Liputan6.com, Jakarta - 3 Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan seorang mahasiswa UI, mengajukan judical review atau uji materi Undang-undang Perkawinan terkait beda agama, yakni Pasal 2 ayat (1) Nomor 1 Tahun 1974. Mereka adalah Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Luthfi Saputra dan Anbar Jayadi.
Menurut mereka, ada yang belum jelas dalam pasal tersebut. Pasal 2 ayat (1) menyatakan 'Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu'. Namun, kenyataannya saat mempelai berbeda agama ingin mendaftarkan ke dinas catatan sipil ada yang ditolak, dengan alasan beda agama dan ada juga yang diterima.
Baca Juga
"Padahal bunyi pasalnya kan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, tapi kok masih banyak yang ditolak oleh dinas catatan sipil?" tanya Damian Agata Yuvens, di Jakarta Selatan, Sabtu (20/9/2014).
Advertisement
"Jadi kami ingin bunyi pasal disebut 'kepercayaannya' itu untuk kedua mempelai, bukan pihak lain. Ini kan bunyi 'kepercayaannya' masih belum jelas untuk siapa," sambung Damian.
Damian mengatakan, pihaknya ingin frasa 'kepercayaannya' tersebut ditinjau kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), dan bisa diberikan kepada mempelai. Karena negara dalam hal ini posisinya sebagai fasilitator, bukan sebagai hakim.
Menurut Damian, karena Indonesia negara Pancasila di mana semua hak orang beragama dan hak konstitusi dilindungi dan difasilitasi negara, sudah seharusnya negara bisa mengakui pernikahan berbeda agama, dalam hal ini melalui pencatatan sipil.
"Kalau ada orang berbeda agama, keluarganya setuju dan akan melangsungkan pernikahan. Lalu datang ke (dinas) pencatatan sipil, pas dicek agamanya berbeda petugas langsung bilang ini nggak bisa itu kan sama saja negara menghakimi atau tidak menfasilitasi. Bahkan, negara tidak memberikan hak konstitusinya," beber dia.
Untuk menyederhakan itu, Damian mencontohkan, dalam agama dia perceraian itu dilarang. Akan tetapi, saat suami-isteri sudah merasa tidak bisa lagi menjalankan pernikahannya, negara --dalam hal ini pengadilan agama-- bisa menjadi fasilitator pasangan tersebut dan diakui perceraiannya serta legal.
"Aku Katolik, di agamaku itu dilarang bercerai. Jadi pasangan yang disatukan oleh Tuhan tidak boleh dipisahkan oleh manusia. Tetapi saat ada dari suami-isteri Katolik ingen bercerai, negara menfasilitasinya, dan tidak membahas di Katolik tidak boleh loh ada perceraian," contoh dia.
Jika perceraian seperti itu saja yang menurut agamanya dilarang tapi negara bisa menjadi fasilitator dan dilegalkan, lanjut Damian, kenapa pernikahan beda agama hingga saat ini belum ada kejelasan apakah diakui atau tidak oleh negara.
"Jadi kami tidak berbicara hukum agama, ini lebih ke peran negara. Kami harap negara bisa mengakui secara penuh pernikahan beda agama ini, karena menyangkut hak-hak warga negara," tandas Damian.
Â