Liputan6.com, Jakarta - Istri Raden Adipati Joyoadiningrat telah meninggal dunia. Bupati Rembang ini punya 3 selir. Tapi, selir bukan istri. Maka, Juli 1903, seorang utusan berangkat ke Jepara, menemui Bupati Raden Mas Ario Sosroningrat. Tujuannya: melamar Kartini.
Sosroningrat mengenal Joyoadiningrat. Maklum, sesama penguasa lokal. "Ia seorang duda dan mempunyai 6 anak yang masih kecil-kecil. Ayah Kartini menganggap Bupati Rembang cocok sekali menjadi suami putrinya," tulis Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi.
Lamaran itu disampaikan ke Kartini. Terkejut adalah reaksinya. Kartini kemudian meminta waktu 3 hari untuk berpikir. Sang ayah mengiyakan seraya menyatakan tak usah terburu-buru mengambil keputusan.
Kartini mengaku heran lantaran ada seorang bupati yang ingin mempersunting dirinya. "Menurutnya ia tidak cantik, tidak kaya, tidak muda lagi. Jelas bukan tipe ideal bagi seorang bupati," tulis Sitisoemandari. Di saat itu, Kartini telah 24 tahun. Telah tergolong "perawan tua" untuk zamannya.
Kebimbangan merundung Kartini. Sejak beberapa waktu sebelumnya, ia memutuskan untuk tidak menikah. Ingin mencurahkan diri untuk belajar dan perjuangan memajukan kaum perempuan.
Tapi, pria yang disepakati ayahnya datang melamar. Ia ingin membahagiakan ayahnya namun tak ingin menganulir prinsip hidup. Termasuk, dalam soal menentang poligami. Apalagi, saat itu ia tengah menunggu menerima kabar soal permohonan beasiswa di sekolah Batavia.
Baca Juga
Bupati Joyoadiningrat dikenal sebagai pejabat yang mumpuni. Wilayahnya terkelola dengan baik. Ia pernah belajar pertanian di Wageningen, Belanda. Tak pelak, ia adalah salah satu birokrat pribumi yang dianggap cukup modern.
Advertisement
Tapi, 2 syarat diajukan Kartini ke Joyoadiningrat. Pertama, Joyo Adiningrat menyetujui gagasan-gagasan dan cita-cita Kartini soal kemajuan kaum perempuan. Kedua, Kartini diperbolehkan membuka sekolah di Rembang seperti yang telah dilakukannya di Jepara.
Persyaratan itu disodorkan ke Joyoadiningrat. Dan, diterima dengan mulus. Tak ada keberatan sama sekali.
Â
Menolak Bicara dengan Bahasa 'Halus'
Ada syarat lain yang bersifat 'teknis.' Dalam prosesi perkawinan, Kartini minta tidak ada upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria. Satu lagi, ia akan bicara dalam langgam ngoko (bahasa jawa keseharian) dengan suaminya.
"Bagi Kartini, syarat itu sangat penting sebagai pernyataan bahwa seorang istri adalah 'kawan sederajat' serta 'saudara seperjuangan' dari suaminya," tulis Sitisoemandari. Kedua syarat itu pun diluluskan Bupati Rembang.
Syarat-syarat tersebut diluluskan Joyoadiningrat pada 8 Juli. Keeseokan harinya, 9 Juli, datang kabar bahwa permohonan beasiswa Kartini dikabulkan. Nasi telah menjadi bubur. Keinginan sekolah di Batavia pun dilupakan.
Beberapa hari kemudian, ada kejadian aneh. Datang lamaran dari seseorang pria. Kasar dan mencekam. Disertai ancaman: Kartini diguna-guna jika tak menerima. Tak pernah ada penjelasan siapa pengirim lamaran.
Toh, keluarga ningrat itu ketakutan. Kartini disembunyikan di kamar. Untuk masa itu, ancaman guna-guna sangat riil. Lalu keputusan pun bulat: segera menikah dengan Bupati Rembang.
Mereka menikah pada 12 November 1903. 3 hari kemudian, Kartini diboyong ke Rembang.