Liputan6.com, Jakarta Pengamat Hukum Agraria Hari Supriyanto menilai, Rancangan Undang-undang (RUU) Pertanahan yang kini tengah digodok DPR RI harus direvisi. Sebab, RUU tersebut tidak sistematis dan banyak substansi yang tidak jelas.
"RUU Pertanahan itu memang banyak hal yang harus diganti, karena kelihatan tidak sistematis dan arahnya tidak jelas. Misalnya, yang mengatur tentang pengadilan pertanahan yang lokasinya hanya terletak di ibukota provinsi," kata Hari, Jakarta, Minggu (18/5/2014).
Padahal, kata Hari, selama ini perkara pertanahan selalu mendominasi perkara di pengadilan negeri. "Sekarang ada di pengadilan negeri. Nah, kalau besok dipusatkan di ibukota provinsi, bisa kewalahan itu, akan menumpuk. Belum lagi hambatan wilayah," tandasnya.
Menurut Hari, pemerintah dan DPR jangan mengira wilayah Indonesia hanya seperti Jakarta dan Yogyakarta. "Kalau misalanya di Jawa Tengah, orang Purbalingga ke Semarang, kan jauh sekali, apalagi Papua dan wilayah lainnya," ujar dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta itu mencontohkan.
Pada kesempatan sama, pengurus Real Estate Indonesia (REI) Yogyakarka Andreas Budi Susetyo berharap, RUU tersebut tidak merampas hak rakyat. Di Yogyakarta misalnya, ada peraturan yang rumit untuk masyarakat keturunan tertentu, yang mengakibatkan kerugian waktu dan uang saat terjadi jual-beli tanah.
Semua ini terjadi karena adanya SK Tahun 1975 yang sudah tidak sesuai dengan alam demokrasi saat ini. Dalam pelaksanaannya, diskriminasi rasial terjadi bagi ras Tionghoa. SK ini harus dicabut karena dianggap melanggar HAM.
Sedangkan Notaris Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) Agung Iip menambahkan, saat ini permasalahan yang terjadi adalah tumpang tindih peraturan kebijakan pertanahan. Adanya ketimpangan penguasaan tanah dalam wujud kemiskinan struktural.
Dinilai Tidak Sistematis, RUU Pertanahan Agar Direvisi
Revisi tersebut misalnya, yang mengatur tentang pengadilan pertanahan yang lokasinya hanya terletak di ibukota provinsi.
Advertisement