Liputan6.com, Surabaya - Puluhan perwakilan pekerja seks komersial (PSK), pemilik wisma, serta warga sekitar lokalisasi Gang Dolly mendatangi Kantor DPRD Kota Surabaya, Jawa Timur, Selasa 10 Juni kemarin. Mereka memprotes tindakan pemerintah kota yang memajukan jadwal penutupan lokalisasi Dolly dari 19 menjadi 18 Juni.
Seperti ditayangkan Liputan 6 Pagi SCTV, Rabu (11/6/2014), warga Dolly sempat marah karena dalam rapat dengar pendapat yang diagendakan dengan anggota Komisi D DPRD Surabaya, Kepala Dinas Sosial yang harusnya mewakili pemerintah kota justru tidak hadir.
Di sisi lain, anggota DPRD juga mempertanyakan sikap Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang dinilai tak pernah mengajak bicara terkait rencana penutupan lokalisasi Dolly. Terutama soal rencana penggunaan lahan Dolly pasca-penutupan.
Penutupan Gang Dolly sebenarnya adalah bagian dari rangkaian penutupan sejumlah lokalisasi di Kota Surabaya. Sejumlah PSK dan mucikari pun sudah ada yang beralih profesi mencari nafkah tanpa harus menjajakan diri.
Seperti Sri Umiati yang berhasil keluar dari lembah dunia hitam setelah sempat menjadi mucikari di Dolly akibat terbelit utang. Dengan kesadaran dan tekad bulat, ia memutuskan berhenti menjadi mucikari sejak 7 tahun lalu tanpa bantuan siapa pun. Kini Sri menjalani usaha telur asin dan menjahit.
Lain lagi dengan salah seorang mantan PSK di lokalisasi Kremil, Tambak Asri, Surabaya ini. Bermodal bantuan alih profesi dari pemerintah sebesar Rp 4,2 juta, ia melunasi utangnya kepada mucikari.
Tekad membuka usaha binatu awalnya tersandung kesulitan mencari pinjaman. Namun bantuan dana hibah dari ormas Islam Muhammadiyah mewujudkan impiannya memiliki pekerjaan halal.
Belum genap setahun, usaha jasa laundry tersebut bergerak cukup maju. Dalam sehari usaha binatunya mampu meraup keuntungan hingga Rp 200 ribu. Bahkan kini dapat memperkerjakan 2 karyawan yang juga mantan PSK. (Ans)