Liputan6.com, Surabaya - Salah satu warga yang menjadi korban atas penutupan lokalisasi prostitusi Gang Dolly adalah Pak Juni, pemilik kios rokok dan minuman air mineral yang berada di sudut ujung Gang Dolly, Surabaya, Jawa Timur. Pak Juni mengaku sudah 40 tahun berjualan di tempat itu.
"Sejak tahun 1974 saya sudah berjualan di sini. Tahun segitu harga jasa pekerja PSK masih Rp 3.000 dan sekarang sudah puluhan hingga ratusan ribu," katanya, Jumat malam 20 Juni 2014.
Dia menambahkan, setiap harinya dia berjualan mulai pukul 17.00 WIB sampai dengan 03.00 WIB. Dalam sehari berjualan dirinya mendapatkan penghasilan hingga ratusan ribu rupiah.
"Tanggal 18 Juni kemarin saya libur. Dan kalau sampai Dolly jadi ditutup otomatis mata pencarian saya juga tutup. Dan saya rugi ratusan juta rupiah," imbuhnya.
Dia juga pernah ditanya oleh temannya yang bekerja sebagai Satpol PP Surabaya apa yang akan dia minta jika Dolly ditutup. "Ya saya jawab nggak minta apa-apa. Tapi kalau bisa ya jangan ditutup," harapnya.
Lokalisasi Dolly asal mulanya dirintis oleh seorang perempuan keturunan Filipina bernama Dolly dan akhirnya dinikahi oleh seorang lelaki keturunan Belanda. Pada tahun 1960-an dirinya membuka wisma yang diberinama Dolly.
Dari cerita yang berkembang di masyarakat dan dari mulut ke mulut, akhirnya lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara tersebut dikenal dengan sebutan lokalisasi Gang Dolly.
"Saya masih sempat mengetahui masanya Mami Dolly. Pada tahun 1992 mami Dolly meninggal dunia. Dan yang meneruskan pengelolaan wismanya anak-anaknya," tandasnya.
Dolly Ditutup, Pemilik Kios Rokok Mengaku Rugi Ratusan Juta
Setiap harinya Pak Juni berjualan mulai sore hingga dini hari. Dalam sehari, dirinya mendapat penghasilan hingga ratusan ribu rupiah.
Advertisement