Liputan6.com, Kairo - Oleh: Sunariyah, Tanti Yulianingsih, Rizki Gunawan
Kegembiraan pecah di Kairo, Mesir. Ribuan orang bersorak. Menari bahagia. Suara klakson bersahut-sahutan, menambah gempita suasana. Sambil mengibarkan bendera, ribuan orang berkumpul di Lapangan Tahrir. Kegembiraan ini persis ketika rakyat Mesir merayakan tumbangnya rezim Husni Mubarak, 25 Januari 2011 lalu.
Kegembiraan ini bukan untuk merayakan jatuhnya Presiden Mohamed Morsi. Tapi untuk merayakan kemenangan Jenderal Abdul Fatah al-Sisi dalam pemilihan presiden Mei lalu.
Advertisement
Seperti dilansir Washington Post, Rabu (4/6/2014), Komisi Pemilihan Umum Mesir mengumumkan, al-Sisi menang mutlak dalam pemilu pekan lalu. Al-Sisi berhasil meraup 96,1 persen suara. Ia mengalahkan lawannya seorang politisi sayap kiri, Hamdeen Sabahi. Hamdeen hanya mampu meraih 3,8persen suara.
Tak hanya mengalahkan Hamdeen, perolehan suara al-Sisi jauh melampui perolehan presiden Mesir sebelumnya, Mohamed Morsi. Pada pemilu 2012, Morsi hanya meraih 52 persen.
Kemenangan ini seolah membayar harapan pendukungnya, yang menyebut kepemimpinan al-Sisi kuat, dan menginginkan dia segera memulihkan stabilitas Mesir yang lumpuh sejak tiga tahun terakhir.
"Dia akan membawa kembali keamanan dan akan membawa lembaga-lembaga negara bersama-sama," kata Ayman Iskandar, 42 tahun, seorang pengerajin perak.
Kantor berita Farsi memberitakan, al-Sisi akan dilantik sebagai presiden pada Minggu 8 Mei 2014 waktu setempat. Dalam sebuah upacara yang mengundang puluhan kepala negara asing. Termasuk Presiden Iran Hassan Rouhani.
Jika Rouhani hadir, kemenangan al-Sisi sekaligus menjadi pertanda akan mencairnya hubungan antara Kairo dan Teheran, yang sempat memanas saat kepemimpinan Morsi.
Merebut Kekuasaan
Abdul Fatah al-Sisi bukanlah orang baru dalam pemerintahan. Jenderal kelahiran 19 November 1954 itu telah memegang sejumlah posisi penting. Dialah yang mendepak Mohamed Morsi dari kursi kepresidenannya.
Al-Sisi menggulingkan Morsi dalam sebuah kudeta pada 3 Juli 2013. Kudeta inilah yang kemudian mengangkat al-Sisi menjadi Deputi Pertama Perdana Menteri sekaligus merangkap Menteri Pertahanan.
Melihat bintangnya terang, pada 26 Maret 2014, al-Sisi mengumumkan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Kemenangannya pun tak terbantahkan. Namun meski meraih hampir 100 persen suara, banyak pihak menilai kemenangan itu bukanlah kemenangan utuh.
Sebab dalam pemilu tahun ini, jumlah pemilih yang tidak memberikan hak suaranya lebih besar ketimbang yang memilih. Disebutkan jumlah keseluruhan pemilih 54 juta orang. Tapi dari jumlah itu, hanya 44,4 persen yang menggunakan hak pilihnya. Jumlah pemilih menurun drastis dibandingkan pada pemilu 2012, sekalipun mereka diancam denda besar jika tak menggunakan hak suaranya.
"Suara tidak sah 3,7 persen," demikian diumumkan pihak berwenang di Mesir, seperti dikutip Reuters, Jumat (30/5/2014).
Berbeda dengan pendukungnya yang menyebut al-Sisi sebagai pahlawan, kelompok Ikhwanul Muslimin menyebut Jenderal 4 anak itu sebagai "penjahat politik".
Kebencian Ikhwanul Muslimin bukan tanpa sebab. Al-Sisi tidak hanya menggulingkan tokoh Ikhwanul Muslimin, Morsi, dari pucuk kepemimpinan mesir, tapi juga karena tekadnya untuk melenyapkan eksistensi Ikhwanul Muslimin dari Negeri Piramida itu.
Sebelum pemilu, al-Sisi dalam sebuah wawancara khusus dengan CBC dan ONTV, menjawab iya, ketika ditanyakan apakah akan melenyapkan eksistensi Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Bahkan, kata al-Sisi, tidak hanya dia yang menghapus kelompok Ikhwanul, tapi juga rakyat Mesir sendiri.
"Saya tidak menyelesaikannya. Anda rakyat Mesir yang menamatkannya," ujar Sisi dalam wawancara TV pertamanya sejak mengumumkan diri sebagai calon presiden. Bahkan al-Sisi mengisyaratkan, tidak akan menerima kemungkinan rekonsiliasi politik lewat cara apapun dengan Ikhwanul Muslimin.
Sikap ini membuat al-Sisi dihujani teror. Sejak menjadi capres, 2 kali dia diancam akan dibunuh. Tapi al-Sisi mengaku tak gentar. "Saya percaya pada takdir, saya tidak takut," tandasnya.
Dekrit Bencana
Presiden Mohamed Morsi sendiri terjungkal dari kekuasaannya, setelah mengeluarkan dekrit yang memberikan kekebalan hukum untuk dirinya sendiri. Dekrit kontroversial itu telah memicu gelombang protes besar-besaran, yang bahkan berujung pada pertumpahan darah.
Hingga menjelang pilpres, kekerasan masih mewarnai Mesir. Serangan bom terjadi di banyak tempat, termasuk di kampus universitas terkemuka, Al Azhar, Kairo. Serangan bom itu menewaskan 3 orang dan sejumlah orang lainnya terluka.
Tak tanggung-tanggung, untuk mengatasi kekacauan ini, pemerintah Mesir melalui pengadilan, mengeluarkan sejumlah keputusan mengejutkan. Pada Maret lalu, Pengadilan Minya di Kairo Selatan menjatuhkan hukuman mati kepada 529 anggota Ikhwanul Muslimin. Mereka dinyatakan bersalah atas penyerangan dan pembunuhan kepada polisi saat menggelar demonstrasi.
Tak cukup sampai di situ, pengadilan Mesir lainnya kembali membuat kejutan dengan memvonis mati 683 pendukung Ikhwanul Muslimin, termasuk pemimpin tertingginya Mohamed Badie.
Vonis mati berturut-turut terhadap ribuan orang ini kontan mengusik masyarakat internasional. Komisaris HAM PBB Navi Pillay menyebut, vonis hukuman mati itu sebagai hal memalukan.
"Memalukan untuk kedua kalinya dalam waktu dua bulan, Majelis Keenam Pengadikan Kriminal di Al-Minya menerapkan hukuman mati atas sekelompok terdakwa lewat pengadilan yang tidak sungguh-sungguh," tegasnya dalam sebuah pernyataan seperti dikutip BBC, Rabu (30/4/2014).
Sebagai negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, pemerintah Indonesia menyatakan turut prihatin atas kondisi yang terjadi di Mesir. Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dalam rilisnya mengatakan, “sebagai negara sahabat dan sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu mengikuti perkembangan situasi di Mesir. Secara dekat dan bahkan dengan rasa keprihatinan.” (Ali)