Liputan6.com, Jakarta Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengatakan, seorang hakim bukan algojo. Hakim adalah orang yang seharusnya memberikan dan menegakkan keadilan.
"Artinya bila memang yang tertuduh itu tidak bersalah, maka sebaiknya dia dibebaskan, bukan tetap memberikan hukuman lantaran gengsi," kata Bagir dalam diskusi Mengembalikan Keagungan Mahkamah Agung di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (21/5/2014).
Bagir mengatakan, seorang hakim memang diberi kewenangan tersendiri memutus perkara. Namun, bukan berarti seorang hakim memutus suatu perkara dengan sembarang.
Advertisement
"Azas hukum memang menyebutkan jika hakim itu untuk memutus hukum. Tapi yang penting itu mengartikan. Hukum tidak boleh disamakan dengan apa yang dibacanya, tapi pengertiannya," ucap Bagir yang kini menjabat Ketua Dewan Pers ini.
Seorang hakim, lanjut Bagir, juga tidak bisa berpatokan kepada hukum yang tidak tertulis. Sehingga itu merupakan bentuk pengertian hukum yang mesti dipahami, sebagai bentuk pengertian hukum yang sebenarnya.
Bila pengertian hukum tidak dipahami secara benar, ia khawatir akan terjadi kemunduran hukum. Ia mencontohkan beberapa kasus, misalnya dalam kasus dugaan korupsi yang membelit Ahmad Fathanah dalam kasus suap quota impor daging sapi.
Fathanah ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena menerima uang suap yang niatnya untuk diberikan kepada Mantan Presiden Partai Keadailan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq.
Menurut Bagir, itu bukan merupakan uang negara karena diberikan oleh swasta. Korupsi itu merupakan bentuk tindakan yang merugikan keuangan negara.
Lagipula, kata Bagir, uang yang dipegang Fathanah itu diduga akan diberikan kepada Luthfi. Ini artinya, baru niat dan hukum tidak mengadili niat.
"Hakim itu memberikan keadilan, kalau dia bebas ya harus bebas, bukan karena gengsi (beri hukuman)," pungkas Bagir.