Sukses

10 Tahun Kematian Munir, Tetap Berhenti di Pollycarpus?

Munir banyak memperjuangkan kasus-kasus HAM sejak awal 1990-an. Namun, namanya menjulang tinggi saat mempersoalkan kasus penculikan aktivis

Liputan6.com, Jakarta - Selasa 7 September 2004. Garuda GA-974 sedang mengudara di atas Rumania, dalam perjalanan Jakarta-Amsterdam. Pada pagi itu, seorang lelaki kurus dan berambut merah meregang nyawa. Namanya Munir Said Thalib.

Ayah dua anak itu dinyatakan tewas akibat arsenik yang meracuni tubuhnya. Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang bekas pilot Garuda yang juga anggota Badan Intelijen Nasional (BIN), dituding menaruh arsenik di minuman Munir saat mereka sama-sama ke Coffee Bean, Bandara Changi, Singapura, saat pesawat transit.

Munir banyak memperjuangkan kasus-kasus HAM sejak awal 1990-an. Namun, namanya menjulang tinggi saat mempersoalkan kasus penculikan aktivis mahasiswa pada awal 1998.  Saat itu, pria kelahiran 8 Desember 1965 itu adalah Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Buat sebagian pihak, pendirian Kontras dianggap hanya mencari "penyakit" di masa ketika Orde Baru masih sangat berkuasa. Mengenai hal ini, Munir bilang, lawan KontraS yang sesungguhnya adalah para pejabat militer lama yang nggak mau dikoreksi karena soal-soal hak asasi.

"Intelejen nggak kuanggap musuh. Tentara juga bukan musuh. KontraS hanya punya beberapa orang yang harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakannya karena telah merugikan kemanusiaan," kata Munir seperti dikutip Meicky Shoreamanis Panggabean dalam buku Keberanian Bernama Munir.

Teror dan intimidasi bukan hal asing buat Munir. Pada 21 Agustus 2001, misalnya, sebuah bom berdaya ledak rendah diletakkan di rumah orangtua Munir di Batu, Jawa Timur.

Bom berbentuk kubus yang dibungkus dalam kantung plastik berwarna hitam itu akhirnya diledakkan oleh aparat kepolisan di sebuah areal persawahan. Sejak beberapa hari sebelumnya, Munir memang tengah berada di Batu untuk mengunjungi keluarga.

Maut baru menjemput tiga tahun kemudian.  Pollycarpus divonis 14 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di tingkat banding, Hakim menguatkan putusan tersebut. Kemudian Polly mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dan ia divonis 2 tahun penjara.

2 dari 2 halaman

Surat Istri Munir

Kejaksaan lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Pollycarpus akhirnya divonis bersalah dengan hukuman lebih berat menjadi 20 tahun. Tak terima dengan putusan itu, Polly pun mengajukan PK. Dalam amar putusan PK, Oktober 2013, MA menghukum Pollycarpus dengan 14 tahun penjara.

Bagaimana dengan atasan Pollycarpus di BIN? Saat kejadian tersebut, Kepala BIN adalah AM Hendropriyono. Ia tak pernah dibawa ke pengadilan.

Sementara, Deputi V BIN saat itu, Muchdi PR, dibebaskan dari semua dakwaan pada Desember 2009 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Menurut ketua tim jaksa, Cirus Sinaga, motif pokok yang membuat Muchdi ingin menghabisi Munir adalah sakit hati. Menurut jaksa, gara-gara Munir, Muchdi dicopot sebagai Danjen Kopassus. Saat itu, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa.

Hakim menyatakan dakwaan itu tak terbukti. Salah satunya, mengabaikan informasi adanya catatan 41 kali hubungan telepon antara Pollycarpus dengan Muchdi yang disampaikan tim penyidik. Saat Munir tewas, terungkap ada 16 kali hubungan telepon di antara mereka.

Di persidangan Muchdi berkali-kali menepis pernah menelepon atau ditelepon Polly. Sementara, menurut hakim, tidak ada bukti yang menunjukkan telepon itu dipakai sendiri oleh Pollycarpus dan Muchdi. Isi pembicaraan mereka juga tidak diketahui.

Sejak peristiwa itu, Suciwati, istri Munir, telah berkali-kali membuat surat untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Khusus untuk suratnya menjelang 10 tahun kematian Munir, Suciwati juga menyapa pihak lain, yaitu Jokowi-JK.

Dalam surat itu, ia menulis, "Ini bukan mengungkit luka. Ini untuk  penyembuh luka sejarah bangsa kita. Kami butuh lilin penerang untuk masa depan. Pemimpin yang meluruskan sejarah kelam agar itu tak terjadi lagi. Peradaban, dimulai dari pemberani yang melakukan perubahan menjadi lebih baik. Andakah itu Pak Jokowi dan Pak JK?"