Sukses

Soal Uang Lelah untuk Hassan Wirajuda, JK Mengaku Tak Tahu

Menurut JK, dana pelaksanaan berasal dari Deplu sendiri. Meski begitu, ia tidak merinci sumbernya dari mana.

Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan korupsi pelaksanaan kegiatan pertemuan dan sidang internasional di Departemen Luar Negeri (sekarang Kemenlu) selama 2004-2005.

Sidang kali ini menghadirkan terdakwa mantan Sekretaris Jenderal Deplu Sudjadnan Parnohadiningrat. Salah satu saksi yang dihadirkan dalam sidang adalah mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK).

Di ruang sidang, ketua majelis hakim Nani Indrawati mempertanyakan mengenai 'uang lelah' Rp 40 juta yang diduga diberikan kepada mantan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda per kegiatan.

Menjawab hal itu, JK yang menjadi wakil presiden pada 2004, mengatakan tak mengetahui mengenai uang lelah tersebut. "Sebagai wapres saya tidak tahu," ujar JK dalam sidang di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta, Rabu (4/6/2014).

JK juga sempat ditanyai Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai sumber dana pelaksanaan kegiatan-kegiatan internasional di Deplu. Menurut JK, dana pelaksaan itu berasal dari Deplu sendiri. Meski begitu, ia tidak merinci sumbernya dari mana. "(Dana) Itu Deplu. Di departemen tentu ada pertimbangan. Ini rahasia," ujar JK.

Saat ditanya lebih jauh, apakah pendanaan pelaksanaan kegiatan-kegiatan itu berasal dari biaya informal atau di luar APBN. "Semua negara lakukan itu demi jiwa warga negaranya," jawab JK.

Seusai sidang, JK kembali menjelaskan mengenai sumber dana dan uang lelah tersebut. Menurut dia, sumber dana itu bukan hal penting dalam hal untuk menyelamatkan warga negara Indonesia.

"Menyelamatkan seseorang atau beberapa warga negara Indonesia, apakah kita harus rapat dulu tentang uang darimana? Ini jiwa harus segera diselamatkan hari itu. Bahwa dana, yang ada ya dipakai dulu. Ini jiwa manusia," ujarnya.

Begitu juga dengan uang lelah yang diduga diterima Hassan untuk setiap kegiatan, JK mengaku hal itu merupakan hal teknis dari Kemenlu sendiri. Dia tidak mengetahui urusan-urusan teknis seperti itu.

"Saya tidak tahu teknis, saya tidak bicara teknis. Saya hanya berbicara bahwa pemerintah Indonesia harus bertanggung jawab menyelamatkan warganya apabila ada masalah. Soal sumber dana urusan teknis juga. Keselamatan jiwa lebih penting, mana lebih penting, jiwa Anda atau bicara tentang uang lelah atau apa?" kata JK.

Sudjadnan Parnohadiningrat didakwa melakukan tindak pidana korupsi Rp 4,570 miliar dalam pelaksanaan kegiatan 12 pertemuan, dan sidang internasional oleh Deplu selama 2004-2005.

Dalam dakwaan dirinci dari Rp 4,570 miliar itu, Rp 300 juta untuk kepentingan Sudjadnan sendiri. Sisanya, Sudjadnan memberikan untuk memperkaya orang lain, di antaranya Kepala Biro Keuangan Deplu Warsita Eka sebesar Rp 15 juta, Kepala Bagian Pelaksana Anggaran Sekjen Deplu I Gusti Putu Adnyana Rp 165 juta, Kepala Bagian Pengendali Anggaran Sekjen Deplu Suwartini Wirta Rp 165 juta, dan Sekretariat Jenderal Deplu Rp 110 juta.

Tak cuma itu, dalam dakwaan disebut juga nama Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Susilo Bambang Yudhoyono, Hassan Wirajuda ikut kecipratan hasil dugaan korupsi yang dilakukan Sudjadnan. Hassan yang saat kasus itu terjadi masih menjabat Menteri Luar Negeri, kebagian dana Rp 440 juta dari Sudjadnan.

Atas perbuatannya, Sudjadnan didakwa melanggar Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Sudjadnan terancam hukuman pidana seumur hidup atau maksimal 20 tahun penjara. (Yus)