Sukses

327 Kepala Daerah Terlibat Kasus Hukum, Mayoritas karena Korupsi

Menurut Djohermansyah, banyaknya kasus korupsi yang dihadapi para kepala daerah itu karena politik biaya tinggi.

Liputan6.com, Jakarta - Sejak diberlakukannya pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, banyak terjadi permasalahan.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, sedikitnya 1.000 pilkada secara langsung yang digelar terjadi berbagai macam distorsi yang tidak diharapkan terjadi, walaupun ada sisi positif seperti munculnya kepala daerah yang inovatif dan dekat dengan rakyat.

"Buah dari desentralisasi termasuk pilkada secara langsung membuat pelaku politik tidak siap. Begitu pula masyarakat pemilih yang kurang siap serta penyelenggara (KPU) yang perlu dikuatkan kapasitasnya," ungkap Djohermansyah di Jakarta seperti dikutip laman setkab.go.id, Sabtu (197/2014).

Dia juga mengaku prihatin dengan kepala daerah yang dipilih secara langsung yang ternyata banyak terjerat kasus korupsi. "Total 327 kepala daerah dari 524 orang terkena proses hukum, 86 persen di antaranya kasus korupsi," paparnya.

Menurut Djohermansyah, banyaknya kasus korupsi yang dihadapi para kepala daerah itu karena politik biaya tinggi. "Biaya bayar kampanye mahal. Kerumitan itu membuat terjadi korupsi," paparnya.

Djohermansyah juga menyoroti banyaknya pecah kongsi di antara pasangan kepada daerah terpilih dengan wakil kepala daerah. Berdasarkan catatan Kemendagri, 94 persen kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi. "Wakil dan kepala nggak harmonis, pecah," katanya.

Selain itu, menurut Djohermansyah, pilkada langsung juga menumbuhkan terjadinya politik dinasti. Berdasarkan catatan Kemendagri, 11 persen pemerintahan di daerah merupakan politik dinasti, termasuk jika dilihat dari hasil pemilihan legislatif April lalu. "Banyak keluarga kepala daerah memenangkan kursi DPR," jelasnya.

Video Terkini