Sukses

Terulangnya Kekerasan Taruna STIP

Kekerasan yang menewaskan anak didik kembali terjadi di STIP Marunda. Ini bukan kali pertama terjadi di kampus calon pelaut itu.

Liputan6.com, Jakarta - Dunia pendidikan di Tanah Air kembali menebar teror bagi anak didiknya. Ketika publik masih bergidik dengan pelecehan seksual yang dialami murid Taman Kanak-kanak Jakarta International School, cerita lainnya datang menambah catatan hitam tentang abainya lembaga pendidikan akan keselamatan anak didiknya.

Adalah Dimas Dikita Handoko yang meregang nyawa setelah menjadi korban kekerasan dari para seniornya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) tempat dia menuntut ilmu. Taruna (mahasiswa) semester 1 ini tidak tewas di kampus, melainkan di tempat kos seniornya.

Cerita berawal ketika Jumat 25 April lalu Dimas dipanggil sejumlah seniornya untuk datang ke tempat kos di kawasan Cilincing, Jakarta Utara. Tidak hanya Dimas, di rumah kos berlantai 2 milik Ibu Siagian di Jalan Kebon Baru II, Semper Barat itu ada 6 mahasiswa yunior STIP lainnya.

Di tempat itulah penganiayaan berlangsung. Dimas mengalami luka akibat pukulan yang dideritanya, mulai dari perut, dada, hingga ulu hati. Dia juga sempat jatuh pingsan setelah menerima pukulan. Namun para pelaku terus memukuli hingga akhirnya dibawa ke RS Pelabuhan Jakarta. Sayang nyawa Dimas tak tertolong sebelum menjalani pemeriksaan dokter pada Sabtu 26 April dini hari.

Sementara 6 mahasiswa lainnya, yaitu Marvin Jonatan, Sidik Permana, Deni Hutabarat, Fahrurozi Siregar, Arief Permana, dan Imanza Marpaung yang merupakan rekan seangkatan Dimas juga mengalami memar di bagian dada dan kepala sehingga harus mendapat perawatan rumah sakit.

Warga sekitar tempat kos mengaku tak mengetahui adanya penyiksaan. Penganiayaan itu luput dari perhatian warga diduga karena tertutupi suara musik yang sengaja diputar para pelaku dengan keras.

Pada dini hari itu, warga hanya melihat sebuah mobil terparkir di depan kos saat di lantai 2 terdengar suara musik. Beberapa jam kemudian, mobil tersebut meninggalkan lokasi dengan membawa beberapa penumpang.

Kepolisian Resor Jakarta Utara kemudian menetapkan 7 mahasiswa tingkat II menjadi tersangka. Dari penyidikan sementara, penganiayaan tersebut berlatar belakang sepele. 7 Mahasiswa yunior tersebut dianggap tidak respek terhadap para pelaku sehingga mereka dianiaya.

Pihak keluarga mengaku menyesalkan sikap STIP yang seolah tak mau tahu kondisi anak didiknya. Apalagi kabar kematian Dimas tidak diketahui keluarga dari pihak STIP, melainkan dari teman-teman korban.

"Informasi sementara yang saya terima dari kepolisian, dia dianiaya senior. Saya percaya Dimas dianiaya," kata Nani, tante korban kepada Liputan6.com di Jakarta, Sabtu lalu.

Kecurigaan akan adanya budaya kekerasan di perguruan tinggi kedinasan yang dulu dikenal dengan nama Akademi Ilmu Pelayaran (AIP) itu sebenarnya sudah ada. Menurut Nani, 3 bulan lalu seorang teman korban pernah menemukan bekas luka memar di tubuh Dimas, namun ketika dikonfirmasi, dia tak mengatakan apa-apa.

"Dimas tertutup orangnya, apa pun diatasi sendiri. Temennya juga sempat nanya ada biru-biru di badannya 3-4 bulan lalu, dia bilang nggak ada apa-apa," jelas Nani.

Dengan semua bukti itu, pihak keluarga menyesalkan sikap kampus yang berbohong mengenai penyebab kematian Dimas yang sebenarnya. Sebab, pengelola kampus yang berlokasi di Jalan Marunda Makmur Kelurahan Marunda, Kecamatan Cilincing, atau dekat situs cagar budaya Rumah Si Pitung itu menyebutkan penyebab kematian Dimas karena terjatuh di kamar mandi.

Tak hanya keluarga Dimas, kasus ini juga memicu protes dari keluarga mahasiswa STIP lainnya. Mereka mengaku cemas dan khawatir akan keselamatan anak mereka saat menjadi mahasiswa di kampus yang berada di bawah naungan Kementerian Perhubungan itu.

Guna memastikan keselamatan anak mereka, tak seperti biasanya para orangtua beramai-ramai mengantarkan anaknya ke kampus STIP, Minggu 27 April kemarin. Tidak sedikit dari para orangtua itu yang menuntut jaminan keamanan kepada pihak sekolah.

Pihak STIP sendiri mengaku terkejut dengan kasus tewasnya taruna tingkat pertama itu. Selain meminta maaf kepada keluarga korban dan seluruh orangtua taruna, pihak STIP menyatakan akan mengambil tindakan tegas terhadap taruna yang terlibat.

Walau kejadiannya berada di luar kampus, pihak STIP menegaskan ikut prihatin atas kejadian tersebut. STIP akan mengevaluasi izin pesiar bagi mahasiswa pada hari Sabtu dan Minggu. Pihak kampus juga mengaku sudah maksimal mencegah terjadinya kekerasan dengan menempatkan sejumlah pengawas dan CCTV (Closed Circuit Television) di lingkungan kampus.

Kasus ini sejatinya memang tak boleh terjadi lagi, karena Dimas bukanlah korban tewas pertama akibat kekerasan yang dilakukan seniornya. Namun, pihak STIP tak kunjung belajar dari pengalaman pahit itu.

Pada Sabtu 17 Mei 2008, makam Agung Bastian Gultom dibongkar tim forensik Rumah Sakit Umum dokter Sutomo, Surabaya, Jawa Timur. Pembongkaran kuburan Agung yang dimakamkan 3 hari sebelumnya di pemakaman Kristen Babat Jerawat, Surabaya, dibantu personel Kepolisian Resort Kota Surabaya Utara dan Polres Jakarta Utara.

Makam Agung dibongkar guna mencari bukti kekerasan dalam tubuh korban. Sebab, sebelum tewas korban diduga dianiaya 10 seniornya di dalam kampus STIP di Marunda. Korban bersama 3 rekannya dihukum karena dianggap melakukan kesalahan dalam latihan pedang pora menyambut Agustusan.

Saat jenazah Agung dipulangkan ke Surabaya, ayah korban Baharuddin Gultom menyangkal keterangan pihak kampus yang menyatakan anak bungsunya itu meninggal karena sakit.

Polres Jakut kemudian menetapkan 4 tersangka pembunuh Agung. Para tersangka tak lain senior korban di STIP, yaitu Lasmono, Anggi, Hari Nugraha, dan Anton.

Misteri tewasnya taruna tingkat satu tersebut terkuak dari hasil otopsi yang dilakukan polisi dengan membongkar makam korban. Tim forensik menemukan beberapa luka bekas penganiayaan di tubuh korban yang diduga kuat dilakukan seniornya di dalam kampus. Dugaan itu diperkuat hasil reka ulang.

Dari 4 tersangka itu, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, memvonis 3 terdakwa pembunuh Agung 5 tahun penjara. Mereka dinilai terbukti menganiaya Agung hingga tewas. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang menuntut ketiga mahasiswa tingkat dua STIP itu 7 tahun penjara.

Masih di tahun 2008, mahasiswa tingkat dua STIP bernama Jegos juga menjadi korban tindak kekerasan seniornya. Akibat penganiayaan tersebut korban mengalami gegar otak dan dilarikan ke Rumah Sakit Pelabuhan Jakut. Menurut tim dokter RS Pelabuhan, Jegos dianiaya menggunakan benda tumpul.

Dengan rentetan kasus kekerasan di kampus calon pelaut itu, sudah seharusnya dilakukan evaluasi total tentang pembinaan mahasiswa atau taruna STIP. Apa yang telah dilakukan selama ini terbukti tidak bisa meredam tindakan brutal yang seharusnya dihapus di lembaga pendidikan manapun.

Ini juga menjadi peringatan keras bagi pemerintah, khususnya Kementerian Pendidikan yang setiap kali ada kasus serupa tak pernah bisa menghapus kekerasan di dunia pendidikan secara menyeluruh. Langkah yang diambil umumnya cuma ampuh sesaat, untuk kemudian kembali terlupakan.

Tak ada jalan lain, pemerintah harus tegas. Tidak hanya dalam memberi sanksi, tapi juga mencegah terulangnya cerita menakutkan itu, karena ini menyangkut nyawa manusia dan masa depan republik ini. (Rizki Gunawan)