Liputan6.com, Bogor - Proses Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB) secara online tingkat SMA/SMK dan SMP di Bogor harus dievaluasi oleh Walikota Bima Arya. Kemudian harus dihentikan karena tak berjalan dengan baik dan masih banyak mengandung kesalahan.
Sekretaris Komisi D DPRD Kota Bogor, Muaz HD, menegaskan dirinya menyarankan Walikota melakukan evaluasi atas hasil PPDB online SMK/SMK dan SMP dan menghentikan sementara PPDB online agar penerimaan peserta didik baru lebih berkeadilan.
“Banyak hal yang harus kita lihat dari PPDB ini di antaranya untuk persyaratan penerimaan siswa baru yang diatur sesuai SK Walikota Bogor nomor 422.1.45-38 tahun 2014 justru tidak sesuai dengan PP 17 tahun 2010. Banyak info yang masuk dan melaporkan penggunaan sertifikat yang tidak sesuai dengan seharusnya,” paparnya di Gedung DPRD Kota Bogor, Senin (7/7/2014).
Tak hanya itu, lanjutnya, sistem penerimaan yang digunakan mengabaikan peran sekolah yang seharusnya menjadi sentral PPDB. Kemudian, penetapan poin bagi siswa memakai jalur prestasi bahwa sejak awal tidak disepakati oleh Komisi D karena terlalu besar dan menyamaratakan antara prestasi akademis dan non-akademis perorangan dan beregu.
Baca Juga
"Jadi anak dengan prestasi ujian lebih bagus tersingkir oleh anak dengan hasil ujian jauh lebih rendah padahal prestasinya bisa jadi bukan akademis. Komisi D menyarankan menggunakan ahli dalam penetapan poin prestasi tapi justru diabaikan," tandasnya.
Muaz mengatakan, selain itu pada sistim PPDB online ini banyak mengalami gangguan dan Standar Operating System (SOP) yang tidak jelas bagi operator di sekolah-sekolah asal.
"Saya menilai PPDB online terburu-buru, dipaksakan, dan tidak cukup SDM yang mumpuni untuk mengerjakan. Untuk penetapan asal sekolah sebagai basis penerimaan sesungguhnya memperlakukan warga Kota secara tidak adil. Karena, tidak sedikit warga Kota Bogor yang anaknya berasal dari sekolah di luar kota," jelas dia.
Advertisement
Perlakuan Diskriminatif
Menurut Muaz, jadi kebanyakan warga Kota Bogor mendapatkan perlakuan diskriminatif. “Jika sudah seperti ini, banyak yang bertanya: ke mana saja Komisi D? Dalam rapat-rapat Komisi D sudah meminta domisili harus menjadi basis. Artinya warga Kota dari manapun asal sekolahnya memiliki 2 kesempatan pilihan,” kata Muaz.
Sementara, lanjutnya, jalur prestasi di tiap sekolah diwajibkan dengan kuota bahkan Komisi meminta ada kuota siswa dari keluarga miskin. “Sedangkan siswa dari luar kota dibatasi jumlahnya, karena Pemkot punya kewajiban melayani warga kota. Sebelum diumumkan, evaluasi dulu sistemnya. Walikota harus berani mengambil keputusan yang seharusnya walaupun dengan harus membatalkan hasil PPDB online,” tandas Muaz.
Sementara itu, Anggota Komisi D, Slamet Wijaya mengatakan jika Pemkot belum siap mengadakan PPDB online maka tidak harus diselenggarakan. “Harusnya betul-betul siap PPDB online ini. Jangan masyarakat yang dirugikan. Dalam hal ini dinas juga harus transparan, jangan sampai masyarakat menjadi resah dan jangan sampai menanyakan,” paparnya.
Padahal, kata Slamet, untuk penyelenggaraan PPDB online sudah dianggarkan sebesar Rp 10 miliar dan untuk sosialisasi sekitar 30 persen. Selain itu, sudah dikerjasamakan dengan pihak ketiga namun tetap saja sistem tak berjalan sempurna.
“Kata dinas juga sempat mau ditangani sendiri tapi praktiknya dibantu oleh pihak ketiga. Selain itu, sistem japresnya juga banyak yang palsu. Inilah yang harus dievaluasi oleh Pemkot,” pungkasnya.