Liputan6.com, Jakarta Ucapan Ahok bikin hati Nachrowi Ramli kaget tapi girang. “Yang terhormat mantan ketua Bamus Betawi Pak Haji Nachrowi Ramli yang juga menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta,” kata Basuki Tjahaja Purnama dari atas panggung saat memberikan sambutan di acara Lebaran Betawi di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Minggu 14 September 2014.
Nachrowi pun bergegas berdiri dari tempat duduknya di deretan tamu undangan, melambaikan tangan ke arah Basuki dan para tamu lain. Ia tersenyum lebar dengan dada lebih membusung. Tak ada kata-kata “Haiya... Ahok” yang pernah dilontarkannya dalam debat Pilkada DKI 2012 lalu.
“Kaget, surprise, Pak Ahok kok nyebut-nyebut nama saya. Tapi saya kembalikan ke Allah,” ujar Nachrowi saat dihubungi Liputan6.com, Minggu malam lalu.
Advertisement
Ia mengaku tak keberatan dengan sebutan ‘cawagub' tersebut. Malah, pria yang akrab dipanggil Bang Nara itu mengatakan bersedia dicalonkan menjadi pendamping Ahok, demi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat DKI.
“Insya Allah bersedia,” kata politisi Partai Demokrat yang juga pernah dicalonkan jadi cawagub pada Pilkada DKI 2012 berpasangan dengan Fauzi Bowo melawan Jokowi-Ahok.
Nachrowi mengatakan hubungannya dengan Ahok tak hanya baik tapi juga akrab. Selama ini, kata Nara, ia terus mengamati kegiatan Ahok. Tak lupa ia juga sudah menjalin komunikasi dengan PDIP dan Gerindra. Kapan terakhir dikontak petinggi 2 partai? “Itu rahasia,” jawab dia, lalu terkekeh.
Nama Nachrowi muncul belakangan sebagai calon pendamping Ahok yang segera dilantik jadi Gubernur DKI saat Jokowi menyeberang ke Istana Negara sebagai Presiden RI. Sosok Ketua Umum Badan Musyawarah Masyarakat Betawi (Bamus Betawi) dikabarkan diajukan oleh sesepuh pencak silat Indonesia sekaligus Wakil Gubernur DKI periode 1984-1988, Eddy M Nalapraya.
Bagaimana tanggapan Ahok? “Teman baik aku sama Nachrowi. Cocoklah. Aku mah sama Pak Nachrowi cocok,” kata dia, Jumat pekan lalu. Tapi tunggu dulu, itu bukan berarti Basuki sudah menjatuhkan pilihannya. “Aku bilang, aku pilih Raisa Andriana,” lanjut dia.
Sebelumnya Ahok menyebut sejumlah nama sebagai calon pendampingnya. Di antaranya Sarwo Handayani atau Yani, Deputi Gubernur DKI Bidang Pembangunan, Silviana Murni atau Silvi, Deputi Gubernur DKI Bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
Ahok juga menyebut nama mantan Walikota Surabaya Bambang DH dan mantan Walikota Blitar Djarot Saiful. Sayang dua nama terakhir ini, kata Ahok, menolak dicalonkan menjadi wagub DKI.
Merasa belum menemukan calon yang pas dan mau diajak duet memimpin Jakarta, Ahok pun pernah menyebut nama artis Dian Sastro dan penyanyi Raisa. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Ahok Gubernur 'Jomblo'?)
Dalam wawancara langsung dengan Liputan6.com, Selasa 9 September 2014, Ahok secara berkelakar mengatakan memilih artis karena dipastikan mereka tidak akan merecoki dan membuatnya stres.
“Daripada Anda narik orang yang nggak ngerti, mending tarik artis aja sekalian. Saya lagi stres suruh nyanyi, kan lumayan, makanya saya bilang Raisa kan lumayan gitu, disuruh nyanyi,” ujar Ahok sambil tersenyum.
Meski menyebut banyak nama, wewenang untuk menentukan cawagub DKI bukan di tangan Ahok. Melainkan di tangan partai pengusungnya yakni PDI Perjuangan dan Partai Gerindra.
PDIP Vs Gerindra
Hubungan PDIP-Gerindra yang solid pada Pilkada DKI Jakarta 2012, akhir-akhir ini memanas. Termasuk soal pendamping Ahok. Kedua partai saling klaim sebagai pihak yang paling berhak mengisi kursi wakil gubernur. PDIP mengatakan merekalah yang berhak mengajukan calon. Bukan Gerindra.
Ketua Fraksi MPR PDIP yang juga anggota Komisi II DPR dan Ketua Departemen Kehormatan PDIP, Yasonna Laoly, saat ditemui di ruang kerjanya Jumat 12 September lalu mengatakan, partainya berhak mengisi kekosongan kursi cawagub karena PDIP memiliki kursi yang lebih besar dibandingkan partai pimpinan Prabowo Subianto.
“Jokowi diusung PDIP dan Ahok diusung Gerindra, maka fatsun politiknya seharusnya jatah PDIP. Yang jadi gubernur kan Gerindra,” kata dia.
Keputusan Ahok yang mundur dari Gerindra bukan soal bagi PDIP. “Terlepas Ahok mundur, itu urusan internal. Kita nggak ada urusan dan nggak mau ikut campur urusan Gerindra. Apalagi kita besar kursinya,” kata Yasonna di Gedung DPR RI, Jakarta.
Tak mau kalah, Gerindra juga memastikan akan mengajukan nama cawagubnya. “Tapi tidak dalam waktu dekat ini, masih menunggu waktu yang tepat,” kata Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon.
Menurut Fadli, proses penentuan akhir akan dipimpin langsung oleh Ketua Dewan Pembina Gerindra, Prabowo Subianto.
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra yang juga adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo mengatakan, internal partainya telah mulai membahas nama-nama untuk mengisi kursi DKI 2. Pembahasan pun sudah mengerucut menjadi 2 nama. Tapi Hashim tak mau membocorkannya.
“Calonnya dari kader Gerindra. Tapi tentu kita bicara dulu ke kawan-kawan dari Koalisi Merah Putih. Karena Koalisi Merah Putih sudah terbentuk di pusat maupun di daerah, jadi perlu dibahas agar bisa diterima semua. Calonnya sudah mengerucut jadi 2-3 nama,” tandas Hashim.
Ditanya soal kemungkinan Nachrowi jadi calon Wagub DKI, Hashim menjawab, “Pak Nachrowi Ramli itu kawannya Pak Prabowo, dia angkatan 73 di Akabri. Dia kawan kita. Beliau baik. Saya kira Gerindra belum putuskan, tapi itu bisa jadi salah satu.”
Sementara itu di internal PDIP, meski tak disebut secara gamblang, namun santer terdengar dua nama yang disebut-sebut sebagai calon pengganti Ahok.
Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan, dua nama tersebut adalah Ketua DPD DKI Jakarta PDIP Boy Sadikin dan mantan walikota Blitar dari PDIP Djarot Saiful Hidayat.
“Yang jelas, Pak Boy punya ketegaran sebagai pemimpin. Perlu pemimpin yang dapat mengambil suatu terobosan dan keberanian,” tutur Hasto. Sedangkan pertimbangan mencalonkan Djarot, karena dia dinilai sukses sebagai walikota Blitar 2 kali.
Nama Boy dan Djarot juga disebut Wasekjen PDIP Eriko Sotarduga awal September lalu. “Pada dasarnya kami sudah menyiapkan. Kami punya cukup banyak tapi memang ada dua nama yang berkembang Pak Boy Sadikin dan Pak Djarot Saifullah Hidayat, mantan walikota Blitar. Memang ada nama lain, tapi yang di internal kami yang berkembang hanya 2 itu,” kata Eriko.
Bagaimana dengan Nachrowi Ramli? Partai berlambang banteng tak sepakat. “Nachrowi ini kan kader Demokrat,” kata Politisi PDIP Achmad Basarah.
Ia juga menegaskan, PDIP mengajukan 2 nama sebagai calon DKI2: Boy Sadikin dan Djarot Syaiful Hidayat. “Kita optimistis satu di antara nama itu akan jadi Wagub DKI. Lobi-lobi informal sudah dilakukan, dan dengan Pak Ahok kita sudah ada pembicaraan informal. Sedangkan dengan parpol (Gerindra) di DKI (nanti) kita lobi-lobi,” tambah dia.
Dengar Apa kata Ahok…
Meski sudah punya kandidat, PDIP tetap akan mendengar apa kata hati Ahok. “Tentu saja kita akan mendengarkan Pak Ahok,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto.
Pernyataan serupa diucapkan Ketua DPD DKI Gerindra yang juga anggota DPRD DKI Muhammad Taufik. Kepada Liputan6.com, Taufik mengatakan Gerindra adalah partai terbuka sehingga tak menutup kemungkinan mengajukan nama dari luar partai.
Dalam berbagai kesempatan, Ahok mengungkapkan kriteria pendamping idealnya. Salah satunya, punya pengalaman di pemerintahan. Dan tentunya, bersih.
“Tidak korupsi, jujur, dan taat konstitusi bukan konstituen. Mau blusukan. Ya yang berpengalaman di pemerintahan aja kalau bisa,” kata mantan Bupati Belitung Timur itu. Syarat lainnya, ujar Ahok, “sederhana dan nggak maruk (serakah).”
Jika tak ada yang sesuai atau mendekati kriteria, Ahok berujar, “Lebih baik saya jomblo…” (Baca juga: [INFOGRAFIS] Ahok Gubernur 'Jomblo'?)
Menurut pengamat politik dari CSIS Philips J Vermonte, cawagub DKI sebaiknya memiliki ikatan kuat dengan Ahok. “Menurut saya itu leadership style. Perlu cari pasangan yang ada chemistry sehingga pembagian tugas terjadi secara alamiah. Nggak ada pola permanen,” ujar Philips.
Dia mencontohkan Ahok yang berpasangan dengan Jokowi saat ini. “Dari Jokowi-Ahok itu ada chemistry, ada yang solidarity maker dan ada yang doer (pelaksana, red.). Jokowi-Ahok itu tim yang baik. Calon ideal adalah yang bisa melakukan hal itu.”
Terkait sifat Ahok yang terlihat keras dan cenderung blak-blakan, Philips mengatakan hal itu tak perlu dijadikan alasan untuk mencari cawagub yang halus. “Bukan keras atau tidak keras. Tapi substansi omongannya itu, betul atau salah. Kalau substansi betul dan terdengar keras, menurut saya nggak apa-apa. Buat saya nggak ada masalah keras, yang penting apa yang dibicarakan.”
Berbeda dengan Philips, peneliti Formappi, Lucius Karus, mengatakan Ahok membutuhkan pendamping yang memiliki kemampuan melobi dengan bahasa halus dan diterima semua pihak.
Alasannya, Ahok adalah figur to the point, bukan figur diplomatis atau figur yang suka gunakan bahasa-bahasa yang baik dalam ruangan. Sehingga perlu orang yang memiliki kemampuan lobi dengan bahasa halus untuk mendamaikan kepentingan politik pemerintahan Ahok nanti. “Ahok butuh orang yang bisa komunikasi baik dengan rakyat.”
Lepas dari siapa yang diinginkan dan siapa yang cocok menjadi pendamping Ahok, sebagai partai pengusung, PDIP dan Gerindra memiliki mekanisme tersendiri untuk menentukan cawagubnya.
Menurut politisi PDIP yang juga Ketua DPRD DKI sementara Johny Simanjuntak, penentuan nama cawagub merupakan kewenangan pengurus di tingkat pusat. Adapun DPD hanya mengusulkan saja.
Johny mengungkapkan nama Boy disuarakan ditingkat DPD karena dinilai syarat pengalaman. Tidak hanya di lingkungan DPRD, tapi juga berhasil menjadikan PDIP sebagai pemenang pemilu legislatif di DKI dan mengantarkan Jokowi sebagai pemenang Pilpres 9 Juli lalu.
Kendati demikian, kata Hasto, penentuan akhir cawagub DKI ada di tangan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Usai dipilih Mega, nama cawagub tersebut kemudian diusulkan kepada DPRD DKI.
“Ya, kami kan melalui rapat DPP, dipimpin Ibu Mega. Masing-masing memberikan pertimbangan dan opsi. Baru akhirnya sesuai tradisi demokrasi kita, Ibu Mega yang memutuskan,” ucap Hasto.
Sementara Boy, yang merupakan putra mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, saat dihubungi Liputan6.com mengatakan, "wagub itu tidak lepas dari DPP. Misalnya baru beredar nama, DPP yang membahas bersama dengan dewan pimpinan." Sementara, mekanisme yang sama berlaku di Gerindra. Keputusan terakhir ada di tangan Prabowo.
Jadi mana yang lebih kuat, pasangan Ahok pilihan Bu Mega atau Prabowo?
Selanjutnya: Galak Mana, Bang Ali atau Ahok?
Galak Mana, Bang Ali atau Ahok?
Galak Mana, Bang Ali atau Ahok?
Sejak dilantik sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta pada 15 Oktober 2012, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok sudah mengambil posisi: dia sosok yang berbeda!
Mengimbangi kesan lembut dan bersahaja Gubernur Joko Widodo atau Jokowi, Ahok tampil garang. Ketika Jokowi bicara dengan nada pelan, Ahok tampil dengan vokal tinggi dan lantang. Saat Jokowi memperlihatkan kemarahan dalam sikap yang tenang, Ahok tak ragu menunjuk hidung stafnya yang dinilai tak becus kerja.
Ketika banyak pejabat menyimpan rapat-rapat kehidupan pribadinya, Ahok justru membuka lebar-lebar ‘dapur’ rumahnya di hadapan publik. Dia tak sungkan menuliskan nominal uang rakyat yang dia terima sebagai gaji Wagub DKI Jakarta di laman pribadinya di dunia maya.
Terlahir dari keturunan Tionghoa dan non-muslim, Ahok tak pernah merasakan hal itu sebagai ganjalan. Dia tak ragu memaparkan ide Pemprov DKI untuk membangun Masjid Agung serta memberangkatkan penjaga masjid naik haji dengan biaya pemerintah.
Kendati punya energi berlebih, sepanjang mendampingi Jokowi dia tak pernah melewati batas. Ahok paham betul posisinya yang hanya sebagai wakil gubernur, sehingga segarang-garangnya dia, semuanya berhenti ketika harus berhadapan dengan DKI-1. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Ahok Gubernur 'Jomblo'?)
Itulah gambaran kecil sosok yang sebentar lagi akan memimpin Jakarta.
Ahok akan jadi pemimpin Ibukota. Dengan luas wilayah yang terbilang kecil dibandingkan provinsi lain di Indonesia, hanya 740,3 km², ia akan memimpin kota paling penting di negara ini. Jakarta adalah pusat perekonomian nasional, tempat bermukim para elite politik serta beranda untuk memperkenalkan Indonesia di mata dunia.
Sebagian kalangan berpendapat Ahok layak dan tepat untuk posisi itu. Dengan bekal sikap tegas dan tak pandang bulu terhadap kesalahan dan pelanggaran, Ahok dinilai bisa membersihkan jajaran birokrasi di Jakarta.
Selain itu, dengan citra sebagai pejabat yang bersih dari korupsi, mantan anggota DPR dari Partai Golkar ini tak akan ragu mengibarkan ‘bendera perang’ terhadap para pejabat korup yang selama ini menikmati lemahnya pengawasan. Intinya, sikap keras dan tegas Ahok merupakan modal awal yang baik.
Dengan modal itu, tak heran kalau banyak yang teringat dengan sosok Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977. Gubernur yang karib disapa Bang Ali itu juga lekat dengan sosok gubernur yang tegas dan keras terhadap bawahan, tak jauh beda dengan Ahok.
“Tapi, Ali Sadikin lebih galak sedikit dibanding Ahok,” tutur mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada suatu kesempatan di Kantor Dewan Masjid Indonesia (DMI), Jakarta, Senin 5 Agustus 2013.
JK tak salah membandingkan Ahok dengan Ali Sadikin. Siapa pun yang menjadi Gubernur DKI Jakarta akan selalu dibandingkan dengan Letjen TNI dari Korps Marinir itu. Ali Sadikin identik dengan Jakarta, dan sebaliknya Jakarta pun dinilai paling sukses saat berada di bawah kepemimpinan Bang Ali.
Dengan sikap keras, tegas dan tanpa kompromi, Bang Ali mengubah Jakarta menjadi sebuah kota yang modern meski pada awalnya mendapat banyak perlawanan dari publik. Bahkan, tak sekadar marah-marah, Bang Ali tak takut melayangkan pukulan kepada bawahannya jika kesalahannya sudah tak bisa ditolerir.
Seperti ketika Bang Ali menemukan sebuah proyek yang pembangunannya macet karena pasokan semen dari kontraktor terlambat. Kesal karena proyek yang sangat dibutuhkan warga Ibukota itu tak selesai pada waktunya dan ditambah lagi dengan jawaban sang direktur perusahaan kontraktor itu yang berbelit-belit, Bang Ali pun mengamuk.
“Saya marah sekali, saya tempeleng dia 3 kali. Barulah dia berjanji akan segera memenuhi kontraknya. Benar juga, pada hari berikutnya kiriman semen sudah masuk ke proyek,” kata Bang Ali seperti dikutip dari memoarnya, Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977.
Dengan semua kebijakan yang kurang populis dan sikap kerasnya, buah tangan Ali Sadikin masih bisa dinikmati hingga sekarang. Hampir seluruh sektor kehidupan masyarakat disentuhnya, mulai dari pendidikan, transportasi, kebudayaan, kesehatan, serta tata kota.
Sekadar menyebutkan, Taman Ismail Marzuki, Kebun Binatang Ragunan, Proyek Senen, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Taman Monas, Taman Ria Remaja, dan pelestarian budaya Betawi di kawasan Condet adalah buah karya Bang Ali.
Pria kelahiran Sumedang, Jawa Barat ini juga mencetuskan Pekan Raya Jakarta atau Jakarta Fair, yaitu pesta rakyat setiap tahun pada hari jadi Kota Jakarta, 22 Juni. Bersamaan dengan itu berbagai aspek budaya Betawi dihidupkan kembali, seperti kerak telor, ondel-ondel, lenong dan topeng Betawi.
Untuk warga Jakarta, dia juga memperbaiki sarana transportasi dengan mendatangkan banyak bus kota dan menata trayeknya serta membangun stasiun bus serta halte bus yang nyaman.
Di bidang kebudayaan, Bang Ali mendirikan Pusat Perfilman Usmar Ismail, Museum Tekstil, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa. Dia era dia pula ajang Abang None Jakarta dimulai dan tetap bertahan hingga saat ini.
Sama Gaya, Beda Cara
Banyaknya orang yang kemudian menyamakan karakter kepemimpinan Ahok meski berlatar belakang seorang pengusaha dan Ali Sadikin yang dari militer, membuat pria kelahiran Manggar, Belitung Timur, 29 Juni 1966 itu harus memikul beban sejarah yang berat. Ahok tak mau disamakan dengan Bang Ali.
“Orang bilang kita ikutin Ali Sadikin, ya nggak bisa dong. Dia bintang 3, tentara dan TNI, ditunjuk Bung Karno dan Pak Harto, nggak bisa menyamai Beliau. Nempeleng orang, pukul orang di tempat nggak ada yang berani (melawan), di sini jangankan pukul orang, salah ngomong saja bisa digugat kita,” ujar Ahok dalam wawancara khusus dengan Liputan6.com di Balaikota Jakarta, Rabu 10 September lalu.
Karena itu, bagi Ahok dia akan bekerja untuk Jakarta sesuai dengan cara dan apa yang dia anggap tepat tanpa harus berkaca pada sosok lain lantaran menurutnya setiap orang hidup di era yang berbeda dan dengan tantangan yang berbeda pula.
“Kita mindahin orang dari Waduk Pluit ke rumah susun lengkap dengan kulkas dan televisi saja dibilang melanggar HAM, yang nuntut Komisioner Komnas HAM dan resmi lho. Jadi zaman kita ini memang zaman konyol, kalau ditanya idolakan siapa ya susah, kita nggak bisa idolai manusia, karena manusia ada plus minusnya,” tegas dia.
Yang jelas, Ahok mengaku tak akan menghilangkan 'hobi' marah-marahnya kepada bawahan, asal tidak disertai dengan kekerasan fisik. “Kalau sudah ngomong dengan orang 1, 2, 3 kali masih ngeyel, kan nggak mungkin mukul orang, paling ngomong dengan nada tinggi saja,” terang Ahok.
Namun, sejarawan JJ Rizal melihat karakter Ahok yang keras dan tegas memang mirip dengan Bang Ali, kendati dari beberapa aspek dia melihat ada perbedaan.
“Caranya sih menurut saya mengingatkan cara kerasnya Bang Ali, tapi pada aspek lain berbeda. Bang Ali keras tapi tidak diperlihatkan langsung ke masyarakat. Kalau Ahok kan biasa di luar, bahkan direkam dan diunggah ke Youtube,” kata Rizal kepada Liputan6.com, Jumat 12 September lalu.
Kesamaan lain menurut putera Betawi ini, keduanya sama-sama peduli dengan reformasi birokrasi. Kelebihan Bang Ali menurut Rizal, meski sangat keras dalam memimpin, apa yang dia lakukan tidak sampai menjadi pembicaraan publik.
“Dulu ada jembatan baru dibangun, sekitar 3 sampai 4 bulan sudah roboh. Itu menjadi berita nasional, banyak pihak yang bertanya. Lalu Bang Ali melakukan jumpa pers dan bilang 'ini salah saya'. Usai jumpa pers Bang Ali masuk ruang rapat dan seluruh anak buahnya yang terlibat dalam pembangunan jembatan yang runtuh itu digamparin satu per satu. Tidak ada orang luar tahu dan tidak di-publish saat itu,” ungkap Rizal.
Karena itu, lanjut Rizal, dirinya khawatir dengan karakter Ahok yang sering memarahi bawahannya di muka umum dan menayangkannya di kanal berbagi video serta media sosial di dunia maya. Menurut Rizal hal tersebut sama saja menjatuhkan mental bawahannya yang bisa berbalik menjadi pembangkangan.
Rizal menegaskan sangat memahami tujuan keduanya dari aksi marah-marah tersebut, yaitu untuk membenahi birokrasi pemerintahan yang bobrok. Hanya, kendati Bang Ali dan Ahok punya karakter yang sama, dari caranya bersikap sangat jauh berbeda.
Hal hampir senada juga diungkapkan pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago. Menurut dia, waktu selama hampir 2 tahun mendampingi Jokowi membuktikan kalau Ahok punya peranan besar membenahi birokrasi di Pemprov DKI Jakarta.
Karakter Ahok yang tegas dan meledak-ledak itu dianggap cukup ampuh membuat gerah para pejabat yang ingin 'bermain'. Namun, untuk ke depan, menurut Andrinof, gaya Ahok menjalankan pemerintahan harus mulai bergeser. Ahok harus mulai bisa menahan amarahnya.
“Kalau tantangan pekerjaan sudah jelas dari kemarin-kemarin sudah berhasil dijawab. Tantangan sebenarnya ada di dirinya sendiri. Hati-hati, jangan terjebak dengan gayanya sendiri,” ujar Andrinof kepada Liputan6.com di Jakarta, Rabu 10 September lalu.
Masalah Lama untuk Gubernur Baru
Terkait dengan gebrakan yang akan dilakukan saat mulai menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Ahok mengaku tak mau yang muluk-muluk. Dirinya memastikan akan meneruskan program yang sudah dijalankan selama ini dengan Jokowi.
“Bedanya mungkin nggak ada yang blusukan saja. Yang pasti hampir semua kita teruskan dan kita sempurnakan,” tegas ayah 3 anak ini.
Secara khusus Ahok mengakui memang ada beberapa program yang digariskan Pemprov DKI Jakarta harus diperbaiki lagi penerapannya di lapangan. Antara lain Ahok menyebut adanya penyelewengan dalam program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan penyediaan rumah susun.
“Ada beberapa hal yang harus kita perbaiki, seperti KJP dan rumah susun. Fakta di lapangan ternyata tak hanya ada oknum pejabat, juga ada oknum rakyat miskin yang memanfaatkan peluang. Misalnya KJP, uangnya ditarik dan dijadikan buat beli HP,” jelas dia
Masalah lainnya yang juga menjadi perhatian adalah banjir dan kemacetan yang seolah sudah menjadi penyakit akut Ibukota. “Kita akan membuat sebuah sistem transportasi terpadu antara bus Transjakarta, mass rapid transit (MRT) dan light rapid transit (LRT),” jelas Ahok tentang upayanya membenahi sarana transportasi massal.
JJ Rizal mengamini prioritas kerja yang akan dilakukan Ahok saat menjadi gubernur nanti. Namun, berkaca pada besarnya tuntutan warga Ibukota selama ini kepada gubernurnya yang silih berganti, menurutnya Ahok tak bisa hanya memikirkan banjir air, namun juga banjir orang dan banjir kendaraan.
“3 banjir tersebut segera harus dipikirkan Ahok, kalau banjir air sekarang sudah dilakukan antisipasi. Nah, banjir kendaraan itu dan banjir orang juga menjadi beban,” jelas dia.
Dengan kerapnya Ahok menyorot 3 masalah tersebut selama menjabat Wagub DKI Jakarta, Rizal menegaskan tak ada lagi waktu bagi mantan Bupati Belitung Timur itu untuk berlama-lama menuntaskannya setelah resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta.
Sementara itu, Andrinof menegaskan sepakat dengan apa yang akan dilakukan Ahok di masa pemerintahannya nanti. Dia yakin Ahok tak akan banyak mengubah kebijakan dan arah pembangunan Jakarta seperti saat dirinya masih bersanding bersama Jokowi.
“Harusnya memang melaksanakan apa yang sudah disiapkan sejak tahun lalu. Karena itu janji bersama, kalau mau mengubah gaya nggak masalah, tapi yang diusung tetap sama,” kata dosen FISIP Universitas Indonesia itu.
Namun, dia menyarankan agar Ahok fokus pada masalah-masalah tertentu yang butuh penyelesaian segera. “Misalnya, macet, banjir dan genangan, lalu normalisasi sungai, perbaikan fasilitas umum, dan perbaikan pelayanan. Kalau perbaikan sistem anggaran sudah jalan,” ungkap dia.
Andrinof mencontohkan 2 proyek besar transportasi massal, yakni MRT dan monorail yang sedang dikebut pengerjaannya. Tapi dia memiliki catatan khusus untuk pembangunan monorail yang hingga saat ini masih mangkrak dan belum menemui jalan keluar.
“Monorail ini warisan yang cacat. Memang agak sulit, seperti sarung kependekan, ditarik ke atas lutut kelihatan, ditarik ke bawah pusar kelihatan,” ujar Andrinof.
Namun, secara keseluruhan Ahok dinilai tak akan kesulitan meneruskan program kerja yang sudah ada. Diyakini penentangan akan sangat kecil jika melihat pada program kerja selama ini yang cenderung pro-rakyat kecil Ibukota dan juga peningkatan pelayanan akan jasa.
Potensi Gaduh dari DPRD
Justru, ganjalan yang dinilai akan dihadapi Ahok saat memulai jabatan barunya diduga datang dari politisi yang berkumpul di DPRD DKI Jakarta. Alasannya, komunikasi Ahok dengan wakil rakyat yang berkantor di belakang Kantor Balaikota itu selama ini kurang harmonis.
Ditambah lagi Ahok mundur dari parpol yang menyokongnya saat maju dalam Pilkada DKI Jakarta, yaitu Partai Gerindra. Maka, secara politis Ahok tak punya pendukung di DPRD, padahal lembaga ini harusnya menjadi partner Ahok dalam mengelola Jakarta.
Dengan kondisi seperti itu, menurut Direktur Riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) Djayadi Hanan, bukan tidak mungkin terjadi perdebatan alot antara Ahok dan DPRD dalam berbagai kesempatan, terutama saat pembahasan anggaran.
“Ganjalan terbesarnya manuver politik di DPRD itu. Artinya kalau DPRD-nya ngotot maka akan gaduh hubungan antara gubernur-DPRD. Pembahasan anggaran alot dan bisa saja tidak disetujui,” ujar dia kepada Liputan6.com, Rabu 10 September lalu.
Ditambahkan Djayadi, Ahok sangat mungkin akan menggunakan kekuatan masyarakat untuk mendorong DPRD berpihak pada kebijakan pemerintah. “Kalau terus gaduh Ahok akan berkoalisi dengan masyarakat untuk bergerak,” kata dia.
Boleh-boleh saja Ahok menjaga dukungan dari publik, namun akan lebih bagus, menurut Djayadi, hubungan dengan partai politik ikut dipelihara Ahok.
“Ada baiknya Ahok membangun hubungan baik dengan parpol. Membangun komunikasi produktif lebih baik dibanding ngotot, nanti APBD nggak pernah disetujui,” urai dia.
Namun, Ahok sendiri agaknya tak mau ambil pusing dengan masalah itu. Menurut dia, selagi menempatkan konstitusi di atas segalanya, dia tak takut menghadapi tantangan dari mana pun.
“Yang penting tidak terima suap dan taat pada konstitusi, bukan taat pada konstituen atau partai, karena kita dipilih rakyat, atau kita takut mati karena kita melawan arus,” jelas Ahok. (Baca juga: [INFOGRAFIS] Ahok Gubernur 'Jomblo'?)
Ahok juga menampik dilakukannya kompromi dengan partai politik karena diyakini itu sebagai tanda kelemahan. “Jadi kesulitan itu ada pada diri sendiri. Anda ingin kompromi dengan oknum-oknum partai karena tetap ingin menjabat atau masa bodoh? Jadi semuanya tergantung kita,” tegas dia.
Ketegasan Ahok dimaklumi Andrinof. Alasannya, mundurnya Ahok dari partai pengusung tidak akan berpengaruh besar terhadap posisi Ahok. Bahkan sebalikya, dengan posisi sendirian seperti sekarang, Andrinof melihat sosok Ahok akan banyak diminati partai politik.
"Lagi pula, nanti kan dibantu wagub dan presiden (Jokowi), masa nggak bisa," ujar Andrinof.
Ahok memang dengan tegas menolak untuk disamakan dengan Bang Ali, sang gubernur yang melegenda itu. Tapi, persepsi dan ekspektasi publik yang tinggi terhadap dirinya tak bisa ditolak. Persepsi dan ekspektasi ini bisa menjadi pisau bermata 2.
Bisa saja dukungan publik dan harapan itu membuat Ahok terlena dan kebablasan. Sebaliknya, akan sangat bagus kalau semua itu dikelola dijadikan Ahok sebagai amunisi untuk menyemangati dirinya bekerja dan melayani warga Ibukota.
Pada akhirnya, di ujung masa kepemimpinan nanti, publik akan berhitung tentang apa yang akan telah dilakukan dan diberikan Ahok bagi Jakarta dalam masa pemerintahannya. Tak harus sehebat Bang Ali karena Ahok akan sangat dicintai jika bisa membuat Jakarta lebih nyaman dan manusiawi untuk dihuni. Semangat, Gubernur Ahok! (Yus)
Advertisement