Sukses

Senyum Getir Ratu Atut Terancam 15 Tahun Bui

Usai sidang perdana kasusnya, penonaktifan Ratu Atut sebagai Gubernur Banten tinggal menunggu Keppres.

Oleh: Hanz Jimenez Salim, Yandhi Deslatama, Mevi Linawati, Rinaldo, Tanti Yulianingsih Liputan6.com, Jakarta - Ratu Atut Chosiyah melangkah memasuki ruang persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Gubernur Banten ini mengenakan jilbab hitam polos, pakaian panjang bermotif batik cokelat dipadu celana dan sepatu bot berwarna senada yakni hitam.

Walau demikian penampilan wanita yang pada 16 Mei nanti genap berusia 52 tahun itu tetap modis. Atut yang mengenakan kacamata hitam bermerek mahal kemudian memberi salam hormat kepada majelis hakim, jaksa penuntut umum (JPU) dan tim penasihat hukumnya. Persidangan dengan agenda pembacaan dakwaan oleh JPU itu dimulai tepat pukul 09.00 WIB pada Selasa (6/5/2014).

Sang Gubernur yang mendekam di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur sejak 20 Desember 2013 itu menjalani sidang perdananya dalam kasus dugaan suap pengurusan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Lebak, Banten. Ini adalah sidang perdana politisi Partai Golkar itu dengan duduk di kursi pesakitan sebagai terdakwa.

Irit Bicara

Beberapa saat sebelumnya, Atut terus melempar senyum ketika disorot kamera para jurnalis. Hanya saja ibu dua anak yang juga terjun ke dunia politik ini irit bicara. "Alhamdulillah," ucap Atut singkat.

`Sang Ratu` tak sendirian menghadapi persidangan. Beberapa anggota keluarga dan kerabat berdatangan ke Gedung Pengadilan Tipikor. Satu di antaranya adik Atut, Ratu Tatu Chasanah.

Aparat kepolisian pun tak terlalu memperketat sidang perdana Atut. Suasana Gedung Pengadilan Tipikor terlihat normal seperti biasa. Atut juga terlihat santai dan tenang, bahkan banyak membisu menghadapi sidang perdananya hari ini.

Dakwaan Jaksa

Dalam sidang tersebut Ratu Atut didakwa melakukan penyuapan kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar Rp 1 miliar.

"Terdakwa melakukan perbuatan yang memberi atau menjanjikan sesuatu yaitu memberi uang Rp 1 miliar kepada hakim yaitu M. Akil Mochtar selaku hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi, melalui Susi Tur Andayani dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili," kata Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi Edy Hartoyo saat membacakan dakwaan.

Jaksa Eddy menambahkan, Atut juga didakwa melakukan suap bersama Komisaris Utama PT Bali Pasific Pragama (BPP), yang juga adik kandungnya Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan.

Jaksa menjelaskan, Ratu Atut menghadiri pertemuan dengan pasangan calon bupati dan calon wakil Bupati Lebak Amir Hamzah dan Kasmin di Hotel Sultan, Jakarta pada 9 September 2013. Pertemuan itu membahas rencana pengajuan permohonan keberatan hasil Pilkada Lebak ke MK.

Dalam Pilkada Lebak, Amir-Kasmin kalah suara dengan pasangan Iti Octavia Jayabaya-Ade Sumardi. Selanjutnya pada 11 September 2013, Amir-Kasmin mengajukan permohonan keberatan tersebut ke MK. Amir dan Kasmin menunjuk Susi Tur sebagai kuasa hukumnya.

Pada 22 September 2013, Ratu Atut bertemu Akil Mochtar di lobi Hotel JW Marriot, Singapura. Pertemuan itu juga dihadiri adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan. Dalam pertemuan itu, Atut disebut meminta bantuan Akil untuk memenangkan gugatan Amir-Kasmin.

"Supaya dapat dilakukan PSU (pemungutan suara ulang), terdakwa mengutus Tubagus Chaeri Wardana guna mengurus perkaranya," imbuh Jaksa. Selanjutnya pada 25 September 2013, Akil mengirim pesan singkat kepada Wawan untuk membicarakan sengketa Pilkada Lebak.

Akil juga meminta Susi Tur untuk menyampaikan kepada Atut agar menyiapkan dana Rp 3 miliar untuk Pilkada Lebak. Namun, pasangan Amir dan Kasmin sendiri tidak memiliki uang tersebut. Uang itu akhirnya disediakan oleh Wawan. Hanya saja Wawan menyanggupi sebesar Rp 1 miliar.

"Terdakwa dan Wawan tahu pemberian uang Rp 1 miliar melalui Susi Tur dengan maksud Akil selaku hakim MK mengabulkan permohonan perkara yang diajukan Amir Hamzah dan Kasmin," terang Jaksa.

Saat sidang pleno, MK akhirnya mengabulkan gugatan Amir dan memutuskan membatalkan keputusan KPU Lebak tentang hasil penghitungan perolehan suara Bupati dan Wakil Bupati Lebak. Kemudian memerintahkan KPU Lebak melaksanakan pemungutan suara ulang.

Atas perbuatannya itu, Ratu Atut dikenakan dakwaan primer Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ancaman hukuman maksimalnya pun tak main-main, yakni 15 tahun. Tim jaksa KPK juga memasukkan Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 dalam dakwaan subsider Atut yang memuat ancaman hukuman maksimal 3 tahun penjara.

Tak Ajukan Keberatan

Entah strategi apa yang dipakai kubu Atut? Terdakwa kasus dugaan suap Pilkada Lebak, Banten di MK tidak akan mengajukan nota keberatan atau eksepsi atas dakwaan yang dilayangkan oleh jaksa KPK. Atut didakwa bersama-sama dengan adiknya Tubagus Chaeri Wardana menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar Rp 1 Miliar.

Usai pembacaan dakwaan, Hakim Ketua Matheus Samiadji menanyakan kepada Atut mengenai dakwaan tersebut. Di pengadilan, Ratu Atut mengatakan sudah mengerti atas dakwaannya dan tidak akan mengajukan keberatan.

"Saya tidak akan mengajukan keberatan barangkali penasihat hukum akan menyampaikan," ucap Atut dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta.

Kuasa hukum Ratu Atut, Andi Simangungsong menyatakan, tim pengacara senada dengan Ratu Atut bahwa tidak akan mengajukan keberatan atas dakwaan tersebut. "Kami tidak akan mengajukan keberatan," ucap Andi.

Maqdir Ismail, kuasa hukum Ratu Atut lainnya menuturkan, dengan tidak digunakannya hak untuk mengajukan keberatan bukan berarti Ratu Atut menerima surat dakwaan. "Kita nggak akan ajukan eksepsi. Tapi bukan berarti kita sepakat dengan surat dakwaan, kita hanya tidak ingin menggunakan hak," kata Maqdir.

Dengan demikian, sidang dilanjutkan pada Selasa 13 Mei 2014 dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

Keberatan Jaksa

Edy Hartoyo selaku JPU KPK justru mempersoalkan 2 kuasa hukum Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah lantaran masuk daftar sebagai saksi. Edy menilai akan terjadi konflik kepentingan bila mereka bersaksi.

"Dari 18 orang itu, ada 2 nama tercantum atas nama T.B. Sukatma dan Andi Vanani Simangunsong adalah termasuk saksi dalam berkas perkara terdakwa ini," kata Edy dalam persidangan pada Selasa 6 Mei.

Sementara itu, mendengar keluhan dari jaksa, Andi Vanani Simangunsong langsung menanggapi. Dia mengaku pernah bersaksi dalam kasus yang membelit Ratu Atut.

"Memang setelah kami menerima berkas perkara, tercantum ada BAP atas nama saya. Saya tidak terlibat bahkan tidak mengenal siapa pun juga dalam tempus delicti (waktu terjadinya) dakwaan," ucap Andi.

Ketua Majelis Hakim Matheus Samiaji mengatakan, masih berunding untuk membicarakan keberatan jaksa KPK. Hal tersebut perlu dipelajari terlebih dahulu untuk mengambil kesimpulan.

"Nampak dari luar, karena nanti saudara jadi penasihat hukum Bu Atut, tapi jadi saksi juga. Ini kan nampak dari luar akan jelas ada konflik kepentingan. Jadi belum bisa kami tentukan dan jawab sekarang. Kami pelajari dulu. Nanti kami musyawarahkan," ujar Matheus.

Insiden Usai Sidang

Saat menjalani sidang dakwaan, Ratu Atut didemo sejumlah mahasiswa. Belasan mahasiswa yang tergabung dalam Poros Banten itu menyuarakan aspirasi penyelamatan Banten di depan Pengadilan Tipikor. Dalam aksinya, para mahasiswa yang memakai kaos merah ini mendesak masuk ke ruang sidang namun berhasil dihalangi oleh aparat kepolisian yang sudah berjaga.

Ketika selesai mendengarkan dakwaan dan hendak masuk ke mobil tahanan untuk kembali menuju Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur, seorang mahasiswa melempar Atut dengan botol air mineral ke arah mobil. Aparat kepolisian langsung mengambil tindakan, hingga akhirnya terjadi baku hantam antara mahasiswa dan petugas polisi. Akibatnya salah seorang mahasiswa pingsan.

Salah seorang demonstran, yaitu Pesa, merasa tidak terima dengan aksi pemukulan yang dilakukan polisi. Ada 2 mahasiswa yang dipukuli, yakni Afifufin dan Deni. "Kita tidak terima, kita akan usut tuntas kasus ini," kata Pesa di Pengadilan Tipikor.

Menurut dia, Atut cukup lama menyengsarakan rakyat Banten. Selain itu, kehadirannya juga untuk mengimbangi massa Ratu Atut yang juga hadir dalam sidang.

"Kita tahu dia dengan kroninya menyengsarakan rakyat Banten, lalu kita tahu yang hadir ini kan kroni Atut semua. Jadi kita ingin mengimbangi," tambah Pesa.

Polisi kemudian membubarkan masa aksi dengan menggiring massa untuk naik ke dalam Kopaja P20, dan meninggalkan lokasi pengadilan Tipikor, Jakarta.

Tuntutan Reformasi Birokrasi

Tak hanya di Ibukota, hari yang sama unjuk rasa juga berlangsung di Serang, Banten. Mahasiswa Banten dari Untirta Movement Comunitiy (UMC) dan Komunitas Mahasiswa Soedirman (KMS) 30 menggelar aksi tutup mulut di depan Kantor Pendopo Lama Gubernur Banten di Jalan Brigjen Syam`un, Kota Serang.

"Pasca terseretnya Atut (Ratu Atut Chosiyah) dengan dugaan kasus suap pilkada MK (Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi), kami melihat tidak adanya reformasi birokrasi. Selama Atut memimpin, dia menaruh orang-orangnya di setiap dinas. Kita ingin sebuah perubahan di birokrasi Banten," kata Rijalul Kahfie, humas aksi di sela-sela unjuk rasa, Selasa (6/5/2014).

Aksi massa ini menuntut agar Banten bersih dari korupsi dan bersih dari orang-orang Atut. "Kalau tetap ada orang Atut yang menaruh orangnya di birokrasi, maka tidak akan ada perubahan. Semisal calon sekda, mereka orang kotor, mereka orang Atut. Semisal Hudaya, yang terjerat kasus pengadaan alat laboratorium, yang merugikan negara sebesar Rp 80 miliar," jelas Rijalul.

Di lain pihak, orang yang pernah merasa terzalimi oleh Ratu Atut dalam kasus suap Pilkada Kabupaten Lebak, Iti Octavia Jayabaya yang kini menjabat sebagai Bupati Lebak setelah melewati Pemungutan Suara Ulang (PSU) mengatakan, dirinya menyerahkan semuanya kepada aparat penegak hukum. "Semoga berjalan lancar aja," jawab Iti melalui pesan singkatnya.

Penonaktifan Atut Masalah Waktu

Tak hanya terancam hukuman 15 tahun, Ratu Atut Chosiyah bakal menghadapi kenyataan pahit lainnya. Karena sudah menjadi terdakwa, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi mengusulkan pemberhentian sementara Ratu Atut sebagai Gubernur Banten kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Saya sudah menandatangani usulan penonaktifan Bu Atut kepada Bapak Presiden siang ini," kata Gamawan melalui pesan tertulis di Jakarta, Selasa 6 Mei.

Berdasarkan surat penetapan sebagai terdakwa tersebut, Mendagri melampirkan nomor registrasi perkara Atut dalam usulan pemberhentian sementara kepada Presiden.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri Didik Suprayitno membenarkan, nomor registrasi perkara yang berada di surat itu dilampirkan dalam usulan penonaktifan Atut. "Nomor registrasi perkara itu nantinya untuk dicantumkan di dalam Keputusan Presiden (Keppres) pemberhentian sementara Gubernur Banten. Dan, surat penetapannya sebagai terdakwa sudah diterima Mendagri siang ini," kata Didik.

Setelah Keppres pemberhentian sementara Gubernur Banten tersebut ditandatangani Presiden, Wakil Gubernur Banten Rano Karno akan bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten.

Kepala Biro Pemerintahan Provinsi Banten Deden Apriandi juga memberikan jawaban yang sama. "Surat penonaktifan Gubernur sedang diurus oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) ke Presiden. Cepat atau lambatnya tergantung dari kesibukan Presiden," kata Deden saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa 6 Mei.

Deden mengaku datang langsung ke Kantor Kemendagri sejak Selasa pagi untuk mengonfirmasi terkait surat penonaktifan Gubernur Banten dan penunjukan Rano Karno menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten. "Jadi, hingga ada kekuatan hukum tetap, walaupun banding Atut akan tetap dinonaktifkan sementara," lanjutnya.

Dijelaskannya, penonaktifan Atut dan pengangkatan Rano Karno menjadi Plt Gubernur Banten berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

"Selama Atut menjalani sidang, maka Rano sebagai Plt Gubernur. Jika divonis bersalah dan sudah berkekuatan hukum tetap, Rano akan dilantik menjadi gubernur definitif," tutupnya.

Status non aktif Atut sebagai Gubernur Banten memang tinggal masalah waktu. Seiring dengan itu persidangan Ratu Atut masih akan bergulir. Dan, bersalah atau tidaknya Atut tentu saja tergantung pada vonis hakim.