Sukses

Kerusuhan Mei 1998, Ketika Ratusan Nyawa Jadi Tumbal Reformasi

Kerusuhan berlanjut keesokan harinya, 14 Mei 1998. Penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek.

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Soeharto sedang di Kairo, Mesir, saat kerusuhan mengoyak Jakarta dan sejumlah kota lain pada 13 Mei 1998. Pemimpin Orde Baru itu menghadiri pertemuan KTT G-15. Sehari sebelumnya, 4 mahasiswa Universitas Trisakti meregang nyawa terkena peluru aparat.

Para mahasiswa yang tengah marah dengan Orde Baru, kian gusar. Mereka berencana kembali berdemo. Di kampus Trisaksi di Grogol, Jakarta Barat, digelar mimbar bebas. Ribuan orang datang, masuk ke area kampus atau di luarnya.

Menjelang tengah hari, massa di luar kampus kian tak terkendali. Bisa dipastikan bukan mahasiswa. Sebagian dari mereka mulai mencegat mobil dan sepeda motor. Lalu, merusak dan membakarnya. Mereka lalu bergerak menuju Mal Citraland. Tapi, ada aparat militer di sana.

Di titik lain, sekelompok massa lain menuju SPBU di Jl Kiai Tapa. Pembakaran terjadi. Asap hitam membumbung tinggi. Inilah awal malapetaka sebelum merembet ke seluruh Jakarta.

Dalam laporan akhirnya, Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa 13-15 Mei 1998 yang dibentuk pemerintah menemukan, "Titik picu paling awal kerusuhan di Jakarta terletak di wilayah Jakarta Barat, tepatnya wilayah seputar Universitas Trisakti pada tanggal 13 Mei 1998."

TGPF menyatakan, para pelaku kerusuhan bisa dibedakan dalam 2 golongan yakni, pertama, massa pasif yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif.

Kedua, provokator. Golongan ini umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar.

"Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya," tulis TGPF dalam laporannya.

Semua berlanjut keesokan harinya, 14 Mei 1998. Penjarahan terjadi di beberapa pusat perbelanjaan di Jabotabek. Sejumlah bangunan dirusak dan dibakar. Jakarta sungguh mencekam.

 

Bernuansa Kebencian Rasial

Kerusuhan juga jelas bernuansa kebencian rasial. Banyak sasaran perusakan adalah milik etnis Tionghoa. Lebih jauh, juga ditemukan sejumlah kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa.

"Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei l998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial," tulis TGPF.

TGPF, yang dipimpin Marzuki Darusman, mendengar langsung kesaksian 3 korban perkosaan. Lalu, ada 10 kesaksian dari keluarga korban. Terakhir, ada 1 kesaksian dari pendamping korban.

Perihal korban yang tewas dan luka-luka, TGPF menemukan variasi jumlah."Data Tim Relawan 1190 orang meninggal akibat ter/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 luka-luka; data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat..." tulis TGPF.

Pada 14 Mei sore di Kairo, Soeharto akhirnya angkat bicara di depan masyarakat Indonesia di sana. Ia mengatakan bersedia mengundurkan diri jika rakyat menginginkan seperti itu.

Soeharto tiba di Indonesia, pada 15 Mei 1998, setelah memperpendek kunjungannya. Jakarta masih bak kota hantu. Sebagian warga masih takut ke luar rumah. 6 hari kemudian, Soeharto mengundurkan diri. Orde Baru jatuh, reformasi bergulir.