Sukses

Refly Harun: Pilkada Oleh DPRD Jadikan Kepala Daerah Sapi Perah

Refly menjelaskan, tidak etis bila pemilihan diwakili DPRD. Alasannya, masyarakat menginginkan pemilihan tersebut.

Liputan6.com, Jakarta - Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai, pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara tak langsung alias melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah  (RUU Pilkada) akan membuat mereka menjadi sapi perah partai politik. Dengan demikian, anggapan pemilihan tak langsung dapat meminimalisir korupsi terbantahkan.

"Kepala daerah harus bawa uang ke DPP parpol. Tanda tangan sekjen atau elite itu pasti sudah diperas. Faktor kelakuan parpol yang sering seperti itu memperlakukan kepala daerah sebagai sapi perah," tutur Refly di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (11/9/2014).

Refly pun mengkritisi anggapan 332 kepala daerah yang terlibat korupsi adalah produk gagal pemilu langsung. Ia melihat hal itu merupakan prestasi dari KPK untuk pemberantasan korupsi.

"332 kepala daerah tersangka korupsi, kalau nggak perbaiki sistem antikorupsi maka kita susah berantas. 332 itu angka setelah KPK kerja, bukan kejaksaan tingkat lokal. Tidak adil kalau kita tuntut pemilu tidak langsung, ini karena pengawasan kita kurang," jelasnya.

Refly menjelaskan, tidak etis pula bila pemilihan diwakili DPRD. Alasannya, masyarakat menginginkan pemilihan tersebut, sehingga sudah tak perlu lagi diwakili.

"Kalau rakyat sebagai pemilik kedaulatan mau langsung masa dipersoalkan. Lebih enak datang ke pernikahan langsung datang atau pakai perwakilan," tandas Refly.

Partai Gerindra yang mendukung pilkada melalui DPRD dalam Rancangan Undang-Undang Pilkada (RUU Pilkada) beralasan, pilkada tak langsung ini sesuai dengan semangat antikorupsi.
‎
"Jadi, pilkada langsung harus diakui rawan korupsi. Kalau lewat DPRD itu relatif lebih mudah diawasi dan dikontrol KPK. Ini sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi," kata anggota Dewan Penasehat DPP Partai Gerindra Martin Hutabarat saat dihubungi, Jakarta, Jumat 5 September 2014.

Anggota Komisi III DPR itu mengatakan, pilkada langsung lekat dengan manipulasi uang. Selama pengalaman 10 tahun penerapan mekanisme pilkada langsung, pengeluaran seorang calon kepala daerah untuk membiayai pertarungannya bisa mencapai ratusan miliar untuk tingkat Kabupaten dan Kota. Selain itu, konsekuensi yang harus diterima calon terpilih akan menggenjot balik modal lewat cara culas. (Mut)
‎

Video Terkini