Sukses

Mereka Ingin Kembali Mengabdi di Manggarai NTT

Setelah 3 bulan, derita itu berubah menjadi cinta. Saya menikmati perjalanan ke sekolah. Para siswa membuat saya merasa sangat berarti.

Liputan6.com, NTT Begitu riang Ilo atau Mario Jaris bersama kawan-kawannya menyanyikan lagu populer Manggarai itu. Di antara mereka, siswa kelas IV SD Bengkang, Kecamatan Wae Ri'i, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur itu tampak menonjol. Bukan lantaran suaranya paling keras, melainkan kaos olahraganya yang berwarna biru pudar dan sobek di beberapa bagian sementara anak-anak lain berkaos oranye.

Selebihnya, mereka tampak serupa. Dua muka kusam, beberapa di antaranya bahkan ingusan dan belekan, pakaian lusuh, dan kaki-kaki dekil berbalut debu yang tersampar sandal jepit mereka dari lantai tanah ruang kelas atau yang dihembus angin menerobos dinding gedhek.

"Mereka jarang mandi. Maklum, di sini air sulit sekali," ujar Lukman Hakim, alumnus Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) 2011 yang menjadi Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T) angkatan kedua di SD tersebut.

Dia sungguh terharu menyaksikan keriangan para siswanya dalam bernyanyi. Apalagi, baru kali itu mereka memilih lagu Manggarai. Selama setahun mengabdi di Bengkang, lajang asal Batang Jawa Tengah itu sudah cukup mampu menyimak dan berbicara bahasa Manggarai. Tapi dia ingat, pada beberapa bulan awal, dia harus memakai bahasa isyarat ketika mengajar. Lantaran sebagian besar siswa tak paham bahasa Indonesia. Lukman punya andil dalam pembiasaan berbahasa Indonesia di sekolah.

"Ketika sudah bisa berbahasa Indonesia, kalau diminta nyanyi, mereka lebih suka pilih lagu pop macam Separuh Aku milik Noah," ujar Lukman sembari tertawa.

*Lukman Hakim, alumnus PGSD 2011 yang menjadi Sarjana Mendidik Daerah 3T angkatan kedua di SD Bengkang, Kecamatan Wae Ri'i, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

2 dari 3 halaman

Kebhinekaan dan Toleransi

Kedatangan Lukman, juga 56 SM3T di kabupaten Manggarai, mengingatkan kembali kepada masyarakat setempat tentang kebhinnekaan dan toleransi. Tak hanya untuk para siswa, tapi juga seluruh orang yang bersentuhan dengan para sarjana pendidikan yang terlibat dalam program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.

"Para siswa dan guru, juga kami semua jadi sadar kembali soal kebhinekaan. Kami diingatkan soal pentingnya bertoleransi. Juga dalam beragama. Kami semua Katolik, sementara guru SM3T kebanyakan islam," ujar Kepala SD Bengkang, Yoseph Minggu Ama.

Toleransi beragama yang tinggi malah membuat terharu Annisa Citra Sparina dan Dinar Dewi Astini, dua SM3T dari Unnes yang mengabdi di SMP Katolik Sinar Ponggeok, Kecamatan Satarmese. Sekolah itu berada dibawah Yayasan Katolik dan dipimpin Romo Fransiskus Martinus Perik Pr. Jadi bisa dipastikan, pola pendidikan yang diajarkan berlandaskan Katolikisme.

Apa reaksi mereka ketika diberi SM3T yang muslimah dan bahkan Dinar memakai hijab?

"Mereka menerima kami sepenuh hati. Malu rasanya kalau ingat pada awalnya kami mengira akan diindoktrinasi ke dalam agama mereka," ujar Annisa Citra Sparina yang di tempat pengabdiannya dikenal sebagai Bu Citra.

Ya, kali pertama datang, keduanya sering diajak berkeliling Romo Aleksius Saridin Hiro, Pastor Paroki Ponggeok, untuk menemui para jemaat di wilayah keparokian tersebut. Saat itu, mereka memendam kekhawatiran bakal diindoktrinasi ke dalam Katolik.

"Kami salah. Kami bahkan dibuat terharu ketika Romo Asi (panggilan Fransiskus Martinus Perik Pr) secara khusus bikin halal bihalal perayaan Lebaran untuk kami berdua," kenang Citra.

Penerimaan sepenuh hati semua orang di sekolah dan masyarakat di Paroki Ponggeok bukan isapan jempol. Saat acara perpisahan pada Sabtu 21 September 2013 malam, semua yang hadir di aula sekolah larut dalam keterharuan. Bahkan, saat Bu Citra dan Bu dinar menyampaikan kalimat perpisahan, hampir semua siswa meneteskan air mata plus pelukan lama kepada keduanya.

"Mereka sudah sangat dikenal di sini. Itu karena kedatangan Bu Citra dan Bu Dinar memberikan keberwarnaan. Kami yang biasanya homogen disadarkan mengenai heterogen," ujar Romo Asi.

Kepala sekolah itu bahkan menyebutkan, kehadiran para SM3T sangat penting.

"Kami semua rindu humanisme global. Program SM3T jadi salah satu langkah tepat untuk itu," ujar Romo Asi.

*Annisa Citra Sparina dan Dinar Dewi Astini merupakan dua peserta SM3T dari Unnes yang mengabdi di SMP Katolik Sinar Ponggeok, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

3 dari 3 halaman

Menjejaki Rute Sulit

Lukman, Citra atau Dinar barangkali lebih beruntung dalam pengabdiannya sebagai SM3T. Bengkayang, tempat Lukman mengajar, meskipun berada di daerah perbukitan, berada tak jauh dari jalan utama menuju Pagal dan Reok di utara Manggarai. Dia bisa mencapainya dari Kota Ruteng dengan bersepeda motor. Citra dan Dinar pun begitu sekolahnya berada di tepi jalan utama menuju pantai Iteng di selatan Manggarai. Meskipun berkelok, jalannya beraspal.

Lain cerita yang dialami Akhmad Agus Arifin, Arief Budiman, dan Arum Puspitasari. Akhmad mengajar di SMPN 11 Satarmese di Desa Cambir. Di kalangan SM3T, desa di Kecamatan Satarmese itu termasuk paling sulit dijangkau. Banyak siswanya yang harus berjalan kaki menerabas hutan, melintasi sungai, dan mendaki bukit selama 1 jam untuk bisa bersekolah. Sarjana pendidikan dari Universitas Negeri Malang (UNM) itu memang tinggal di rumah penduduk di Cambir. Tapi untuk salat Jumat dan urusan lain dia harus ke Paka atau Tadunung yang harus ditempuh dengan jalan kaki lebih dari 1 jam.

Arief Budiman, yang tinggal di Paka bersama beberapa SM3T lain, harus berpeluh keringat untuk sampai ke tempat mengajar di SD Inpres Rapas, Kecamatan Satarmese. Dia wajib siap pada pukul 06.00 Wita dan diantar temannya bersepeda motor menuju Desa Gara yang berjarak sekitar 1 kilometer dari Paka.

Jarak Desa Gara ke Desa Rapas sebenarnya hanya sekitar 8 kilometer. Tapi tak ada jalan ke sana. Oto atau truk kayu yang dulunya menjadi moda transportasi penduduk yang melintasi Desa Rapas sudah tidak beroperasi lagi.

"Dari Gara, saya menerabas hutan, mendaki bukit, melintasi 2 sungai selama sekitar 1 jam. Seringkali saya berpapasan dengan kera. Kalau lelah saya berhenti 15 menit. Bahkan, saya pernah tertidur selama beberapa menit. Bila hari hujan, dengan mantel seadanya, saya tetap harus berjalan sambil berharap air sungai tidak meluap. Beruntung, saat SD hingga SMA di daerah asal, saya terbiasa jalan kaki untuk bersekolah," ujar Arief Budiman.

Budiman yang terbiasa jalan kaki menganggap perjalanannya di medan sulit itu serupa nostalgia ke desanya di Bingkeng, Kecamatan Dayeuh Luhur Cilacap.

Tapi Arum?

"Tiga bulan pertama, saya berjalan dengan menahan air mata. Saya nyaris putus asa," ujar Arum, SM3T dari Unnes yang mengajar di SD Inpres lokom, Kecamatan Satarmese Barat.

Sebagaimana Budiman, dari tempatnya tinggal di Desa Narang, Kecamatan Satarmese Barat, dia harus berjalan kaki selama sekitar 1 jam di medan yang sangat sulit diakses kendaraan bermotor. Sebagai perempuan, dia merasakan kengerian berjalan seorang diri di jalanan padas yang di kanan-kirinya hanya perdu dan ilalang tinggi, di tempat asing pula.

"Setelah 3 bulan, derita itu berubah jadi rasa cinta. Saya menikmati perjalanan ke sekolah sebab saya bertemu para siswa dan orang-orang yang membuat saya merasa sangat berarti. Kalau mungkin saya ingin kembali mengabdi di sana," kata Arum.

Merasa berarti, itu juga perasaan Citra. "Bukan saya yang memberikan sesuatu kepada siswa dan semua orang di sini, melainkan merekalah yang memberi banyak pelajaran buat saya. Kalau berkesempatan kembali, saya akan menerimanya tanpa harus banyak pertimbangan," tegas Citra.

Dan derita panjang setahun ketika berhadapan dengan perasaan kesepian, rindu rumah, kerja keras memotivasi siswa belajar, kelelahan melintasi medan sulit yang dialami para SM3T itu terbayar lunas oleh penerimaan, rasa kekeluargaan, dan keberartian dari masyarakat Manggarai. Karena itu, sebagian besar dari mereka ingin kembali ke Manggarai untuk mengabdi.

*Akhmad Agus Arifin, Arief Budiman, dan Arum Puspitasari merupakan peserta SM3T angkatan kedua, tahun 2012 yang mengabdi di wilayah Kabupaten Manggarai, NTT. Ahmad Agus Arifin mengajar di SMPN 11 Satarmese di Desa Cambir, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai. Arief Budiman mengajar di SD Inpres Rapas, Kecamatan Satarmese. Dan, Arum Puspitasari mengajar di SD Inpres Lokom, Kecamatan Satarmese Barat.

Video Terkini