawa dan orang Belanda selalu hanya mengakibatkan ketegangan," tulis Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi. Rupanya van Kol mengira Kartini hendak mencari orang Belanda sebagai pasangan hidup.

Kartini lalu menegaskan, tujuannya pergi ke Negeri Kincir Angin adalah untuk belajar, khususnya ilmu pendidikan. Sebab, ia bermaksud membuka sekolah untuk para gadis pribumi.

Van Kol terkesan dan berjanji membantu. Konkretnya, mengupayakan beasiswa untuk Kartini dari pemerintah Belanda. Dan, ikhtiar tersebut berhasil.

Namun, aral tiba-tiba melintang. Datangnya justru dari sosok yang selama ini dekat dengan keluarga Kartini: Menteri Kebudayaan, Agama, dan Industri Hindia Belanda, JH Abendanon dan istrinya, Rosa Manuela Mandri.

Abendanon menyarankan agar Kartini dan Rukmini sekolah di Batavia saja mengingat kondisi kesehatan ayah mereka yang kurang baik. Pasangan itu juga mengingatkan, andai Kartini mencari kebahagiaan di Eropa, lupakan saja lantaran hanya kekecewaan yang bakal menghampiri.

Menanggapi hal itu, Kartini menulis surat. Petikannya, "Sudah berulang-ulang kami mengatakan kepada Bunda bahwa kami tidak mencari kebahagiaan kami, melainkan kebahagiaan orang-orang lain."

Tak berhenti di sana. Pasangan Abendanon menyatakan, Kartini mungkin juga menghadapi kesulitan sepulang dari Belanda, yaitu dianggap sebagai "noni Belanda." Kalau mendirikan sekolah, orangtua pribumi bakal enggan melepas anak mereka untuk diajar Kartini.

Lebih lanjut, Abendanon mengatakan, bila ingin mendirikan sekolah, sekarang saja. Tak perlu menunggu kelar pendidikan lanjutan di Belanda atau Batavia.

Sitisoemandari menyebut, yang membuat Kartini membatalkan kepergiannya adalah janji Abendanon untuk membantu membuka sekolah tanpa perlu menunggu ijazah. Sebagai pejabat tertinggi di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, Abendanon juga berjanji mengusahakan beasiswa ke Batavia untuk Kartini dan Rukmini.

Proses penerimaan itu tak sungguh mudah. Kartini terguncang hebat. Dalam sebuah surat, ia menulis, "Saya seperti merasa tercekik. Tetapi jangan, saya tidak mau menuruti perasaanku. Saya harus dapat menguasai perasaan-perasaan yang sedih..."

Akhirnya, Kartini memulai kegiatan sekolah tersebut, di beranda belakang rumah dinas Bupati Jepara, pada Juni 1903. Awalnya dengan satu murid, lalu bertambah menjadi 5 orang dalam sepekan.

Di sekolah itu, para murid belajar baca-tulis. Selain itu, mereka menerima pelajaran lain seperti memasak, menjahit, kerajinan tangan, juga budi pekerti. Kartini senang dengan ini semua. Duka kegagalan bersekolah ke Belanda mulai terhapus.

Tak lama setelah itu, datang persoalan baru: lamaran dari Bupati Rembang Kanjeng Raden Adipati Djojoadiningrat. Inilah tikungan tajam lain dalam kehidupan Kartini.

Video Terkini