Sukses

Misteri Marshanda dan Bipolar Disorder

Hidup Marshanda kembali diwarnai prahara, dari perceraian hingga perselisihannya dengan sang ibu. Benarkah ia menderita gangguan bipolar?

Liputan6.com, Jakarta Oleh: Gabriel Abdi Susanto, Benedikta Desideria

Penyataan itu meluncur dari bibir Marshanda. Ia mengaku didiagnosa menderita bipolar disorder tipe 2 oleh dokter ahli jiwa yang menanganinya.

“Kata dokter Richard, saya menderita bipolar disorder tipe 2,” terang Marshanda dalam program televisi 'Just Alvin' di Metro TV, Minggu 10 Agustus 2014. dr Richard Budiman adalah dokter yang merawat artis cantik tersebut.

Emosi perempuan yang akrab dipanggil Chacha itu kerap dianggap tak stabil. Ia pernah mengunggah video penuh luapan kemarahan ke teman-temannya pada tahun 2009. 

Dan 21 Juli lalu kembali beredar video Marshanda di YouTube berjudul ‘Letter to God’. Memang hanya berisi puisi curahan hati dalam Bahasa Inggris. Tapi, yang bikin heboh, dalam di video berdurasi 3 menit 21 detik itu, ia mengurai rambutnya yang dicat berwarna kekuningan. Lepas hijab.

Marshanda memang sedang dilanda banyak masalah. Perceraiannya dengan Ben Kasyafani, perebutan hak asuh anak semata wayangnya, hingga perselisihan dengan sang ibu, Riyanti Sofyan. Tapi benarkah ia menderita gangguan bipolar?

Secara ilmiah, bipolar disorder atau gangguan bipolar adalah salah satu diagnosa gangguan kejiwaan pada perasaan (suasana hati) seseorang. Istilah bipolar sendiri mengacu pada adanya dua kutub yang melanda mood atau suasana hati pasien secara bergantian, yaitu kutub manik dan kutub depresi.

“Manik adalah mood yang meningkat. Dia merasa gembira luar biasa. Dia punya tenaga luar biasa, nggak capek-capek. Dia bisa berbicara banyak sehingga kita tidak bisa menyela perbincangannya. Idenya sangat banyak. Dia bisa punya percaya diri luar biasa. Dia bisa tidak tidur tanpa ada rasa lelah. Dan keinginan seksualnya pun tak terbendung,” tutur dokter spesialis kejiwaan dari Departemen Psikiatri FKUI/RSCM Dr dr Nurmiati Amir SpKJ(K)

Menurut Nurmiati, penderita gangguan bipolar bisa melakukan tindakan menyerempet bahaya. Misalnya mengebut di jalan raya karena percaya diri luar biasa. Bisa juga pergi ke diskotek untuk mencari ekstasi dan menambah euforianya.

Seseorang dikatakan dalam episode manik, dokter Nurmiati, ketika gejala-gejala seperti yang disebut sudah berlangsung satu minggu. Namun suatu saat ia akan merasakan perasaan depresi. Ia akan merasakan suasana hatinya sedih luar biasa sepanjang hari selama berhari-hari.

“Berkebalikan dengan manik, ia akan merasa murung, menangis terus-menerus, merasa tidak ada tenaga, sampai-sampai untuk mengangkat sendok dia tidak berdaya,” terang dokter Nurmiati.

Pada saat episode depresi, pasien bipolar disorder pun tidak memiliki minat terhadap apa-apa, termasuk terhadap sesuatu yang pada saat kondisi normal ia sukai. Lalu, ia pun merasa bersalah, padahal tidak ada kesalahan yang ia buat.

“Misalkan ia mempunyai kesalahan dan merasakan kesalahan itu sangat luar biasa hingga berpikir untuk bunuh diri. Karena merasa hidup tidak ada guna lagi,” kata Nurmiati.

Dua hal inilah yang terjadi pada pasien dengan gangguan bipolar. Namun suatu ketika ia kembali pada keadaan normal seperti sebelum sakit. Sehingga ia bisa beraktivitas seperti biasa.

Menurut dokter Nurmiati, bipolar disorder mulai memperlihatkan gejala yang sudah disebut pada usia pubertas atau remaja. “Ada juga yang terjadi pada usia lanjut, namun itu jarang,” terang Bu Dokter.

Dengan melihat gejala-gejala di mana seseorang bisa depresi lalu beberapa pekan kemudian manik, orang lain bisa mengetahui adanya gangguan bipolar pada diri orang tersebut. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Marshanda Sakit Apa?)

Beda Level

Seseorang dengan gangguan bipolar bisa mengalami perasaan sangat sedih atau disebut dengan episode depresi, namun pada lain waktu bisa mengalami episode manik.

Bipolar disorder akan menunjukkan gejala-gejala yang berbeda levelnya, oleh karena itu menurut Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Dokter Danardi Sosrosumihardjo SpKJ(K) terdapat tiga jenis bipolar disorder. Yaitu bipolar disorder tipe 1, bipolar disorder tipe 2, dan unipolar.

Pada unipolar, gejala yang diperlihatkan hanya satu gejala depresi saja. Sedangkan pada bipolar 1 dan 2 sama-sama memiliki episode manik dan depresi. Namun perbedaan terletak pada maniknya.

Jika benar Marshanda menderita bipolar disorder tipe 2, dia menderita manik dengan tingkatan yang tidak seekstrem pada bipolar tipe 1. Atau disebut dengan hipomanik atau setengah.

“Jika dianalogikan dengan angka, pada pasien bipolar 1 maniknya 10, bipolar 2 maniknya 5, sedangkan pada unipolar nol,” terang dokter Danardi.

Menurut Danardi, bisa saja ada perubahan diagnosa tipe bipolar pada seseorang. “Seseorang yang memiliki bipolar tipe 2 misalnya tidak diobati bisa berubah menjadi tipe 1,” terang dia.

Namun, psikiater saja yang berkompeten mendiagnosis seseorang mengalami bipolar disorder atau tidak lewat pemeriksaan klinis lewat wawancara maupun pemeriksaan penunjang lainnya.

Setelah psikiater melakukan serangkaian pemeriksaan baik lewat wawancara terhadap pasien dan keluarga terdekat atau pemeriksaan penunjang terhadap seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa, dokter spesialis kejiwaan akan mendiagnosis ia sakit apa.

Jika sakit bipolar disorder, psikiater akan menangani pasien tersebut agar memiliki kehidupan layaknya orang biasa. Salah satu caranya dengan pemberian obat.

“Memberikan obat adalah cara untuk mencegah episode manik atau depresi datang. Obat ini diminum secara terus-menerus. Namun nanti kan ada kalanya dosis obat yang diberikan lebih rendah,” terang dokter Nurmiati.

Menurut Nurmiati, obat yang dikonsumsi oleh orang bipolar akan mengontrol suasana hati yang menstabilkan mood baik pada saat manik maupun depresi. Karena itu, obat ini harus dikonsumsi terus-menerus seperti obat diabetes dan hipertensi.

“Baru nanti kalau dokter bilang stop makan obat, pasien bisa berhenti makan obat,” tandas dokter Nurmiati.

Selain dengan mengonsumsi obat, pasien bipolar disorder pun akan diberi wawasan oleh psikiater. “Jadi pasien bipolar disorder bisa mengenali gejala bahwa ia sedang mengalami depresi atau manik. Sehingga ia mampu mengendalikan diri,” terang Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia dokter Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ (K).

Mendeteksi Bipolar

Dalam program televisi "Just Alvin" di Metro TV, Marshanda menyatakan bahwa hanya dengan mengobrol bersama dokter tanpa ada brain scan atau tes laboratorium lainnya, ia sudah didiagnosa menderita gangguan bipolar tipe 2 dan diberikan resep obat.

Lalu apakah hanya dengan mengobrol antara psikiater dan pasien sudah bisa mendiagnosa seseorang mengalami gangguan bipolar?

Dokter Danardi Sosrosumihardjo, SpKJ(K) pada Senin 11 Agustus 2014 menyatakan bahwa psikiater butuh wawancara panjang untuk mengetahui adanya gangguan kestabilan emosi jiwa pasien mulai dari riwayat hidup sejak kecil, anak-anak, remaja.

“Seorang dokter harus punya data medis riwayat jangka panjang pasien. Psikiater mewawancarai bagaimana kehidupannya sejak kecil. Adakah riwayat gejala depresi atau manik semasa hidupnya. Karena jika saat diwawancarai kondisinya sedang dalam normal sulit untuk diketahui,” terang dokter Danardi.

“Sama seperti penyakit epilepsi, jika ia tidak kejang-kejang kita tidak tahu ia sakit epilepsi atau tidak. Oleh karena itu dengan menanyakan riwayat jangka panjang baru ketahuan,” tambah dia.

Obrolan yang dilakukan antara psikiater dan pasien juga bukan sekadar obrolan biasa. “Wawancara psikiater dengan pasien gangguan jiwa itu ada tekniknya, dan seorang dokter spesialis kejiwaan butuh waktu empat tahun untuk memelajari hal ini,” tambah dokter Andri, SpKJ, FAPM dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera saat dihubungi Liputan6.com.

Kejujuran pasien juga dibutuhkan saat menjawab pertanyaan-pertanyaan psikiater. “Kalau tidak jujur, bisa saja psikiater keliru mendiagnosis” tambah dia.

Selain menanyakan kepada pasien, orang-orang terdekat pasien juga ditanyai untuk melengkapi data medis riwayat jangka panjang agar diketahui ada tidaknya ketidakstabilan emosi baik manik atau depresi.

"Cukup dengan wawancara dengan cara tepat, diagnosis sudah bisa ditegakkan," terang dokter spesialis kedokteran jiwa  yang juga dosen tamu di Fakultas Psikiatri FK UI ini.

Jika psikiater merasa wawancara pasien dan keluarga kurang, baru dilakukan pemeriksaan penunjang, seperti psikometri dan tes laboratorium. Demikian tutur dokter Danardi dalam kesempatan berbeda di Diskusi Bulanan IDI di Jakarta 13 Agustus 2014.

Ditambahkan dokter Andri, gangguan bipolar merupakan gangguan pada fungsi otak, bukan fisik organ otak. Itulah alasan mengapa wawancara psikiater hal yang terpenting dibanding pemeriksaan penunjang.

Gangguan bipolar bisa menimpa pria dan perempuan pada usia relatif muda di bawah 15 tahun. Namun, menurut Nurmiati, untuk menegakkan diagnosis pada perempuan butuh waktu lebih lama.

Seseorang didiagnosa menderita gangguan bipolar tipe 1 maupun 2 setelah mengetahui adanya gejala manik dan depresi. Umumnya, pada perempuan, gejala yang muncul untuk pertama kali berupa depresi dan bisa jadi selanjutnya depresi kembali. Ini bisa menyebabkan psikiater mendiagnosis gangguan kejiwaan depresi lainnya, seperti depresi mayor berulang.

"Misalnya kita lihat gejalanya depresi terus menerus tapi maniknya belum terlihat. Bisa saja diagnosanya salah," terang dokter Nurmiati usai acara Diskusi Bulanan IDI di Jakarta pada 13 Agustus 2014.

Tetap Berprestasi

Vindy Ariella (23) dan Igi (34) adalah dua sosok muda yang optimistis, dinamis, dan penuh karya. Mereka tetap menjalani hidup dengan semangat meski mengalami gangguan bipolar.

Mengakui dan menerima dirinya gangguan bipolar, kedua sosok ini setuju, hal ini malah membantu mereka untuk mengontrol diri dan menjalani hidup normal saat mengalami episode ketidakstabilan perasaan, baik saat bahagia atau manik maupun saat merasa depresi.

Vindy misalnya, pertama kali didiagnosis gangguan bipolar saat usia 18 tahun. Sudah 5 tahun ia jalani kehidupan dengan gangguan kejiwaan ini namun kini ia bisa berkarya di bidang seni sebagai freelance designer yang mampu menghasilkan desain sketsa dengan gambar apik.

Tak hanya memenuhi permintaan desain, ia pun berkarya pada saat depresi. "Saya sedang mencoba menjalani art health. Misalnya, saat depresi, saya tuangkan apa yang saya rasakan ke atas kanvas," jelasnya sambil menunjukkan hasil karyanya.

Apakah gangguan bipolar bisa bekerja kantoran? Bisa. Igi membuktikannya. Gangguan bipolar yang diketahuinya September 2013 lalu tak mengganggu kinerjanya sebagai pekerja di bidang finance.

"Selama ini saya mampu mengontrol diri untuk terus berangkat kerja dan tidak ada masalah dengan pekerjaan yang saya lakukan. Meski sedang mengalami depresi, tanggung jawab sebagai pekerja itu yang mendorong saya," ungkap perempuan berambut pendek itu, yakin.

Semangatnya dua sosok ini dalam menjalani kehidupan sebagai pasien gangguan bipolar, merembet ke teman-teman lain. Bersama Mili, Miri, dan Rendi mereka mendirikan sebuah komunitas Bipolar Care Indonesia (BCI) pada Mei 2013. BCI sebagai sebagai wadah terutama bagi teman-teman Orang Dengan Bipolar (ODB) dan care giver atau orang-orang yang berada di sekitar ODB serta orang-orang yang peduli ODB. 

Mencapai kehidupan seperti layaknya orang sehat jiwa lainnya, kedua sosok ini penuh usaha untuk mencapai titik ini. Seperti layaknya pasien gangguan bipolar, kedua orang ini mengalami ketidakstabilan perasaan baik episode depresi maupun manik.

Semasa kuliah di fakultas kedokteran dahulu Vindy pernah merasakan seperti ada beban sungguh berat untuk kuliah. Duduk di kelas dengan pikiran kosong, konsentrasi terganggu, langkahnya gontai, tiba-tiba menangis bahkan pernah muncul perasaan ingin mengamuk.

Saking sedihnya episode depresi yang ia alami, ia merasa masa depannya suram, ia tak berguna lagi dan merasa hidupnya hanya menyulitkan orang lain. Sampai-sampai ia pernah berpikir bunuh diri, upaya bunuh diri pernah ia lakukan sekali dengan menenggak banyak obat hingga overdosis.

Berbeda halnya saat manik, energi perempuan asal Jakarta ini jadi berlebih. Segala ketertinggalan materi kuliah pada saat depresi langsung dikejarnya dengan semangat. Sampai-sampai ia kurang tidur. Lalu, ia lebih boros, bisa saja tiba-tiba ingin shopping, beli baju-baju mahal menggunakan uang kosnya.

Pernah juga ia merasakan bosan makan obat, karena tiap hari harus makan obat antidepresan dan mood stabilizer dari psikiater. "Pernah empat bulan nggak makan obat, tapi malah episode depresi dan maniknya berlangsung cepat. Pas datang lagi ke psikiater lagi diberi obat dengan dosis tinggi," jelas dia sambil tertawa mengingat kejadian ini.

Pikiran untuk bunuh diri pun pernah menghampiri Igi, tapi untungnya belum sampai mencoba untuk melakukannya. Selain itu, pada saat depresi ia tak ingin melakukan apa-apa. Rasanya malas. Bahkan untuk mengangkat sendok untuk makan pun tak ada. Bahkan hal-hal yang sangat disukainya pada saat normal bisa tak menarik sangat depresi.

Mendengarkan lagu-lagu sedih pun mampu memicu emosinya untuk depresi."Misalnya lagu Geisha, itu kan enak banget ya... Tapi bisa buat saya larut dan memunculkan perasaan sedih dan depresi," ujar perempuan asal Depok ini.

Akhirnya kini ia tidak masukkan playlist lagu-lagu sedih. Memilih dengan lagu-lagu semangat agar memunculkan perasaan positif pada dirinya.

Kini Igi sudah diizinkan untuk tidak mengonsumsi obat oleh psikiaternya. Karena itu ia berusaha untuk mengontrol pikirannya dan segera beraktivitas jika merasa depresi muncul.

Kedua sosok ini kini jadi penyemangat ODB lain bahwa mereka sama seperti orang sehat jiwa lainnya, yang mampu berkarya dan berprestasi. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Marshanda Sakit Apa?)

Baca selanjutnya: Ada Apa dengan Marshanda...

2 dari 3 halaman

Ada Apa dengan Marshanda...?

Ada Apa dengan Marshanda?

Oleh: Ade Irwansyah

Minggu 10 Agustus 2014 adalah hari istimewa bagi Andriani Marshanda. Ia genap berusia 25 tahun. Sang bunda, Riyanti Sofyan berniat memberi kejutan istimewa buat putrinya itu.

Mengenakan jilbab warna krem, Riyanti berangkat dari rumahnya di Jalan Lembang, Menteng, Jakarta Pusat menuju Apartemen Puri Casablanca di bilangan Jakarta Selatan, tempat Marshanda tinggal. Menjinjing oleh-oleh kue ulang tahun bertuliskan ‘Happy Birthday Ka Tatab’.

Pewaris Hotel Sofyan itu tak sendirian, ia mengajak putrinya yang lain Lisa dan Lia, mantan asisten yang sudah bertahun-tahun bekerja untuk Marshanda. “Ini inisiatif dia (Riyanti) mau ketemu Chacha (sapaan Marshanda) yang hari ini ultah,” kata Lia.

Jalanan hari Minggu lengang. Tidak sampai 15 menit rombongan ibunda Marshanda sudah sampai di apartemen. Chacha tinggal di lantai 30. Namun, langkah Riyanti terhenti di lobi. Pengelola gedung tak mengizinkan tamu masuk sembarangan. Harus seizin penyewa.

Kepada Riyanti, pihak apartemen mengatakan bintang sinetron ‘Bidadari’ itu tak ada di apartemennya. Riyanti berusaha menghubungi putrinya. Tapi nomor Chacha tak nyambung.

Putus harapan untuk bertemu dan merayakan ulang tahun bersama, Riyanti kemudian menitipkan kue untuk Chacha di resepsionis. Namun, entah mengapa resepsionis menolak dititipi kue tersebut. Saat itulah pertahanan Riyanti goyah. Ia tak kuasa lagi membendung rasa kecewa. Air matanya tumpah sejadinya.

“Kue sudah diserahkan ke resepsionis, tapi kue dikembalikan. Mamanya syok dan menangis. Chacha katanya nggak ada di apartemen. Aku nggak tahu kira-kira dia benar ada di dalam atau tidak,” kata Lia.

“Kami nggak tahu mau hubungi dia ke mana, dia nggak bisa dihubungi. Dia juga nggak menghubungi kami,” kata Riyanti pada media. “Setiap ulang tahun padahal selalu dirayakan. Sudah ya, saya nggak kuat lagi,” tutupnya sembari menangis.

Drama tak hanya terjadi siang hari. Minggu malam, sosok Marshanda muncul di acara talk show Just Alvin di Metro TV. Mantan kekasih Baim Wong itu blak-blakan soal hubungannya dengan ibunda. Kepada Alvin Adam, ia bilang tak pernah merasakan kasih sayang tulus seorang ibu. Mengaku selalu dihalangi bila ingin mengelola keuangan sendiri. Kata, Chacha, ibunya juga yang mengenalkannya untuk mengonsumsi obat anti depresi, Xanax.

“Dari kelas  3 SMP, aku kan ambisius, kerja. Aku ingat, pukul 03.00 pagi ke kamar mama. Aku bilang sama mama, susah tidur. Mama bilang, 'itu ada Xanax di meja makan. Makan setengah tablet aja biar bisa tidur'. Jadi dari umur 15-16 tahun, aku minum itu. Tapi umur 17 tahun, aku pernah susah tidur, waktu itu aku ambil Xanax 2 tablet dan jadinya nggak bisa tidur,” ungkap dia.

Sementara itu, mantan manajer Marshanda, Lia mengaku tahu kondisi artis itu sejak muncul video di YouTube tahun 2009 lalu. “Waktu itu kami memeriksakan dia ke dokter. Hasilnya Chacha harus rutin minum obat,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com. "Sejak rutin minum obat, kondisi Chacha lebih stabil. Dia pakai jilbab, menikah dengan Ben, punya anak. Hidupnya baik-baik saja."

Entah bagaimana, menurut Lia, semua berubah dalam 4 bulan belakangan. “Setelah dirunut, perubahan Chacha terjadi dalam waktu empat bulan belakangan ini. Ternyata, sudah empat bulan ini tidak minum obat,” tambah dia. “Akhirnya emosinya jadi tak stabil, bersikap impulsif, lepas jilbab, menggugat cerai Ben."

Perempuan berjilbab itu menambahkan, sejak 4 bulan lalu, Marshanda berganti manajer, namanya Shandy. "Saya tak mau berkomentar lebih jauh, tapi yang jelas perubahan yang dialami pada diri Chacha terjadi sejak empat bulan itu," kata dia.

"Saat ini mamanya masih bingung bagaimana mendekati Chacha, sebab semua komunikasi diputus. Tak bisa dihubungi."

Lantas apa komentar Ben Kasyafani soal istri yang sedang menggugatnya cerai?

PesinetronTukang Bubur Naik Haji itu tak mau banyak berkomentar soal perselisihan Marshanda dengan sang ibunda.

"Ada beberapa hal yang aku jaga sekali ya antara Chacha dengan mamanya. Aku harus hati-hati banget, yang kita tahu atau nggak tahu itu kan materi keluarga. Jangan dibukalah, mungkin bukan aku (yang bicara)," ungkap Ben beberapa waktu lalu.

Ketika ditanya mengenai kondisi psikologis istrinya itu, Ben tak mau berasumsi lebih jauh. Kata dia, biar masyarakat yang menilainya.

"Banyak hal yang aku harus hati-hati juga. Ya seperti yang teman-teman lihat sih, aku nggak tahu juga dan nggak mau berasumsi," ucap Ben.

(Baca juga: [INFOGRAFIS] Marshanda Sakit Apa?)

Penuh Drama

Seperti perannya di sinetron, hidup Marshanda penuh drama. Sejak kecil ia jadi bintang iklan dan kemudian main sinetron. Saat anak-anak seusianya masih senang bermain, Chacha sudah harus banting tulang menjalani syuting.

Sejak tahun 2000, Chacha bermain di serial Bidadari. Di situ ia berperan sebagai Lala, bocah SD yang kerap dijahili teman sekolah. Beruntung Lala punya Ibu Peri -- dimainkan Ayu Azhari dan kemudian Marini Zumarnis -- yang selalu siap menolong.

Namun, di kehidupan nyata, Marshanda tak punya Ibu Peri. Dari video curhat yang diunggahnya ke YouTube tahun 2009 yang bikin kontroversi, kita tahu masa kecil ibu satu anak itu di SD tak sebahagia perannya di Bidadari. “Gue struggle kayak orang gila di sekolah gue sendiri,” kata Chacha di video itu sambil menyebut satu-dua nama teman SD yang dulu mem-bully-nya.

Video curhat Chacha itu juga menjadi kotak pandora yang membuka tabir hidup sang pesinetron ternama. Publik seketika sadar, di balik gemerlap ketenaran, dan limpahan kekayaan -- Marshanda salah satu pewaris jaringan hotel keluarga bernama Hotel Sofyan -- ada jiwa yang tercabik-cabik.

Namun, Chacha berhasil bangkit. Pada 2010, ia memutuskan berhijab. Simpati publik kembali diraihnya. Duta Lingkungan Hidup 2006 itu bukan lagi gadis yang berjoget ria sambil memaki teman SD-nya.

Setahun kemudian dia menerima pinangan Ben Kasyafani, pria yang sudah tiga tahun dipacarinya. Pernikahan yang berlangsung 2 April 2011 itu berlangsung megah. Dalam balutan jilbab dengan nuansa pakaian adat Minangkabau, pesinetron Kisah Sedih di Hari Minggu itu tampak cantik. Hari itu, tentu saja, Chacha tak sedih. Ia bahagia.

Kebahagiaannya makin lengkap ketika Chacha dikarunai putri pada 22 Januari 2013. Buah perkawinannya dengan Ben itu dinamai Sienna Ameerah Kasyafani.

Chacha merasa hidupnya sudah lengkap. Maka, ia membagi pengalaman hidupnya itu dengan memilih profesi baru, motivator. Marshanda bahkan memberi sebutan khusus bagi dirinya: “motivartis” alias motivator yang juga artis.

Sebagai artis yang sudah terkenal, serta pengalaman hidup jatuh-bangun yang beragam, Chacha seorang motivator potensial. Jadwalnya memberi nasihat padat hingga keluar kota. “Ada yang minta dua hari full aku bawain seminar motivasi,” kata dia suatu kali.

Entah bagaimana dan apa alasannya, Marshanda kembali ke ‘titik nadir’.  Bulan Mei silam, pemilik single “Bernafas dengan Cintamu” (2009) itu menggugat cerai Ben. Chacha juga meminta hak asuh anak jatuh kepadanya.

Konflik rumah tangga ini terekspos besar-besaran ke media setelah dibumbui konflik rebutan anak. Ben sempat dihalangi Chacha untuk bertemu Sienna sampai keduanya harus bernegosiasi dengan mediasi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Juni lalu.

Di tengah proses cerai, bak petir di siang bolong bulan Juli kemarin, Chacha mengunggah video dan foto tak lagi mengenakan jilbab. Ia tak bergeming atas keputusannya. “Saya tak peduli apa yang kalian pikir, kebahagian saya tak butuh persetujuan kalian,” tulis dia di akun Instagramnya dalam Bahasa Inggris.

Syahdan, petir dan guntur tak berhenti menghujam hidupnya. Senin 4 Agustus lalu, pengacara OC Kaligis yang ditunjuk sebagai pengacara Chacha mengatakan si Lala dalam sinetron Bidadari itu 'dipasung' ibunya sendiri.

Lebih persisnya, selama delapan hari dari 26 Juli hingga 3 Agustus, Chacha mengaku disekap di kamar Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat, disuntik dan diberi minum obat. “Kalau saya tak pakai kata ‘dipasung’ media tidak tertarik,” kata OC Kaligis. “Saya tahu dunia wartawan. Saya tahu persis apa yang diinginkan wartawan.”

Sejak itu drama kehidupan Marshanda tidak hanya terbuka, isinya keluar semua menjadi konsumsi orang banyak: isu jadi mesin ATM ibunda; curhat drama penyekapan di YouTube; drama kue ulang tahun yang tak sampai; dugaan penyakit bipolar disorder yang diderita Chacha; hingga pengakuan demi pengakuan yang ditunggu publik. Entah bagaimana akhirnya…

Selanjutnya: 'Kutukan' Para Jenius ...

3 dari 3 halaman

'Kutukan' Para Jenius

 Oleh: Elin Yunita Kristanti

Ada hal yang menyatukan para pesohor dunia dari berbagai latar belakang ini -- Britney Spears, Vincent Van Gogh, Marilyn Monroe, Sidney Sheldon, Hans Christian Anderson, Ludwig van Beethoven, Winston Churchill, Benjamin Franklin, dan Florence Nightingale: bipolar disorder atau manik depresif. Meski ada juga yang masih taraf dugaan.

Banyak orang terkenal diyakini dipengaruhi oleh gangguan bipolar, baik yang masih hidup atau meninggal dunia. Yang mengaku lewat pernyataan maupun meninggalkan jejak pada tulisan.

Sejumlah orang menduga, kejeniusan atau setidaknya bakat kreatif mereka terkait dengan gangguan mental, khususnya manik dan hipomania -- kondisi di mana perasaan yang menaik/bergairah, gembira, banyak ide dan disertai dengan kegiatan yang juga meningkat.

Namun, suasana hati mereka bisa berubah ekstrem. Dari episode manik dengan energi dan kreativitas tak terbendung ke posisi terendah: depresi dan ingin mati. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Marshanda Sakit Apa?)

Berikut 11 pesohor dunia yang dikaitkan dengan gangguan bipolar, seperti Liputan6.com kutip dari situs Health.com. Ada yang berakhir tragis, ada pula yang memetik pelajaran berharga.

Catherine Zeta-Jones

Catherine Zeta-Jones dengan keinginan sendiri mengunjungi fasilitas kesehatan mental pada tahun 2011 untuk mengobati gangguan bipolar 2 -- di mana periode depresi lebih panjang dari manik.

Kepada People Magazine, istri Michael Douglas itu mengaku, memutuskan untuk terbuka soal gangguan kejiwaannya itu, sebab, mungkin itu bisa menginspirasi orang lain untuk terbuka dan meminta bantuan.

"Tak perlu menderita diam-diam. Dan bukan hal memalukan untuk meminta bantuan," kata dia.

Demi Lovato

Demi Lovato baru mengetahui apa sesungguhnya terjadi pada dirinya saat masuk ke pusat perawatan -- untuk membantunya mengatasi anoreksia, bulimia, dan upaya berkali-kali untuk mengiris nadi di pergelangan tangannya.

Pada usia 18 tahun, bintang Disney itu akhirnya paham, ia menderita gangguan bipolar.

"Melihat ke belakang, ke masa lalu, itu masuk akal," kata dia kepada People. "Ada saat-saat ketika aku sangat manik, bisa menulis 7 lagu hanya dalam semalam. Terjaga dan bekerja melewati malam, hingga pukul 05.30."

Sejak saat itu ia menyelesaikan pengobatannya dan rutin menemui dokter di Los Angeles. Ia mengaku, "aku merasa terkontrol."

Britney Spears

Dunia terkejut bukan main ketika foto Britney Spears dengan kepala pelontos menyebar luas di internet tahun 2007 lalu.

Penyanyi pop tenar itu menutup bibirnya rapat-rapat soal dugaan gangguan jiwa yang mungkin ia idap, namun rumor bahwa penyanyi 'Baby One More Time' itu menderita gangguan bipolar.

Isu tersebut dikuatkan dengan pendapat serangkaian psikolog dan psikiater, meski tak ada satu pun dari mereka yang pernah merawat Spears.

Pada 2008, People Magazine memuat cerita sampul tentang 'bipolar disorder' yang diduga mempengaruhi Britney Spears. Sementara itu, seorang psikiater dari Santa Monica, California mengatakan, perilaku sang bintang mengarah pada dugaan 'perilaku bipolar klasik' -- termasuk hiperseksual, salah dalam mengambil keputusan (poor judgment), dan impulsif.

Apapun kondisi mental yang dialami Spears, belakangan ia kembali bangkit.

Kurt Cobain

Kurt Cobain mati muda. Penyanyi rock grunge itu mengakhiri hidupnya sendiri pada usia 27 tahun -- di tengah kesuksesan karirnya bersama band Nirvana.

Pada 8 April 1994, jenazah Cobain ditemukan di sebuah ruangan di atas garasi rumahnya di Lake Washington oleh pegawai Veca Electric bernama Gary Smith. Otopsi kemudian memperkirakan Cobain tewas 3 hari sebelumnya. Sebuah surat bunuh diri ditemukan di saku jaketnya.

Salah satu petunjuk kaitan Cobain dengan gangguan bipolar bisa  dilihat dari salah satu lagu Nirvana berjudul 'Lithium' yang adalah stabilisator emosi atau mood yang digunakan dalam perawatan bipolar disorder.

Majalah Time pada 2002 memasukkan Kurt Cobain dalam daftar 'jenius manik" yang berkontribusi besar pada musik, seni, sastra, dan  yang mungkin memiliki gangguan bipolar.

Marilyn Monroe

Ada banyak hal misterius seputar kehidupan salah satu perempuan paling seksi sepanjang masa ini. Pun dengan kematiannya yang penuh teka-teki pada 5 Agustus 1962, di usia 36 tahun.

Namun, film dokumenter 'Marilyn Monroe: The Final Days' yang rilis pada 2001 memberi sedikit titik terang soal kebiasaannya mengonsumsi narkotika, juga soal kesehatan mentalnya.

"Kita tahu bahwa dia adalah seorang manik depresif," kata dokter yang pernah merawat Monroe, Hyman Engelberg di film tersebut. "Itu berarti ada masalah soal emosi dan suasana hatinya bisa berubah secara ekstrem."

Sinead O'Connor

 

Penyanyi yang tenar tahun 1980-an hingga 1990-an terkenal dengan rambutnya yang nyaris pelontos.

Sinead O'Connor secara terbuka mendiskusikan gangguan mental yang ia derita dalam acara The Oprah Winfrey Show pada 2007.

Ia mengaku didiagnosa dengan gangguan bipolar pada usia 37, setelah ia berusaha mengakhiri hidupnya sendiri pada usia 33 tahun.

Connor mengatakan, ia mengonsumsi antidepresan dan obat stabilisator suasana hati. "Apa pun merupakan perbaikan ketika Anda sudah berada di ambang kehancuran," kata O'Connor.

Vincent van Gogh

Lukisan-lukisan dan gambar-gambarnya termasuk karya seni yang terbaik, paling terkenal, dan paling mahal di dunia. Vincent van Gogh dianggap sebagai salah satu pelukis terbesar dalam sejarah seni Eropa.

Meski demikian, hidup van Gogh sama sekali tak mudah. Ia harus berjuang keras untuk mengatasi suasana hatinya yang tak bisa ditebak. Pada masanya, penyakit van Gogh tidak akan dikenali sebagai gangguan bipolar, namun kini, gejalanya amatlah gamblang.

"Saat kesehatan dan semangatnya tinggi, ia melukis dengan penuh percaya diri dan energi membara," demikian tulis salah satu kritikus seni Washington Post pada 1998. "Namun, saat sedang jatuh... ia  hampir dilumpuhkan oleh keraguan dan ketakutan."

Pada akhir hidupnya, van Gogh merasa dirinya gila dan akhirnya menghabiskan sisa hidup di RS Jiwa Saint Paul de Mausole di Saint Remy de Provence, Prancis. Ia masih tetap melukis di sana.

Carrie Fisher

Carrie Fisher terkenal karena perannya sebagai Putri Leia di trilogi Star Wars. Ia mengalami banyak turbulensi dalam kehidupannya.

Setelah bertahun-tahun berjuang dengan manik dan depresi, Fisher didiagnosis dengan gangguan bipolar ketika dia berusia 28 tahun.

Emily Dickinson

Wajah penyair pendiam itu seringkali terlihat gelap dan suram. Sesuai dengan suasana hatinya.

Kala itu, tak dimungkinkan untuk mengetahui pasti apakah gangguan mental yang ia alami bisa diklasifikasikan sebagai bipolar disorder. Namun, studi pada tahun 2001 di  American Journal of Psychiatry yang mengamati siklus produktivitas Dickinson menunjukkan gejalanya.

Dokter yang merawat Dickinson mendiagnosanya dengan nervous prostration, atau kondisi gugup. Sementara, penulis studi, psikiater John F McDermott, MD mengatakan, hal tersebut ditandai dengan kecemasan dan depresi.

Pada era Dickinson, para ahli jiwa belum mendefinisikan gangguan bipolar. Namun, "pola penulisan Dickinson "tidak bertentangan" dengan profil gejala gangguan tersebut," kata Dr McDermott .

Virginia Woolf

Virginia Woolf adalah novelis Inggris yang dianggap salah satu tokoh terbesar sastra modernis dari Abad ke-20. Pukulan berat yang ia rasakan bertubi-tubi -- depresi, terjadinya Perang Dunia II, rumahnya di London yang hancur dalam pemboman, dan sambutan dingin yang diberikan pada biografi yang ditulisnya tentang sahabatnya Roger Fry -- membuatnya terpuruk. Ia merasa tak punya daya untuk bekerja.

Hingga akhirnya pada 28 Maret 1941, saat usia 59 tahun, ia mengenakan mantelnya, mengisi kantung baju dengan batu, berjalan menuju Sungai Ouse dekat rumahnya, dan menenggelamkan diri. Jasadnya baru ditemukan pada 18 April 1941.

Berdasarkan buku harian dan surat-suratnya yang kelam, sejumlah ahli yakin, sang novelis menderita manik depresif. Dalam artikel yang diterbitkan tahun 2004 oleh psikolog Katherine Dalsimer disebut, berubahnya mood secara ekstrem dalam kasus Woolf bisa didiagnosis sebagai bipolar disorder saat ini.

Linda Hamilton

Pada sebuah wawancara di tahun 2004, artis film 'Terminator' itu mengaku bahwa ia hidup dengan gangguan bipolar selama lebih dari 20 tahun.

Ia  didiagnosis setelah 10 tahun mengalami periode manik 'luar biasa brilian' dan kemudian periode depresi yang membuatnya 'seakan jatuh ke lubang dan tak bisa naik lagi, tak perduli betapa keras ia mencoba'.

Hamilton akhirnya memutuskan untuk memberitahu publik tentang perjuangannya. Dan ia memetik banyak hikmah. "Kualitas hidupku lebih luar biasa dari apa yang bisa aku bayangkan selama 20 tahun berjuang mengatasi gangguan itu," kata dia.