Sukses

Masa Muda Ki Hadjar, Mengecam Perayaan 100 Tahun Belanda

Suwardi menulis sebuah esai berjudul Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Seorang Belanda.

Liputan6.com, Jakarta - Wahidin Sudirohusodo datang ke Pakualaman, Yogyakarta. Ia singgah untuk menemukan anak-anak di kraton tersebut yang berminat menjadi dokter. Bea siswa menunggu untuk bersekolah di School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA) di Batavia.

Suwardi Surjaningrat, cucu Paku Alam III, menerima tawaran sosok di balik kelahiran Budi Utomo itu. Ia menamatkan Sekolah Guru di Yogyakarta pada 1904. Usai menerima ijazah guru, pria yang kelak bernama Ki Hadjar Dewantara itu bimbang: menjadi guru atau menjalani karier lain.

Pada 1905, Suwardi mulai menjadi mahasiswa di STOVIA. Namun, 5 tahun kemudian, ia harus keluar karena tak naik kelas. Bukan karena malas atau bodoh, ia gagal naik kelas lantaran sakit selama 4 bulan. Gagal naik kelas, bea siswa pun melayang. Kocek keluarga, meski ningrat, tak mencukupi.

"Dari direktur STOVIA, ia mendapat surat keterangan istimewa atas kepandaiannya berbahasa Belanda," tulis penulis biografinya, Darsiti Soeratman. Berkat kepandaian itu, ia diterima sebagai ahli kimia di Pabrik Gula Kalibagor, sekitar 8 km dari Purwokerto, Jawa Tengah.

Hanya setahun di sana, Suwardi pindah dan bekerja di Apotek Rathkamp di Yogyakarta. Juga tak lama. Lalu, dunia jurnalistik menggodanya. Ia menjadi wartawan lepas untuk Sedyotomo (berbahasa Jawa), Midden Java (berbahasa Belanda), dan De Express (berbahasa Belanda).

Rupanya, tulisan-tulisan Suwardi diamati Douwes Dekker, politisi dan jurnalis yang memimpin De Express. Dekker, yang kerap disebut sebagai inspirator gerakan nasionalis Indonesia, menawari Suwardi untuk bergabung dengan De Express yang dipimpinnya.

Suwardi telah mengenal Douwes Dekker sejak masih berstatus mahasiswa STOVIA. Dekker kerap datang ke kampus STOVIA untuk berdiskusi atau memperkenalkan bacaan-bacaan tentang cita-cita kebangsaan. Di sana juga kepala Suwardi makin penuh dengan ide-ide antikolonialisme.

Suwardi telah mengenal Douwes Dekker sejak masih berstatus mahasiswa STOVIA. Dekker kerap datang ke kampus STOVIA untuk berdiskusi atau memperkenalkan bacaan-bacaan tentang cita-cita kebangsaan. Di sana juga kepala Suwardi makin  penuh dengan ide-ide antikolonialisme.

 

Dibuang ke Belanda

Tawaran Dekker diterima dan Suwardi pindah ke Bandung, tempat koran tersebut berkantor. Ada tokoh lain yang turut bergabung dengan De Express: Tjipto Mangunkusumo, seorang dokter. Ketiganya kemudian dikenal sebagai 'Tiga Serangkai.'

Pada September 1912, Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, yang bertujuan mempersiapkan kemerdekaan Hindia Belanda. Tjipto dan Suwardi ikut bergabung. Organisasi ini tak berumur panjang. Pada Maret 1913, Indische Partij dibubarkan pemerintah kolonial Belanda karena dianggap mengganggu keamanan umum.

Perjuangan mereka tak stop. Pada Juli 1913, Tjipto dan Suwardi mendirikan Komite Bumiputera. "Komite ini dimaksudkan untuk menampung isi hati rakyat yang memprotes perayaaan satu abad kemerdekaan Belanda," tulis Darsiti. Puncak perayaan jatuh pada 15 November 1913. Dirayakan di Belanda maupun di negeri-negeri jajahannya.

Suwardi lantas menulis esai berjudul Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku seorang Belanda. Dalam karangan tersebut, ia mengkritik keras rencana perayaan tersebut.

Kutipannya: "Andai aku seorang Belanda, tidaklah aku akan merayakan kemerdekaan bangsaku di negeri yang rakyatnya tidak kita beri kemerdekaan...Andai aku seorang Belanda, pada saat ini juga aku akan memprotes hajat perayaan tersebut..."

Tulisan itu membikin gempar. Rezim kolonial seperti ditampar. Suwardi kian masuk dalam radar pemantauan polisi rahasia Belanda. Lalu, ia pun diperiksa.

Pada September 2013, Tiga Serangkai dibuang ke Belanda, sebuah upaya menjauhkan dari massa akar-rumput yang membutuhkan insipirasi mereka. Di sana, Suwardi melanjutkan kuliah di bidang keguruan.

Video Terkini