Liputan6.com, Jakarta - Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (Gerindra, Golkar, PPP, PAN, PKS, dan Demokrat) mendorong agar RUU Pilkada mengatur pemilihan diserahkan pada tangan DPRD.
Menanggapi hal itu, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai pengembalian Pilkada pada DPRD merupakan inkonstitusional.
"Kedaulatan di tangan rakyat jangan diperkosa dong. Seolah-seolah DPRD yang berdaulat. itu inkonstitusional," jelas Emrus saat dihubungi Liputan6.com di Jakarta, Sabtu (6/9/2014).
Menurut Emrus, pengembalian hak pilih pada DPRD merupakan bentuk kemunduran demokrasi. Anggota DPR RI, di Komisi II yang tengah mengerjakannya pun dinilai menarik kedaulatan rakyat.
Ia juga menyampaikan kalau alasan penghematan tak cukup kuat untuk mengganti ketentuan yang ada. "Saya tolak keras. itu menarik kedaulatan rakyat. Saya nggak setuju itu diberikan dengan alasan penghematan. Kita pilih demokrasi dan itu memang cost-nya (biayanya) lebih tinggi dari negara kerajaan dan ototarian," tegasnya.
Lebih jauh Emrus menambahkan adanya upaya pengembalian pada DPRD memang kental bermotif politik, apalagi pendukungnya adalah Koalisi Merah Putih.
"Asumsi saya DPRD dari Koalisi Merah Putih pasti banyak. Dengan demikian, akan ada banyak Bupati dan Gubernur dari koalisi itu. Boleh saja memperjuangkan kekuasaan, tapi jangan mengambil hak rakyat," tandas Emrus.
Sebelumnya anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat mengatakan, Partai Gerindra mendukung Pilkada melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada) yang saat ini tengah digodok. Sebab, mekanisme pilkada tak langsung ini sesuai dengan semangat antikorupsi.
‎
"Jadi, pilkada langsung harus diakui rawan korupsi. Kalau lewat DPRD itu relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. Ini sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi," kata Martin, 5 September lalu.
Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, pilkada langsung lekat dengan manipulasi uang. Selama pengalaman 10 tahun penerapan mekanisme pilkada langsung, pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya bisa mencapai ratusan miliar untuk tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu, konsekuensi yang harus diterima calon terpilih akan menggenjot balik modal lewat cara culas.
‎
"‎Sesudah kepala daerah terpilih terjadilah kerawanan bermain-main dengan APBD. Bahkan pengangkatan pejabat daerah pun sering terindikasi menggunakan politik uang‎," ujar Martin.
Baca juga:
Baca Juga
Kata Jokowi Soal Kepala Daerah Dipilih DPRD
Advertisement
Ahok: Kalau RUU Pilkada Disahkan, Dijajah Lagi Kita
Poempida Hidayatullah: RUU Pilkada Bikin Biaya Politik Jadi Mahal