Liputan6.com, Jakarta - Sidang kasus Pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) Bank Century dan penetapan bank gagal berdampak sistemik menghadirkan mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) Boediono sebagai saksi sidang. Terkait penetapan Bank Century gagal sistemik, Boediono menyebutkan, BI punya tolak ukur sendiri.
Menurut Boediono, tolak ukur tersebut merupakan hasil ramuan antara memorandum of understanding (MoU) atau nota kesepahaman Eropa 1 Juni 2008, dengan pengalaman krisis moneter 1997-1998 yang terjadi di Indonesia.
"Ya itu disebut, tapi lupa nama perbankannya apa? Tapi itu disebut psikologi. Karena itu kita punya ukuran sendiri," ujar Boediono dalam kesaksiannya untuk terdakwa Budi Mulya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Jumat (9/5/2014).
"Kita gunakan apa yang ada yang digunakan di beberapa tempat, tapi kita tambah policy (kebijakan) di Indonesia. Pada 1997 pengalaman unik yang dialami Indonesia, sehingga diterapkan. Jadi ada peramuan keduanya," sambung Boediono.
Boediono menjelaskan, memang dalam MoU Eropa tersebut tidak disebutkan tolak ukur menggunakan analisa matriks. Namun menurutnya itu dapat dimasukkan ke dalam tolak ukur lain-lain.
"Analisa sistemik bisa ditambah dengan yang lain, termasuk matrik dan lain-lain," tegas Wakil Presiden itu.
Terkait penggunaan psikologi pasar, Boediono mengaku tidak menggunakan ahli dari luar negeri. Namun ia mengaku tidak mengetahui soal penambahan poin psikologi pasar dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 20 November 2008.
"Saya tidak ingat pada 19 (November 2008) apakah sudah dimasukkan dalam bahan pembahasan untuk 20 (November 2008). Jadi itu masih ada 4 barangkali pada 19. Tapi ini faktor psikologis sangat penting untuk masalah penyelamatan keuangan saat itu," ungkap Boediono.
Terkait matriks yang disampaikan Mantan Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia Halim Alamsyah dalam Rapat Dewan Gubernur (RGD) terkait Bank Century, diabaikan Boediono membantah.
Menurut Beodiono, matriks tersebut tidak sinkron dengan isi, sehingga tak perlu dilampirkan dalam surat permohonan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik kepada Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan Sri Mulyani.
Isi matriks kajian tersebut diketahui menyebutkan Bank Century tidak berdampak sistemik. Sebab, berdasarkan hasil kajian, secara ukuran relatif kecil karena di bawah satu persen, peran dalam memberikan kredit relatif kecil, keterkaitan dengan sektor riil relatif kecil. Sehingga, secara keseluruhan menunjukkan dampak sistemik Bank Century relatif kecil.
"Matriks itu yang dijadikan lampiran oleh Halim, dia mengatakan tidak ada dampak sistemik. Yang disebutkan tadi bank ini besar kaitannya dengan industri apa dan apa. Ini yang membuat kami, Dewan Gubernur (BI) dan kami tidak klop dalam batang tubuh, kami beranggapan tidak berdampak sistemik," ujar Boediono.
Ketidaksesuaian inilah, lanjut Boediono, yang akhirnya menjadi alasan pihaknya memutuskan tidak diikutsertakan dalam surat permohonan penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik kepada Ketua KSSK Sri Mulyani.
"November 97 bank ini kecil juga tidak ada jaminan atau payung untuk garansi ini itu. Inilah yang kita takutkan pada 2008, bukan soal kecil atau tidaknya bank. Itulah pengalaman Indonesia yang konkret, bukan teori di luar negeri. Kalau kita ambil risiko 2008 tidak berdampak domino, ini sama saja tidak bertanggungjawab terhadap keuangan di Indoensia," tegas Boediono.
Menurut Boediono, pada saat 2008 memang BI hanya fokus pada penanganan Bank Century. Soal pengajuan FPJP selain dari Bank Century, menurut Boediono, tidak ada. "Saya tidak pada bank lain waktu itu, mungkin ada tapi tidak dipenuhi. Yang saya tahu adalah Bank Century yang ajukan permohonan FPJP. Yang lain tidak ajukan atau tidak memenuhi persyaratan," pungkas Boedino.
Boediono: Analisa Dampak Sistemik Century Hasil Ramuan
Terkait penetapan Bank Century gagal sistemik, Boediono menyebutkan, BI punya tolak ukur hasil ramuan sendiri.
Advertisement