Â
Liputan6.com, Jakarta - Ini hidup wanita si kupu-kupu malam...
Bekerja bertaruh seluruh jiwa raga...
Bibir senyum kata halus merayu memanja...
Kepada setiap mereka yang datang...
Dosakah yang dia kerjakan?
Sucikah mereka yang datang?
Syair lagu 'Kupu-kupu malam' milik Titiek Puspa seolah menjadi gambaran kondisi para wanita yang menjalani kehidupannya sebagai pekerja seks komersial (PSK). Setiap saat, mereka harus bersedia melayani para tuan yang berkantong tebal untuk dapat meraup rezeki agar keluarganya dapat makan esok hari.
Selain itu, lirik lagu itu juga menjadi gambaran kondisi PSK di lokalisasi Dolly. Dolly atau Gang Dolly adalah nama sebuah kawasan lokalisasi pelacuran yang terletak di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur. Di kawasan lokalisasi ini, wanita penghibur 'dipajang' dalam ruangan berdinding kaca mirip etalase.
Kompleks penjaja kenikmatan ini mendapat predikat sebagai lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara mengalahkan Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura.
Di kawasan prostitusi Dolly ini, terkumpul ribuan PSK yang berasal dari sejumlah daerah seperti Semarang, Kudus, Pati, Purwodadi, Nganjuk, Sidoarjo, Sumenep, Malang, Trenggalek, dan Kediri.Sedangkan mereka yang berasal Surabaya bekerja di Dolly dengan model paruh waktu atau freelance.
'Kupu-kupu' itu kini terancam kepunahannya. Dolly akan ditutup oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya pada Rabu 18 Juni 2014 malam. Meski diwarnai pro dan kontra, Walikota Surabaya Tri Rismaharini tetap keukeuh bahwa praktik Dolly harus segera dihapus dari peta Kota Pahlawan tersebut. (Baca: Kontroversi Penutupan Dolly)
Risma beralasan, realitas sosial yang ditimbulkan dari lokalisasi itu sangat memilukan. Mulai ancaman penyakit HIV/AIDS hingga kasus trafficking terhadap mereka yang tak berdosa. Bahkan Risma tak mampu menahan tangis saat menyebut PSK di Dolly tersebut berasal dari kalangan pelajar SMP-SMA.
Tak hanya itu, Risma juga mengaku memiliki dasar hukum yang kuat. Yaitu adanya peraturan daerah yang melarang orang menggunakan bangunan atau tempat untuk berbuat asusila atau memikat berbuat asusila.
Sejarah Dolly
Dolly merupakan potret prostitusi yang menggiurkan. Dalam sejarahnya, tak ada orang yang berani menutup. Pihak yang berwenang pun tak pernah memberikan satu kebijakan tegas soal ini. Mereka hanya menempuh langkah preventif seperti memasang kamera pemantau keamanan dan potensi macet serta pembatasan jam operasional.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo mengakui kesulitan tersebut. Dirinya pernah mengungkapkan malu lantaran wilayah yang dipimpinnya terdapat praktik tersebut. Ironisnya, ada tokoh masyarakat yang turut bagian dalam mengeruk keuntungan anak buahnya.
"Kalau di Dolly, maaf, kadang ada Ketua RW yang ikut-ikutan jadi germo, ini yang agak berat," jelas Pakde Karwo saat memberikan sambutan kegiatan buka bersama PC dan PWNU se Jawa Timur di aula kantor PWNU Jatim yang dikutip nu.or.id, Kamis 25 Agustus 2011 lalu .
Namun langkah Pakde Karwo itu dinilai sebagai hal pencitraan. Karena 12 Gubernur Jatim dan 17 Walikota Surabaya sebelumnya tidak pernah mempersoalkan keberadaan kawasan Dolly.
"Jatim sejak dipimpin RM Tumenggung Ario Soerjo hingga Imam Utomo, dan Surabaya sejak dipimpin Radjamin Nasution hingga Bambang DH tak pernah persoalkan Dolly. Apa ini hanya karena upaya pencitraan Risma dan Soekarwo?" kata salah satu PSK dalam sebuah dialog pada pentas teater berjudul "Dolly Riwayatmu Kini" di Surabaya, Sabtu 14 Juni lalu.
Lantas bagaimana awal munculnya lokalisasi fenomenal tersebut? Menurut Tjahjo Purnomo dan Ashadi Siregar dalam Dolly: Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, awalnya kawasan itu hanya sebuah pekuburan Tionghoa berupa tanah kosong.
Pada 1967, muncul seorang bernama Dolly Khavit, seorang wanita yang konon dulunya juga pelacur, yang kemudian menikah dengan seorang pelaut Belanda. Dolly merupakan seorang wanita yang memiliki perangai seperti laki-laki, tomboy.
Dari hasil pernikahannya, Dolly dikaruniai putra bernama Edy. Ia juga mengambil anak angkat bernama Bambang. Akhirnya, Dolly memiliki usaha pelacuran. Ia mengangkat mucikari yang diambil dari Kampung Semolosewu. Dari sini mulai muncul sebutan Papi Dolly. Ia kemudian mengelola satu wisma bernama Mamamia.
Tak lama setelah itu, dibangun sebuah wisma bernama Barbara yang dikelola keturunan Belanda. Di lokasi itu, muncul kemudian Wisma TKT dan Sembilan Belas. Akhirnya, jadilah perkampungan itu menjadi nama Gang Dolly pada awal 1970.
Dalam perkembangannya, Dolly memang tak pernah sepi dari pria yang berkunjung ke sana. Padahal, banyak tumbuh lokalisasi lain seperti Moroseneng, Bangunsari, Kremil, Lasem, dan Rembang. Ada pula kompleks pelacuran yang bernama Jarak sebagai tempat persinggahan lelaki hidung belang.
Keturunan dari Dolly hingga kini masih ada di Surabaya meskipun sudah tidak mengelola bisnis 'daging mentah' ini.
Kompleks Dolly menjadi sumber rezeki bagi banyak pihak. Bukan hanya bagi pekerja seks, tetapi juga pemilik warung, penjaja rokok, tukang parkir, tukang ojek, dan tukang becak.
Surabaya memiliki sejumlah kawasan prostitusi. Sebagian pusat lokalisasi itu sudah ditutup, seperti Dupak Bangunsari yang memiliki 62 wisma dengan jumlah PSK 3.500 ditutup tahun 2012. Para PSK di sana mendapatkan pesangon Rp 3 juta setiap orang dari Kementerian Sosial.
Setelah Dupak Bangunsari, Pemkot Surabaya menutup lokalisasi Klakah Rejo dan Moroseneng di Kecamatan Benowo dan Tambak Asri di Kecamatan Krembangan pada 2013. Kini giliran Dolly dan Jarak yang bakal ditutup pada Rabu besok malam.
Dikemanakan Mereka?
Walikota Risma sadar, langkahnya akan mengundang kontroversi lantaran berhubungan dengan kehidupan khalayak banyak. Pihaknya telah menyiapkan sejumlah ramuan solusi yang dinilainya manjur mengobati penyakit masyarakat itu. Di antaranya ialah dengan merekrut mereka menjadi Linmas atau Satpol PP.
"Mereka kita dekati dan minta macam-macam. Ya kita setujui karena itu mungkin upaya mereka untuk lepas dari jeratan lokalisasi," tutur Risma di ruang kerjanya, Surabaya, Rabu 14 Mei 2014 lalu.
Risma menambahkan, permintaan menjadi Linmas dan Satpol PP itu akan disanggupi jika warga memenuhi persyaratan institusi tersebut. Selain itu, ada juga yang minta dibantu buka usaha seperti membuka warung serta bikin usaha laundry.
"Prinsipnya kita bantu. Yang penting Dolly harus segera ditutup," imbuhnya.
Sentuhan modal usaha menjadi alternatif yang dinilainya menyisakan bukti. Saat ini sejumlah PSK dan mucikari telah beralih profesi mencari nafkah tanpa harus menjajakan diri.
Seperti Sri Umiati yang berhasil keluar dari dunia hitam setelah sempat menjadi mucikari di Dolly akibat terbelit utang. Dengan kesadaran dan tekad bulat, ia memutuskan berhenti menjadi mucikari sejak 7 tahun lalu tanpa bantuan siapa pun. Kini Sri menjalani usaha telur asin dan menjahit.
Lain lagi dengan salah seorang mantan PSK di lokalisasi Kremil, Tambak Asri, Surabaya ini. Bermodal bantuan alih profesi dari pemerintah sebesar Rp 4,2 juta, ia melunasi utangnya kepada mucikari.
Tekad membuka usaha binatu awalnya tersandung kesulitan mencari pinjaman. Namun bantuan dana hibah dari ormas Islam Muhammadiyah mewujudkan impiannya memiliki pekerjaan halal.
Belum genap setahun, usaha jasa laundry tersebut bergerak cukup maju. Dalam sehari usaha binatunya mampu meraup keuntungan hingga Rp 200 ribu. Bahkan kini dapat mempekerjakan 2 karyawan yang juga mantan PSK.
Kini dengan menjalani kehidupan yang diharapkan, para mantan PSK itu mantap menjalani hidup. Mereka diberi jalan yang terang untuk menghidupi keluarganya. Tak ada lagi resah menjerit bimbang menunggu tamu yang datang.
Dan, kisah-kisah kelabunya pada masa silamnya akan ditutup dan tersimpan dalam kenangan pahit untuk dijadikan pelajaran bagi orang-orang tercintanya kelak. (Ado)