Liputan6.com, Jakarta - Wajah Risma menahan tangis. Walikota Surabaya itu akhirnya tak jua mampu menunjukkan kesedihannya saat mengungkap kondisi anak-anak yang tinggal di kawasan lokalisasi Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Air mata keluar dari orang nomor satu di Surabaya tersebut.
"Saya tidak tega mba..(ungkapkan hal ini)," ucap Risma lirih sambil mengusap air matanya dalam tayangan di sebuah stasiun televisi beberapa waktu lalu. "Saya tidak tega," ujarnya dengan suara parau.
Usai itu, tangan Risma terus mengusap wajah sendunya. Namun, Risma kian tak mampu menahan kesedihan setelah ia berujar lirih "mereka (para PSK Dolly) masih SMP-SMA."
Melihat kondisi itu, Risma mengaku terus bergerak cepat menyelesaikan persoalan tersebut. Yaitu akan menutup kawasan lokalisasi prostitusi terbesar se-Asia Tenggara ini. Penutupan itu pun dilakukan satu hari lebih cepat dari rencana semula, yakni pada 18 Juni 2014.
Risma sadar, langkahnya akan mengundang kontroversi lantaran berhubungan dengan kehidupan khalayak banyak. Menurutnya, penutupan ini berdasar peraturan daerah yang melarang orang menggunakan bangunan atau tempat untuk berbuat asusila atau memikat berbuat asusila .
Meski begitu, ia telah menyiapkan sejumlah ramuan solusi yang dinilainya manjur mengobati penyakit masyarakat tersebut. Di antaranya ialah dengan merekrut mereka menjadi Linmas atau Satpol PP.
"Mereka kita dekati dan minta macam-macam. Ya kita setujui karena itu mungkin upaya mereka untuk lepas dari jeratan lokalisasi," tutur Risma di ruang kerjanya, Surabaya, Rabu 14 Mei 2014 lalu.
Risma menambahkan, permintaan menjadi Linmas dan Satpol PP itu akan disanggupi jika warga memenuhi persyaratan institusi tersebut. Selain itu, ada juga yang minta dibantu buka usaha seperti membuka warung serta bikin usaha laundry.
"Prinsipnya kita bantu. Yang penting Dolly harus segera ditutup," imbuhnya.
Sentuhan modal usaha menjadi alternatif yang dinilainya menyisakan bukti. Saat ini sejumlah PSK dan mucikari telah beralih profesi mencari nafkah tanpa harus menjajakan diri.
Seperti Sri Umiati yang berhasil keluar dari lembah dunia hitam setelah sempat menjadi mucikari di Dolly akibat terbelit utang. Dengan kesadaran dan tekad bulat, ia memutuskan berhenti menjadi mucikari sejak 7 tahun lalu tanpa bantuan siapa pun. Kini Sri menjalani usaha telur asin dan menjahit.
Lain lagi dengan salah seorang mantan PSK di lokalisasi Kremil, Tambak Asri, Surabaya ini. Bermodal bantuan alih profesi dari pemerintah sebesar Rp 4,2 juta, ia melunasi utangnya kepada mucikari.
Tekad membuka usaha binatu awalnya tersandung kesulitan mencari pinjaman. Namun bantuan dana hibah dari ormas Islam Muhammadiyah mewujudkan impiannya memiliki pekerjaan halal.
Belum genap setahun, usaha jasa laundry tersebut bergerak cukup maju. Dalam sehari usaha binatunya mampu meraup keuntungan hingga Rp 200 ribu. Bahkan kini dapat mempekerjakan 2 karyawan yang juga mantan PSK.
Pro Kontra
Risma tidak sendiri. Langkahnya didukung oleh Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri. Ia mengaku prihatin karena lokalisasi itu membuat wanita Indonesia harus menjual dirinya. Untuk itu, dirinya bersedia mengikuti ikrar penutupan dan memasang papan pengumuman pemberlakuan undang-undang perdagangan manusia. Â
"Sangat memprihatinkan kalau karena kemiskinan, wanita Indonesia menjual diri. Itu harus diselamatkan, kalau tidak diselamatkan kita yang melanggar hak asasi manusia (HAM)," ujar Salim di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (5/6/2014).
Salim menjelaskan Gang Dolly merupakan perkampungan masyarakat. Di tempat itu banyak anak-anak yang sedang tumbuh kembang. "Akhirnya tumbuh kembangnya nggak sehat, rusak," katanya. Oleh karena itu, Salim mendukung penutupan Gang Dolly.
Dukungan lainnya datang dari Mahfud MD. Tokoh yang berasal dari Madura itu mengaku setuju dan mendukung langkah Risma menutup lokalisasi tersebut.
"Lokalisasi apa pun alasannya itu tidak bagus. Itu kehinaan. Negara terhina membiarkan hal-hal seperti itu," ujar Mahfud, Sabtu 14 Juni 2014.
Mantan Ketua MK ini juga menyoroti banyak anak-anak muda yang tinggal di lokalisasi Surabaya itu. Tentunya, hal itu akan memberikan dampak buruk bagi anak-anak.
"Rumah seperti itu diisi anak-anak SMP dan SMA. Itu harus dibubarkan dan dicari alternatif lain oleh negara," tegas Mahfud.
Tak hanya dari tokoh penting, massa yang mengaku dari Gerakan Rakyat Surabaya dan Ikatan Keluarga Madura (Ikama) juga mendukung dengan mendatangi kantor Risma di Surabaya. Massa yang di dalamnya terdapat tokoh agama Jawa Timur itu beralasan, keberadaan lokalisasi ini tak hanya menjadi sumber penyebaran virus HIV-AIDS, juga memicu aksi kriminalitas.
Mereka mengecam pihak-pihak yang menolak kebijakan walikota karena keberadaan lokalisasi ini lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. Gang Dolly saat ini dihuni 1.000 lebih pekerja seks komersial dan sekitar 300 mucikari.
Namun pada sisi lain rencana penutupan kawasan Dolly juga ditentang warga lokalisasi. Ribuan Pekerja Seks Komersil (PSK), mucikari dan pedagang kaki lima Dolly menggelar mimbar bebas dan dialog terbuka dengan Komnas HAM. Mereka menyesalkan kebijakan pemkot yang akan menutup Dolly tanpa koordinasi dan tak peduli dengan nasib mereka.
Protes penutupan Dolly juga datang dari 30 ribu buruh se-Jawa Timur pada hari Buruh Internasional alias May Day, 1 Mei 2014 lalu. Di antara para buruh itu terselip Paguyuban Pekerja Lokalisasi (PPL).
"Kami tidak pernah merasa diajak ngomong oleh pemerintah. Pemerintah telah membangun opini publik yang seolah-olah dalam program pelatihan pemerintah berjalan lancar, padahal yang diikutkan dalam pelatihan tersebut adalah ibu-ibu PKK bukan PSK (pekerja seks komersial)," kata koordinator PPL Guntur (30) di depan Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Jatim.
Apeng, anggota PPL lainnya pun bersuara. Dalam orasinya dia memprotes rencana penutupan Gang Dolly pada 18 Juni 2014 mendatang. Penutupan kawasan lokalisasi di Surabaya itu dinilai bukan jalan keluar menghentikan kasus prostitusi.
"Dengan ditutupnya lokalisasi bukan menyelesaikan masalah, malah menambah permasalahan. Karena akan banyak terjadi kasus pemerkosaan," ucap Apeng.
Kisah Awal Dolly
Kisah Dolly bermula dari sebidang kompleks pemakaman Tionghoa di Putat Jaya, Surabaya. Pada 1966, pemerintah setempat menyatakan kompleks itu ditutup. Ahli waris diminta memindahkan jasad kerabat mereka.
Lalu, mulai berdatangan mereka yang "lapar" tanah. Bangunan atau gundukan makam diratakan, memindahkan kerangka yang tersisa, atau bahkan hanya meratakan gundukan makam tapi tak memindahkan kerangka. Di atasnya, dibangun rumah-rumah.
"Pada 1967, muncul seorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur, yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda," tulis Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly. Buku ini semula merupakan skripsi Tjahjo di Jurusan Sosiologi Universitas Airlangga, Surabaya.
Perempuan itu yang pertama kali mendirikan rumah bordil di sana. Uniknya, ia enggan dipanggil "mami", tapi lebih suka dipanggil "papi"-- sebagaimana layaknya germo pria.
Karena dianggap sebagai perintis, Dolly dipakai sebagai nama kompleks secara keseluruhan. Tentu saja, nama tidak resmi, tumbuh dari mulut ke mulut.
Karena bekas makam, banyak cerita klenik yang berkembang pada awalnya. Menurut para penghuni, rumah-rumah di Dolly banyak yang angker. "Sering muncul roh-roh halus di tengah malam. Pelacuran bertetangga dengan roh, tentulah para roh penasaran," tulis Tjahjo dan Ashadi. (Rmn)
Â