Liputan6.com, Jakarta - 14 Perusahaan yang tergabung dalam Asian Agri Group (AAG) akhirnya melunasi cicilan denda uang sebesar Rp 2,5 triliun pada 17 September 2014 lalu. Ini merupakan denda wajib yang harus dibayar AAG berdasarkan keputusan Mahkamah Agung (MA) No 2239.K/PID.SUS/2012 tanggal 18 Desember 2012.
"Pihak Asian Agri telah memenuhi kewajibannya dengan baik dan membayar denda tepat pada waktunya, bahkan sebelum waktunya. Atas nama jajaran Kejaksaan, saya memberikan apresiasi kepada AAG karena telah patuh pada putusan Mahkamah Agung," kata Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Datas Ginting, dalam keterangan tertulisnya kepada Liputan6.com, Jakarta, Selasa (23/9/2014).
Datas menjelaskan, batas akhir AAG melunasi cicilannya itu seharusnya pada 15 Oktober 2014. Namun, AAG mampu melunasi seluruhnya pada 17 September 2014 atau hampir sebulan sebelum jatuh tempo.
Advertisement
"Padahal sejak perjanjian AAG hanya mampu membayar setiap bulan sejak awal Januari 2014 hingga 17 Oktober 2014," ujar dia.
Menurut Datas, pembayaran cicilan pertama AAG sebesar Rp 719,9 miliar dan pembayaran tersebut terlaksana pada 28 Januari 2014. Sisanya, sebesar Rp 1,8 triliun dicicil hingga Oktober 2014 sebesar Rp 200 miliar per bulan.
"Sebagai jaminan itikad baik, AAG berkomitmen melunasi seluruh denda dengan mengeluarkan bilyet giro lebih dari 100 lembar yang sudah dititipkan kepada Mandiri dan tiap bulan dapat dicairkan," papar dia.
Hal itu, kata Datas, karena pihaknya mempertimbangkan sedalam-dalamnya nasib puluhan ribu para pekerja, serta petani plasma yang selama ini menggantungkan nasibnya kepada 14 perusahaan yang tergabung di AAG.
Sementara Kepala Pemulihan Aset Kejaksaan (PPA) Chuck Suryosumpeno mengatakan, kasus pembayaran denda atas AAG mendapat sorotan penegak hukum luar negeri dan para praktisi pemulihan aset dunia.
"Mereka mengapresiasi lembaga Kejaksaan Indonesia, karena mampu melakukan terobosan eksekusi hingga AAG patuh membayar secara sukarela," ungkap Chuck.
Chuck mengatakan, praktisi pemulihan aset dunia juga saat ini mulai mengembangkan voluntary asset recovery, yang ternyata sangat efektif dan efisien dengan studi kasus eksekusi denda kasus pajak AAG.
Penyimpangan Pajak
Kasus AAG kali pertama terkuak oleh Vincentius Amin Sutanto yang berusaha mencuri uang perusahaan AAG, namun gagal. Vincent kemudian tidak tinggal diam dan membocorkan penyimpangan pajak perusahaan. Kasus ini mulai ramai setelah berbagai media massa membahasnya.
Setelah itu Ditjen Pajak melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus ini. Namun, penyidik menemukan pelanggaran administrasi sekaligus pelanggaran pidana yang dilakukan Suwir Laut dan lainnya.
Selanjutnya, kasus ini diproses hukum hingga akhirnya MA memutuskan Suwir Laut bersalah dan 14 perusahaan yang tergabung dalam AAG turut dihukum dengan membayar pajak terhutang kurang lebih Rp 1,2 triliun dan hukuman denda 2 kali pajak terhutang, yaitu sebesar Rp 2,5 triliun.
Meski putusan MA itu mengundang polemik, namun jaksa sebagai eksekutor, terus mengejar pihak AAG untuk membayar denda sebagaimana putusan. Bersamaan dengan itu, pihak Kejaksaan menelusuri aset AAG di 3 provinsi. Setelah ditelusuri, Kejaksaan membekukan sejumlah aset.
Saat ini, AAG masih menunggu putusan banding Pengadilan Pajak terkait penyimpangan administrasinya. Setelah dibui selama beberapa waktu, belakangan Vincent dibebaskan, karena menjadi whistle blower untuk kasus penyimpangan pajak 14 perusahaan AAG.