Liputan6.com, Jakarta - Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan penerimaan hadiah atau gratifikasi proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Dalam sidang kali, Ruhut bersaksi untuk mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Kesaksian juru bicara Partai Demokrat itu justru membikin para pengunjung sidang tertawa.
Misalnya, saat dia ditanya majelis hakim, apakah kenal dengan terpidana kasus suap wisma atlet, Muhammad Nazaruddin. Ruhut mengaku cukup kenal dekat mantan Bendahara Umum Partai Demokrat itu.
"Dekat saya, karena dia (Nazaruddin) telat nikah," ujar Ruhut di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (7/8/2014).
Tentu saja, pernyataan itu mengundang gelak tawa dari pengunjung sidang. Tak sampai di situ, Ruhut mengatakan, sebagai pria yang telat menikah, Nazaruddin sering menanyakan tentang wanita-wanita cantik pada dirinya.
"Saya bintang sinetron, (Nazaruddin) suka tanya-tanya, yang itu cantik ya," ucap Ruhut yang kembali disambut tawa para pengunjung sidang.
Dalam kasus ini, jaksa penuntut umum (JPU) mendakwa Anas Urbaningrum menerima hadiah atau gratifikasi berupa satu unit mobil Toyota Harrier B 15 AUD senilai Rp 670 juta dan satu unit mobil Toyota Vellfire B 69 AUD senilai Rp 735 juta. Bekas Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) itu juga didakwa menerima uang sebesar Rp 116,525 miliar dan US$ 5,261 juta.
Tidak sampai di situ, mantan komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) itu juga didakwa menerima fasilitas survei pemenangannya secara gratis dari PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sebesar Rp 478,632 juta. Anas juga didakwa melakukan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebesar sebesar Rp 20,8 miliar dan Rp 3 miliar.
Dalam dakwaan Jaksa juga disebutkan bahwa Anas berkeinginan untuk menjadi Presiden RI ketika keluar dari KPU pada 2005. Demi tujuan itu, Anas menghimpun dana sebanyak-banyaknya bersama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin dengan mendirikan Grup Permai untuk menangani sejumlah proyek negara yang menggunakan dana dari ABPN.
Atas perbuatannya, mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu didakwa dengan Pasal 12 huruf a jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHPidana. (Mut)