Liputan6.com, Jakarta - Pagelaran Pilpres 2014 telah berakhir. Meski begitu, konstelasi suhu politik di Indonesia seakan belum juga menurun. Suasana 'panas' antar-poros koalisi parpol itu kini menyeruak dari dalam gedung Parlemen, DPR.
Di dalam gedung yang berbentuk kura-kura itu, fraksi-fraksi parpol tengah berdebat terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. RUU yang sudah dibahas sejak 2012 lalu itu rencananya akan diputuskan pada September 2014.
RUU Pilkada ini diusulkan oleh pemerintah melalui Kemendagri. Menurut Ketua Panja RUU Pilkada, Abdul Hakam Naja, jika RUU ini disahkan maka akan berlaku pilkada serentak pada 2015.
Kondisi ini yang diharapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Ketua KPU Husni Kamil Manik mengungkapkan, pelaksanaan pilkada serentak akan memberi dampak positif dalam pelaksanaan pemilu. Di antaranya ialah bisa menghemat biaya pemilu hingga 50 persen dalam 1 provinsi. Pada 2015, setidaknya ada 202 daerah di Indonesia yang akan menggelar pilkada.
Selain itu, menurut Husni, dengan pilkada serentak KPU sebagai penyelenggara pemilu akan mudah dalan melakukan konsolidasi pelaksanaan pilkada.
Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada tersebut. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Dan ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD.
Yang menarik, parpol di Koalisi Merah Putih yang terdiri Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung opsi kedua. Yaitu kepala daerah dipilih oleh DPRD. Padahal, sebelum Pilpres 2014, mereka masih mendukung penyelenggaraan pilkada secara langsung.
"Setelah Pilpres mungkin karena konstelasi politik berubah dan sebagainya, tiba-tiba mereka inginnya berubah menjadi (dipilih oleh) DPRD," kata Anggota Panja RUU Pilkada Abdul Malik Haramain di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 4 September 2014.
Rawan Korupsi
Langkah Koalisi Merah Putih itu menimbulkan beragam tanggapan. Bahkan mereka dinilai mundur dalam berdemokrasi. Lantas apa tanggapan partai pendukung opsi tersebut?
"Pilkada tak langsung bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan pengejawantahan murni sila ke-4 Pancasila‎ (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan)," kata Sekjen PPP Romahurmuziy di Jakarta, Jumat 5 September 2014.
Romi, begitu ia biasa disapa, berujar PPP telah berkomitmen mendorong pilkada tak langsung sejak Mukernas II PPP di Medan, Sumatera Utara pada Januari 2012. Bahkan mengusulkan moratorium agar kembali kepada pilkada tak langsung. Ia pun mengungkapkan sejumlah alasan.
"Berkelindan (bercampur-baur) dengan high cost politics (politik berbiaya tinggi), sehingga hanya calon bermodal besar yang eligible (layak)," ujar dia.
Selain itu, lanjut Romi, selama 9 tahun pilkada langsung digelar, telah mengantarkan 292 atau 60% kepala daerah bermasalah secara hukum. Sedangkan sebelumnya, 60 tahun pilkada tak langsung tidak banyak persoalan hukum berarti. Nepotisme juga menjadi efek dari Pilkada langsung.
"Pilkada langsung rawan money politics (politik uang). Akibatnya, bukan merit system (sistem kecakapan) yang mendorong munculnya calon berkualitas. Ada uang abang disayang, tak ada uang abang melayang‎," beber Romi.
Hal senada disampaikan anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat. Menurutnya, harus diakui pilkada langsung mengandung rawan korupsi. Jika melalui DPRD, akan relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. "Ini sesuai semangat pemberantasan korupsi."
Saat ini, kata dia, bukan menjadi rahasia lagi pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya mencapai ratusan miliar pada tingkat Kabupaten dan Kota. Konsekuensinya, calon terpilih akan menggenjot balik modal dengan cara culas bila ia nanti terpilih.
"Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri), sudah ada 327 Bupati, Gubernur, hingga Walikota yang tersangkut korupsi selama pelaksanaan Pilkada langsung ini," jelas Martin.
Kedaulatan Rakyat
Beragam tanggapan terkait Pilkada tak langsung muncul dari sejumlah pihak. Presiden terpilih Jokowi menilai langkah yang dipilih Koalisi Merah Putih merupakan sebagai kemunduran berdemokrasi. Ini karena sangat berseberangan dengan perkembangan demokrasi yang saat ini sudah berjalan dengan baik.
"Ya mundur dong," ujar Jokowi usai menghadiri Kongres Pembangunan Desa di Hotel Grand Cempaka, Jakarta, Sabtu 6 September 2014.
Gubernur DKI yang lahir dari hasil Pilkada langsung ini menambahkan, banyak celah yang terbuka dari aturan itu. Jika kepala daerah dipilih DPRD, tokoh pilihan rakyat yang benar-benar ingin bekerja untuk rakyat bisa saja tidak terpilih.
"Ya mungkin. Kalau pilihan rakyat yang nggak punya duit, bisa menang," ungkap Jokowi.
Tak hanya itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahok juga tak sepakat dengan pilihan fraksi partainya di DPR. Menurutnya, Pilkada melalui DPRD akan menghasilkan praktik penyuapan terhadap oknum anggota dewan. "Oknum DPRD kaya semua. Nyogok-nyogok terus," ucap dia.
Selain itu, DPRD dinilainya akan dapat mempengaruhi kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan. Dan itu merupakan bagian dari sistem penjajahan. "Ya matilah," cetus pria bernama lengkap Basuki Tjahaja Purnama tersebut.
Advertisement
Sejumlah pengamat mengaku tidak sreg dengan pilihan Koalisi Merah Putih tersebut. Emrus Sihombing, pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menilai, langkah tersebut merupakan pemerkosaan terhadap kedaulatan rakyat. "Itu inkonstitusional," tegas dia.
Emrus menilai, langkah politik Koalisi Merah Putih tersebut sarat bermotif politik. Karena, bila itu disahkan akan ada banyak bupati dan gubernur dari koalisi tersebut kendati itu diperbolehkan. "Tapi jangan mengambil hak rakyat," tandas Emrus.
Bahkan, rencana Pilkada oleh DPRD sebagai hal yang dianggap bertentangan dengan sistem presidensial. Karena, usulan dalam RUU Pilkada tidak sinergis dengan Undang-Undang Dasar 1945.
"Konstitusi UUD 1945, bila kepala daerah dipilih DPRD tidak konstitusional dan tidak konsisten dengan bentuk pemerintahan presidensil. Dan jangan lupa juga, DPRD dalam konteks UUD 45, dipilih langsung," kata pengamat politik Ramlan Surbakti.
Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga ini menolak hal tersebut karena Indonesia sebuah negara republik, bukan kerajaan. "Di mana presiden tidak ada yang turun-temurun, namun dipilih rakyat," ujar dia.
Maka itu, tegas dia, jika sistem negara presidensial dan otonomi daerah, kepala daerah pun mesti satu sistem dengan pemerintah pusat.
"Waktu Pasal 18 ayat 4 itu diamandemen, mekanisme kepala daerah masih dipilih MPR. Jadi tidak disebutkan kepala daerah dipilih oleh DPRD, tetapi dipilih secara demokratik," imbuh dia.
Karena itu, menurut Ramlan, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kepala daerah dipilih langsung supaya konsisten dengan pusat.
Lantas, bagaimana menurut Anda?
Â
(Riz)