Sukses

Deputi Kementerian PDT Tak Tahu Sumber Dana Bosnya ke Luar Negeri

Dalam sidang itu, duduk sebagai terdakwa adalah Direktur PT Papua Indah Perkasa (PIP), Teddy Renyut.

Liputan6.com, Jakarta - Deputi V Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT)‎, Lili Romli hadir menjadi saksi kasus dugaan suap proyek rekonstruksi tanggul laut abrasi pantai dan proyek-proyek lain di Kabupaten Biak Numfor, Papua tahun 2014. Dalam sidang itu, duduk sebagai terdakwa adalah Direktur PT Papua Indah Perkasa (PIP), Teddy Renyut.

Dalam kesaksiannya, Romli mengakui, ada rombongan Menteri PDT Helmy Faisal Zainy pergi ke luar negeri. Romli menyebut, rombongan menteri melakukan perjalanan dinas ke Madinah, Arab Saudi, pada 2014.

"Yang ikut itu Pak menteri, Bu menteri, ajudan, Staf Khusus II, saya, Ibu Elin Kabag Luar Negeri," kata Romli di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta, Senin (15/9/2014).

Namun, Romli mengaku tidak tahu dari mana sumber dana perjalanan dinas itu. Bahkan dia juga tidak tahu kalau dana perjalanan dinas Helmy cs itu diatur oleh Staf Khusus Menteri PDT, Sabililah Ardi yang bersumber dari pemberian Teddy.

"Saya tak tahu (dari Ardi). Tahunya dana dari negara," ujar Romli.

Terkait itu, Romli juga mengatakan, bahwa yang biasanya tahu soal dana perjalanan menteri itu adalah Sekretaris Menteri PDT, Nurdin. Sebab, dia yang mengurus urusan kerja sama atau perjalanan ke luar negeri.

Nurdin yang juga dihadirkan sebagai saksi mengaku tidak bisa memastikan, dana itu berasal dari mana. Yang diketahuinya, adalah perjalanan dinas Helmy cs ke Madinah disertai dengan surat perintah.

"Perjalanan pegawai negeri menteri, sepanjang dilakukan dan ada surat perintah ‎itu dibiayai oleh negara," kata Nurdin.

Adit yang juga hadir jadi saksi mengakui ada perjalanan dinas Helmy sebagai Menteri PDT. Orang yang disebut-sebut calo proyek di Kementerian PDT ‎itu merupakan mantan Asisten Tenaga Ahli di Kementerian PDT dan merupakan anak buah Muamir, kerabat dekat Helmy.

"Saya tahu perjalanan dinas. Yang saya hanya tahu mereka hanya pergi umrah. Setelah itu katanya ada pertemuan di Jeddah. Tapi Hanya sebatas itu saja," ujar Adit yang disebut-sebut juga menerima duit Rp 6 miliar dari Teddy terkait proyek-proyek di Kementerian PDT ini.

Keterangan para saksi ini selaras dengan kesaksian Teddy untuk terdakwa Bupati Biak Numor nonaktif, Yesaya Sombuk. Teddy sebelumnya menyebut, dimintai uang oleh Ardi, Staf Khusus Menteri PDT sebesar Rp 290 juta.

Uang sebanyak itu digunakan untuk membiayai tiket rombongan Menteri PDT, Helmy Faisal Zainy ke luar negeri. Ia juga baru mengetahui, kalau tiket perjalanan itu atas nama‎ Helmy setelah diperiksa penyidik KPK.

‎"Iya betul. Saya tidak ngecek tiketnya atas nama siapa. Saya mengetahui setelah di proses penyidikan atas nama menteri dan istri. Pak Helmy Faisal Zaini. Itu saya baru tahu di penyidikan‎," ujar Teddy dalam kesaksiannya.

Bahkan untuk hal itu, kata Teddi, ‎Ardi sempat mengancam akan lepas tangan jika Teddy tak membantunya memberikan uang Rp 290 juta. Bantuan yang dimaksud terkait proyek-proyek di Kementerian PDT tahun 2014, di mana Teddy mengaku sudah mengeluarkan uang Rp 3,2 miliar kepada Ardi untuk proyek-proyek itu.

"Saat itu Ardi minta ke saya secara lisan. Beliau sempat mengacam kalau saya tidak bantu beliau, beliau lepas tangan untuk urus yang punya saya yang sudah saya keluarkan Rp 3,2 miliar, termasuk untuk (proyek tanggul laut) Biak itu‎‎," kata Teddy.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Direktur PT Papua Indah Perkasa (PIP) Teddy Renyut melakukan suap kepada Bupati Biak Numfor, Yesaya Sombuk terkait proyek rekonstruksi tanggul laut abrasi pantai dan proyek-proyek lain di Kabupaten Biak Numfor, Papua tahun 2014.

Teddy didakwa menyuap Yesaya sebesar 100 ribu dolar Singapura agar dapat mengerjakan proyek yangg merupakan bagian dari program Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) tersebut. Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut, Teddy memberi uang kepada Yesaya dalam 2 tahap. Pertama sebesar 63 ribu dolar Singapura atau setara Rp 600 juta dan kedua sebanyak 37 ribu dolar Singapura atau senilai Rp 350 juta.

Atas perbuatannya, Teddy didakwa dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHPidana.