Liputan6.com, Jakarta - Komisi Yudisial (KY) mendukung permintaan dan keinginan Hakim Ad Hoc terkait statusnya. Yakni minta dinaikkan statusnya sebagai pejabat negara.
Menurut Ketua KY Suparman Marzuki, para Hakim Ad Hoc ini memiliki keahlian khusus. Untuk itu sudah seharusnya status mereka sama dengan para hakim karier.
"Ad hoc itu kan artinya khusus. Jadi memang harus diakui sebagai pejabat negara," kata Suparman dalam sebuah diskusi di Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Dalam diskusi itu, sebanyak 30 Hakim Ad Hoc berkumpul dalam diskusi ‎yang diselenggarakan 'Tim 11 Hakim Ad Hoc' dengan Gazalba Sale, Hakim Adhoc Pengadilan Negeri Surabaya, sebagai ketuanya. Dari KY, selain Suparman, hadir pula Komisioner KY Taufiqurrahman Syahuri serta Wakil Ketua Mahkamah Agung (MA) Suhardi.
Suparman melanjutkan‎, KY mendukung kejelasan status para Hakim Ad Hoc itu, lantaran dengan diangkat sebagai pejabat negara, maka indepedensi para Hakim Ad Hoc dapat lebih terjaga. Di mata Suparman, status Hakim Ad Hoc jangan disamakan seperti pegawai negeri sipil (PNS) yang digolongkan sesuai kriteria. Sebab, jika Hakim Ad Hoc digolongkan, maka mereka akan tunduk pada atasannya.
"Jadi harus diberikan statue apparatus (pejabat negara) bukan government apparatus (pegawai negeri)," ujar dia.
Taufiqurrahman menambahkan, tidak dianggapnya Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara merupakan sebuah pelanggaran konstitusi. Sebab, mereka bertugas di pengadilan yang diakui negara keberadaannya.
"Dengan adanya UU Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menyatakan Hakim Ad Hoc bukan pejabat negara, maka (tidak dianggap sebagai pejabat negara) itu melanggar konstitusi," ucap Taufiqurrahman.
Â
Hakim Ad Hoc Mengajukan Uji Materi
Sebanyak 11 Hakim Ad Hoc mengajukan uji materi Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka mempersoalkan adanya ketentuan dalam pasal tersebut yang menyebut semua hakim di lingkungan peradilan sebagai pejabat negara, kecuali Hakim Ad Hoc.
Tercatat sebagai Pemohon, yakni 5 Hakim Ad Hoc Pengadilan Tipikor, 3 Hakim Ad Hoc Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan 3 Hakim Ad Hoc Pengadilan Perikanan. Mereka adalah Gazalba Saleh, Lufsiana, Sumali, Abdur Razak, Suwito, Sugeng Santoso PN, Elias Hamonangan Purba, Sahala Aritonang, Moh. Indah Ginting, Armyn Rustam Effendy, dan Lukman Amin.
Ketua Tim 11 Hakim Ad Hoc selaku Pemohon, Gazalba menyatakan, dalam Pasal 122 huruf e, khususnya pada frasa ‘kecuali Hakim Ad Hoc’ itu potensi merugikan hak konstitusional. Ketentuan pada frasa itu yang menyatakan Hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara.
"Potensi timbulkan kerugian hak konstitusional karena kami bukan dianggap sebagai pejabat negara," kata Gazalba dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Arief Hidayat di Gedung MK, Jakarta, Senin 7 April 2014 lalu.
Adapun Pasal 122 huruf e UU Aparat Sipil Negara berbunyi: "Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu: (e) Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali Hakim Ad Hoc."
Gazalba menilai ketentuan itu tidak sempurna karena materi muatan yang diatur berkenaan dengan aparatur sipil negara yang menjadi domain eksekutif. Padahal, Hakim Ad Hoc termasuk domain yudikatif yang diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Dampak Status Hukum Hakim Ad Hoc
Status Hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara juga dinilai akan berdampak pada putusan-putusan yang telah atau akan ditandatangani Hakim Ad Hoc bersangkutan. Karena berpotensi dipersoalkan pihak yang berperkara terkait legitimasi putusannya.
Konsekuensi lain status Hakim Ad Hoc bukan sebagai pejabat negara adalah pengenaan potongan Pajak Penghasilan (PPh 21) terhadap tunjangannya sejak Februari 2014 sebesar 15%.
Selain itu, ada pembedaan hak-hak hakim karier dan Hakim Ad Hoc. Padahal, seharusnya pembedaan itu hanya dari sisi rekrutmen dalam pengisian jabatan itu. Karena itu, Tim 11 ini menilai, para Hakim Ad Hoc sebenarnya layak dianggap sebagai pejabat negara. Hal itu mengacu pada Peraturan Menteri Sekretaris Negara (Permensesneg) Nomor 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukum Pejabat Negara dan Pejabat Lainnya, di mana disebutkan pengertian pejabat negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan UUD 1945 dan undang-undang yang berlaku.
"Kami semua menjadi Hakim Ad Hoc itu diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden sebagai kepala negara," kata Pemohon lain, Sugeng Santoso menjelaskan keterkaitan Hakim Ad Hoc dengan permensesneg itu. (Mut)
Advertisement