Liputan6.com, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil menilai banyak terjadi kejanggalan dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3). Kelompok itu juga menyebut pengesahan UU MD3 sesaat sebelum pilpres merupakan tindakan yang terlalu dipolitisir.
"Keinginan awal tampaknya tidak cukup lapang, hanya kepentingan politik sesaat yang dominan. Sehingga muncul sifat akrobatik dan negatif terhadap substansi undang-undang," kata Hendrik Rosdinar dari Yappika di kantor ICW, Minggu (13/7/2014).
Hendrik menyarankan beberapa pasal dari UU MD3 yang baru saja disahkan itu untuk direvisi kembali. Sebab pasal itu malah menambah kewenangan anggota dewan, tapi menghilangkan sejumlah fungsi pengawasan yang justru dikhawatirkan memperlebar indikasi tindak pidana.
Hendrik mengatakan, koalisi melihat ada 8 poin penting yang menjadi sorotan dan harus segera direvisi oleh DPR. Di antaranya, tren penambahan kewenangan MPR, mekanisme pemilihan pimpinan kPR, keterwakilan perempuan, hak imunitas, proses penyidikan, mahkamah kehormatan dewan, dan hak mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan.
"Hal yang paling mungkin terjadi, adalah adanya kemungkinan anggaran ganda terkait tambahan tugas anggota dewan. Selain itu, dalam undang-undang MD3 yang baru, anggota dewan diproteksi begitu luar biasa terutama saat menjalani penyelidikan sebuah kasus oleh penegak hukum," lanjutnya.
Karena itu, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR untuk merevisi 8 poin penting dalam UU MD3. Kalau tidak juga dilakukan, koalisi akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Kami sedang menyiapkan materi dan dasar hukum untuk melakukan judicial review ke MK," tandas Hendrik. (Mut)
Diubah Sebelum Pilpres, UU MD3 Kini Proteksi Anggota DPR Berkasus
Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR untuk merevisi 8 poin penting dalam UU MD3
Advertisement