Sukses

Kisah Pilu Para Korban Gaza

167 Warga sipil di Gaza tewas setelah digempur tentara Israel selama 6 hari. Ada kisah pilu mengiringi para korban tersebut. Ikuti kisahnya.

Liputan6.com, Jakarta - Oleh: Muhammad Ali, Elin Yuanita, Rizki Gunawan, Anri Syaiful, Tanti Yulianingsih

Gaza membara. Roket-roket menderu di tengah kota Selatan Palestina tersebut. Pesawat tempur tentara Israel pun meraung-raung di atas langit Gaza untuk mencari militan Hamas, yang menjadi sasaran operasi.

Militer Israel mengatakan selama pertempuran, pihaknya telah menyerang lebih dari 1.160 sasaran di Gaza. Tempat itu termasuk peluncur roket, pabrik senjata, dan fasilitas penyimpanan dan rumah-rumah warga yang dinilai telah menjadi pusat komando militan Hamas untuk mengarahkan serangan roket ke Israel. [Baca juga: Gaza Membara Lagi]

Bahkan, kata militer Israel itu, para militan Hamas itu secara sistematis menggunakan masjid untuk menyembunyikan persenjataan dan membangun jaringan terowongan bawah tanah. Hal ini dinilainya sebagai penyalahgunaan situs suci. Untuk memburu militan Hamas, Israel menggunakan senjata yang dilarang oleh dunia internasional.

"Tempat-tempat tersebut merupakan bagian dari jaringan teror yang luas tertanam jauh di dalam populasi sipil yang sengaja dilakukan oleh organisasi teror," tambah pernyataan militer tersebut yang dikutip New York Times, Sabtu 12 Juli 2014.

Memasuki hari keenam agresi militer, 167 warga telah meregang nyawa. Mereka tewas dihantam mortir dan rudal Israel. PBB melansir 77% korban itu adalah warga sipil yang kebanyakan dari anak-anak dan wanita. Dunia internasional pun mengecam. Namun Israel bergeming dengan mengatakan "kami akan terus bombardir Gaza".

Di balik penyerangan Gaza, banyak kisah pilu yang dirasakan para korban. Kisah-kisah itu terekam dalam sejarah penyerangan mematikan ini. Dunia internasional pun menegaskan aksi Israel telah melampaui batas dan harus dihentikan.

5 Warga Cacat



Dua pesawat tempur Israel meraung-raung di atas sebuah apartemen di Gaza Timur, Sabtu subuh, 12 Juli 2014. Dalam apartemen itu, tinggal 5 warga yang diketahui memiliki tubuh yang cacat.

Raungan pesawat tempur Israel itu merupakan tanda agar apartemen dikosongkan sebelum rudal dimuntahkan dari lambung pesawat. Namun apa daya, keterbatasan fisik membuatnya pasrah.

Beberapa menit kemudian, aparteman itu diserang rudal Israel. Senjata itu menghantam lantai dasar dan meledak hingga menghancurkan tempat di mana 5 warga Gaza yang cacat itu sedang tidur. Akibatnya, 2 warga tewas dan lainnya terluka.

"Sebuah badan! Tubuh A!" teriak Atef Abed, seorang supervisor yang tinggal di samping apartemen, seperti dikutip theguardian, Sabtu 12 Juli 2014.

Dengan hati-hati, ia mengangkat puing-puing beton yang menimpa kepala korban berambut keriting yang menghadap ke bawah puing-puing.

Atef Abed menyatakan yang tewas adalah Suha Abu Saada (47). Saat tubuhnya digali dari puing-puing bangunan apartemen yang runtuh, salah satu kakinya hilang.

"Itu Suha," kata Abed menunjuk jasad yang telah meninggal terbungkus selimut di atas kasur.

"Ola Wishaa (30). Dia tewas juga. Dan Ahmed terluka bersama dengan Mai dan Sali. Untungnya dua warga lainnya pergi mengunjungi keluarga mereka." imbuh Abed.

Sebuah tempat tidur hangus terbakar akibat ledakan rudal yang menghantam dari atap apartemen. "Bom itu datang langsung melalui atap," kata Mohammad Bahri, pria berumur 22 tahun yang tinggal di sebelah apartemen.

"Kejadian itu sekitar pukul 4.30 (waktu setempat), dua drone Israel menembakkan tembakan peringatan dan kemudian jet datang dan menjatuhkan bom." cerita Bahri.

Warga yang cacat yang tak dapat bergerak, kata Bahri, hanya bisa menghabiskan waktunya di tempat tidur atau di kursi roda. Mereka tidak bisa melarikan diri dari reruntuhan bangunan.

Shayma Tak Berdaya

Rabu itu, Shayma sedang berjalan bersama keluarganya di Bait Hanoun. Tiba-tiba serangan udara menghantam rumah di dekatnya.

Bocah 4 tahun itu berlari. Kemudian Israel melancarkan serangan lain. Kini ia terbaring tak berdaya di kamar rumah sakit, akibat pecahan rudal yang menghujam tubuh mungilnya. Shayma tak tahu, ibu, ayah, dan saudarinya telah tewas.

Duduk di pinggir tempat tidurnya di Rumah Sakit Al Shiffa, bibinya, Sameh Fayeg Al Masri, mengelap dahi sang keponakan.

Ia mengamati dada Shayma yang naik turun --satu-satunya tanda kehidupan dari tubuh pucat yang dipenuhi luka. Kata dokter, bocah itu bisa pulih, tapi butuh waktu lama. Juga sedikit keajaiban.

"Kami (Palestina) harus berhenti menembakkan roket. Dan mereka (Israel) harus berhenti menyerang," kata Sameh, emosional, seperti Liputan6.com kutip dari Sky News. "Anak-anak tak berdosa yang harus membayarkan. Apa yang mereka lakukan sehingga harus menerima ini semua?"

Sameh kembali menatap Shayma, air matanya menetes. "Hanya Allah yang tahu, apakah ia akan hidup atau mati. Masih ada serpihan bom di tubuhnya."

Israel berdalih, serangan bertubi yang diluncurkan ke Gaza dalam Operasi 'Protective Edge' adalah untuk membalas roket yang diluncurkan Hamas ke wilayahnya. Namun, hukuman itu bersifat kolektif, dirasakan seluruh warga di wilayah Palestina yang telah menderita akibat blokade.

Tak hanya itu, rudal Israel juga telah menghantam rumah Mustafa Malaka di Jalur Gaza. Mustafa terlempar. Istri, Hana, dan anak lelakinya, Mohammad tewas.

Tubuhnya yang luka parah tergeletak di antara puing-puing. Diselimuti debu kelabu. Mustafa adalah mantan perwira di dinas keamanan Hamas. Namun, belakangan ia lebih banyak menganggur, karena krisis keuangan yang melanda Hamas.

Kalau pun masih diminta bertugas, Mustafa tak mendapat bayaran. Ia berternak ayam di halaman belakang untuk mencari nafkah. Kini, ia kehilangan segalanya, kecuali nyawa.

Sulitnya Cari Makanan Berbuka

Pria berusia 45 tahun itu menyusuri jalanan lengang di Gaza untuk mencari toko yang buka guna membeli makanan buat dua putranya.

Ahmed Abu Shaban, ayah lima anak ini bernafas lega saat menemukan toko yang setengah-buka. Ia membeli dua kaleng susu dan segera pulang melewati permukiman. Tak ada kendaraan sementara semua toko di sana tutup.

"Alhamdulillah! Akhirnya ada yang buka," kata Abu Shaban, seorang guru di satu sekolah dasar di Kota Gaza.

"Saya tak peduli dengan nyawa saya, tapi saya benar-benar peduli dengan keluarga saya," kata Abu Shaban. Ia menambahkan, "Saya harus berlari dan bersama keluarga saya sesuatu yang buruk terjadi ... Mereka mengkhawatirkan saya."

Selama 4 hari belakangan, jet tempur Israel terus melancarkan serangan udara sepanjang waktu terhadap lokasi yang menjadi sasaran di Jalur Gaza. Israel percaya ini digunakan untuk membalas aksi militan Palestina yang menembakkan roket dan amunisi ke dalam wilayah Israel.

"Kehidupan benar-benar lumpuh," kata Abu Shaban, sebagaimana dikutip Xinhua, Jumat (11/7/2014) malam. "Jalanan lengang dan tak ada orang yang keluar rumah karena khawatir terbunuh atau terluka sementara televisi memperlihatkan bahwa Israel menyerang ke mana-mana secara membabi buta."

Yasmin, Bocah Tak Berdosa



Keluarga berkumpul dan menangis mengelilingi tubuh mungil Yasmin Al Ma'ruf, bocah Palestina yang baru berusia 9 tahun itu terbunuh dalam serangan udara Israel.

Yasmin mengalami luka parah di tubuhnya dan langsung dibawa ke rumah sakit. Namun nyawanya tak tertolong. Dia tewas. Sang ayah membawa jasadnya melewati jalanan Gaza menuju pemakaman dalam suasana duka yang mendalam.

Penderitaan dan ketabahan warga Gaza mengetuk hati banyak manusia di dunia. Salah satunya, Michael Heart, penyanyi Amerika Serikat kelahiran Suriah yang menulis lagu berjudul, "We Will Not Go Down (Song For Gaza)".

Ode --lagu pujian-- itu ditulis pada Januari 2009, videonya ditonton lebih dari 1 juta kali sejak sebulan dirilis.

"We Will Not Go Down (Song For Gaza)" terus disiarkan di radio dan televisi di banyak negara, dinyanyikan di banyak demonstrasi di kota-kota mulai dari Sydney, Australia ke London, Inggris, hingga kini.

"Kalian bisa membakar masjid kami, rumah kami dan sekolah kami. Tapi semangat kami tidak akan pernah mati. Kami tidak akan menyerah. Di Gaza malam ini," demikian terjemahan lirik lagu tersebut. (Rmn)