Liputan6.com, Jakarta - Mekanisme pemilihan kepala daerah, khususnya bupati dan walikota, dalam RUU Pilkada diusulkan untuk diubah dari yang selama ini dipilih langsung oleh rakyat menjadi dipilih DPRD. Rencana itu membuat Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengerutkan kening.
"Yang ngusulin itu mah bukan negarawan. Pengecut. Pikiran pengecut," ucap Ahok di Balaikota Jakarta, Senin (8/9/2014).
Ia juga berkesimpulan pengusul revisi UU Pilkada itu adalah orang-orang yang hanya memikirkan bagaimana kepentingan DPRD terpenuhi dan agar mereka terpilih lagi. "Berarti yang ngusulin itu orang-orang yang bukan berjiwa rakyat," tandasnya.
Pria yang karib disapa Ahok itu juga mengatakan seharusnya yang diubah adalah syarat seseorang menjadi kepala daerah, bukan mekanismenya. Salah satu syarat menjadi kepala daerah, menurut Ahok, seharusnya berani membuktikan asal harta kekayaannya.
Menurut Ahok, selama ini yang menjadi permasalahan utama menyangkut perilaku pejabat adalah masalah korupsi. Hal itu tercantum dalam UU Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption.
"Pernah nggak yang ngusulkan itu ngomongin UU Nomor 7 itu? Tolong yang ngusulkan itu jangan munafik. Kita sudah ada ratifikasi konvensi PBB melawan korupsi. Di situ harus dicantumkan siapa yang tidak bisa membuktikan harta dari mana disita dan nggak boleh jadi pejabat. Jadi dipilih rakyat paling bener. DPRD yang mengawasi. DPRD juga dipilih oleh rakyat," kata Ahok.
Ada tiga opsi mekanisme pemilihan kepala daerah yang dibahas dalam Panja RUU Pilkada di DPR. Pertama, pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih langsung seperti sekarang. Kedua pasangan gubernur, walikota, dan bupati dipilih DPRD. Ketiga, gubernur dipilih langsung tetapi bupati dan walikota dipilih DPRD. (Yus)