Sukses

Tamatnya Pilkada Langsung dan 'Drama' Demokrat

Jumat dini hari pukul 02.00 RUU Pilkada disetujui DPR. Keputusan walk out Demokrat jadi penentu sekaligus tanda tanya besar.

Liputan6.com, Jakarta - Lewat tengah malam, Jumat 26 September 2014. Sidang Paripurna DPR tentang RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) sedang diskors. Para pimpinan fraksi menggelar pertemuan tertutup di ruangan di depan ruang sidang paripurna. Lobi dilakukan.

Tiba-tiba, dua politisi Partai Hanura, Syarifuddin Sudding dan Miryam S Haryani, keluar dari ruangan. “Ada banci di dalam! Bilang saja sebenarnya nggak dukung. Masa mau dukung pakai syarat?!” kata Miryam yang juga Ketua Umum DPP Srikandi Hanura tersebut dengan nada tinggi.

Hanura, bersama PDIP dan PKB, mendukung Pilkada langsung. Di seberang mereka, Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PPP, dan PKS bersikeras mengegolkan Pilkada lewat DPRD.

Saat keluar dari ruang lobi, Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf lebih banyak diam. Ia hanya menjawab pendek-pendek wartawan yang menyerbunya dengan pertanyaan.

Beberapa saat kemudian, ketika Sidang Paripurna berlangsung, terlihat sebagian besar anggota Fraksi Demokrat berjalan keluar – hanya 6 orang yang bertahan di ruangan. Walk out.

Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Partai Demokrat, Benny K Harman, angkat bicara. "Kami memutuskan, political standing Partai Demokrat menjadi netral dan penyeimbang. Kami, Partai Demokrat, memilih bersikap netral. Perkenankan kami untuk walk out," kata Benny.

Saat Benny membacakan sikap Demokrat, teriakan-teriakan membahana. “Ragu-ragu teruuuuus,” teriak seseorang. Entah siapa.

Mereka pergi setelah pimpinan sidang, Priyo Budi Santoso, menetapkan hanya ada 2 opsi yang bisa dipilih dalam voting, yakni Pilkada langsung oleh rakyat atau Pilkada lewat DPRD. Opsi Ketiga yang ditawarkan Demokrat tak diakomodasi.

Kubu PDIP, PKB, dan Hanura bereaksi. “Huuuu,” teriak  sebagian dari mereka. Sebagian petinggi PDIP segera menuju Ketua Fraksi PDIP, Puan Maharani, di barisan depan. Mereka berunding menyikapi perkembangan itu. Puan pun terlihat memberi sejumlah arahan.

Sejak awal, suara Demokrat diharapkan. Di YouTube, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan mendukung pilkada langsung. "Dengan demikian, kalau kita kembali pada pilihan kita buah dari reformasi yang kita jalankan selama ini, tentunya pilihan kepala daerah langsung itu mesti kita jaga dan pertahankan," katanya.

Beberapa hari kemudian, Partai Demokrat menegaskan menolak pilkada melalui DPRD. "Partai Demokrat secara tegas menyatakan bahwa pilihan Partai Demokrat adalah Pilkada langsung dengan catatan ada 10 perbaikan yang harus dilakukan dan dimasukkan dalam RUU Pilkada," kata Ketua Harian DPP Partai Demokrat, Syarief Hasan, di Kantor DPP Partai Demokrat, Kamis 18 September 2014. Penambahan 10 perbaikan itulah yang disebut Opsi Ketiga.

10 poin perbaikan itu adalah melakukan uji publik atas integritas dan kompetensi calon gubernur, calon bupati, dan calon walikota; efisiensi biaya pilkada harus dan mutlak dilakukan; pengaturan kampanye dan pembatasan kampanye terbuka; akuntabilitas penggunaan dana kampanye.

Kemudian, larangan politik uang dan sewa kendaraan partai, seperti kalau seseorang ingin maju dari partai A, bisa disebut mahar. Itu harus dilarang; larangan melakukan fitnah dan kampanye hitam; larangan pelibatan aparat birokrasi; larangan pencopotan aparat birokrasi usai pilkada; penyelesaian sengketa pilkada; pencegahan kekerasan dan tanggung jawab calon atas kepatuhan pendukungnya.

Syarief menambahkan, "Kalau 10 poin ini dimasukkan, secara tegas diatur, maka posisi PD memilih pilkada dilakukan secara langsung, baik gubernur, bupati, dan walikota."

Dukungan ini mengubah peta politik. Bila menilik jumlah anggota DPR, di atas kertas, opsi pilkada secara langsung bakal menang. Di DPR, Demokrat memiliki 148 anggota, PDIP 94 anggota, PKB 28 anggota, dan Partai Hanura 17 anggota. Total pendukung pilkada langsung adalah 287 anggota DPR.
Sementara,  Golkar memiliki 106 anggota, PKS 57 anggota, PPP memiliki 38 anggota, PAN memiliki 46 anggota, dan Partai Gerindra 26 anggota. Total pendukung pilkada melalui DPRD berjumlah 273 orang. (Lihat selengkapnya: INFOGRAFIS)

Mudarat versus Manfaat

Walk out Demokrat membuyarkan kalkulasi di atas. Dari 361 total anggota DPR yang masih bertahan, 135 anggota DPR memilih Pilkada langsung, sedangkan 226 anggota memilih Pilkada oleh DPRD. "Rapat Paripurna memutuskan Pilkada melalui DPRD,"  kata Priyo Budi Santoso. Palu diayunkan ke meja. Tok!

Rinciannya, pendukung pilkada langsung terdiri dari 88 anggota Fraksi PDIP, 20 anggota Fraksi PKB, 10 anggota Fraksi Hanura, dan 6 anggota Fraksi Demokrat, 11 anggota Fraksi Partai Golkar. Sementara yang memilih Pilkada lewat DPRD terdiri atas 22 anggota Fraksi Gerindra, 73 anggota Fraksi Golkar, 44 anggota Fraksi PAN, 55 anggota Fraksi PKS, dan 32 anggota Fraksi PPP. (Lihat selengkapnya: INFOGRAFIS)

Koalisi Merah Putih boleh bergembira. Sejak awal, mereka beralasan, lebih banyak madaratnya jika Pilkada dilakukan langsung daripada lewat DPRD.
“Intinya, pilkada langsung banyak mudaratnya dibanding manfaatnya. 12 Ormas Islam yang tergabung sudah mengkaji lho, mereka memilih Pilkada dikembalikan melalui DPRD. Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) juga mendukung pilkada melalui DPRD alias tak langsung," kata Ketua Fraksi PPP DPR Hasrul Azwar.

Tak cuma itu. Ia menambahkan, banyak saudara dan teman yang menjadi musuh hanya karena berbeda pilihan saat Pilkada langsung. "Banyak yang semula teman atau saudara, karena berbeda saat pilkada, jadi musuhan. Jadi biarlah DPRD saja yang berseteru, jangan sampai rakyat yang berseteru. Selesaikan itu di DPR," ucap Hasrul.

Alasan biaya juga disampaikan Koalisi Merah Putih. Menurut Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie atau Ical, Pilkada langsung yang selama ini dilakukan sangat tidak efisien atau banyak menghabiskan anggaran negara.

Dari data yang dilansir Kementerian Dalam Negeri,  kata Ical, negara harus mengeluarkan dana Rp 70 triliun untuk pelaksanaan 235 Pilkada kabupaten/kota pada 2015.

"Saya terkejut. Itu biayanya terlalu mahal. Artinya, kalau di atas 500 Pilkada yang diadakan akan mengeluarkan lebih dari Rp 140 triliun," ujar Ical dalam pembukaan Musyawarah Pimpinan Nasional Kosgoro di Ancol, Jakarta, Sabtu 13 September 2014.

Uang sebesar itu, terang Ical, setidaknya dapat digunakan untuk hal-hal yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. "Berapa sekolah yang bisa dibebaskan biayanya, berapa jalan tol yang bisa dibuat, dan berapa banyak rumah sakit yang bisa dibangun dengan jumlah sebesar itu," ucap dia.

Mencari Tikus, Rumah Dibakar?

Mantan calon walikota pada Pilkada Kota Tangerang 2013 lalu, Harry Mulya Zein, setuju dengan Ical. Ketika Pilkada diserahkan kepada DPRD, anggaran Pilkada langsung bisa dialihkan untuk pembangunan daerah. Dalam hitungan Harry, pelaksanaannya bisa memakan sampai Rp 40 miliar-Rp 45 miliar per satu putaran.

"Dana sebesar itu bisa dianggarkan kembali untuk pembangunan infrastruktur, sekolah, ataupun sarana umum lain di wilayah," kata Harry.

Mantan calon Walikota Palu, Hidayat, punya pendapat berbeda. "Kenapa, ibarat mencari seekor tikus, rumah demokrasi yang diraih rakyat dengan berdarah-darah dibakar? Ini kan tidak masuk akal dan tidak sesuai pengorbanan rakyat dalam memperjuangkan reformasi dulu," kata Hidayat.

Hidayat mengungkapkan, pemilihan melalui DPRD juga pasti memakan dana sangat besar. "Sudah pasti menggunakan dana besar. Dan, korupsi tidak bisa dibendung. Bisa saja antara calon dan anggota DPRD melakukan pertemuan untuk melakukan negosiasi agar sang calon dipilih dan harus membayar sekian miliar misalnya. Saya yakin pasti akan terjadi," papar dia.

Perang argumentasi juga terjadi di Sidang Paripurna DPR. PDIP menyampaikan sejumlah kelebihan pilkada langsung berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintahan SBY.

"Berdasarkan kajian pemerintah terhadap pilkada langsung, ada sejumlah keunggulan pilkada langsung berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat," kata politisi PDIP Yasonna H Laoly dalam sidang  paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 25 September.

Laoly berujar, pelaksanaan pilkada langsung merupakan perwujudan hak rakyat dalam memilih calon pemimpin mereka. Kemudian, pilkada langsung dianggap memperkuat legitimasi kepala daerah dalam mengambil keputusan.

"Ketiga, pilkada langsung mendekatkan hubungan antara pemimpin dan rakyatnya," ujar Yasonna. Selain itu, menurut dia, pilkada langsung mampu melembagakan proses pendalaman kelembagaan demokrasi yang telah berjalan selama ini.

Dia menambahkan, Pilkada langsung juga menjamin terpilihnya sosok pimpinan yang memiliki kapabilitas dan diterima baik di masyarakat.  "Sebelumnya Indonesia juga pernah melaksanakan proses pemilihan kepala daerah oleh DPRD. Namun, proses pemilihan itu kemudian dikoreksi dan diubah menjadi pemilihan langsung," tandas Yasonna.

Dan, benarkah pilkada mahal? Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI), Dodi Ambardi punya hitung-hitungan. Menurut dia, biaya penyelenggaraan sebuah pilkada sekitar Rp 25 miliar sampai Rp 50 miliar.

“Kalau APBD DKI Jakarta sebesar Rp 72 triliun, proporsi biaya Pilkada hanya 0,07 persen. Untuk Gorontalo yang memiliki APBD terkecil pada level provinsi sebesar Rp 568 miliar (2010) akan membelanjakan APBD sebesar 4 persen untuk penyelenggaraaan pilkada. Persentase ini menjadi jauh sangat kecil kalau kita menjumlahkan APBD selama lima tahun sementara pilkadanya hanya sekali dalam 5 tahun,” kata Dodi di wall akun Facebook-nya.

Tumpuan Terakhir: MK

Menurut Dodi, tampaknya, para politisi itu mencampurkan antara biaya penyelenggaraan pilkada dengan pengeluaran kampanye masing-masing kandidat. “Biaya kampanye mahal itu berpokok pada kecenderungan kandidat untuk membeli suara pemilih, menukarnya dengan kaos, kalender, sajadah dan mukena, perkakas dapur, dan tentu saja amplop,” kata doktor lulusan Ohio State University ini.

Dodi melanjutkan, para elit tersebut sesungguhnya bisa membikin kesepakatan untuk tidak membeli suara agar pengeluaran mereka minimal. Dan, mereka berlomba untuk menawarkan program untuk menjaring pemilih. Tapi rupanya, di antara mereka tidak saling percaya. “Meskipun telah membuat kesepakatan, tim siluman masing-masing melakukan serangah subuh, fajar, dan serangan lepas maghrib. Sebagian besar mereka minder dengan cara membangun dukungan melalui program itu, dan memilih jalan pintas membeli suara,” kata dia.

Argumen Dodi dan orang-orang yang sehaluan dengannya kandas. Tak diterima sebagian besar Wakil Rakyat. Toh, mereka masih punya jalan lain: menggugat ke Mahkamah Konstitusi.

Bahkan, SBY pun berniat mengajukan gugatan ke MK. "Dalam UUD, jika mengeluarkan undang-undang maka harus mendapatkan persetujuan presiden dan DPR. Maka sebelum diundangkan, saya akan menempuh segala cara agar RUU tentang Pilkada inti bisa dibatalkan. Tapi saya tetap akan dalam koridor hukum," jelas SBY.

SBY mengaku telah mendengar berbagai hujatan dari berbagai kalangan terkait terbitnya UU Pilkada, khususnya terhadap sikap Fraksi Demokrat yang sebagian besar memilih walk out saat sidang paripurna pengesahan UU Pilkada pada Jumat dini hari 26 September 2014.

"Saya tegaskan kembali sikap saya tentang hasil paripurna DPR itu sebuah kemunduran demokrasi. Saya tahu, sikap saya ini mengakibatkan hujatan dari sebagian rakyat. Saya menerima risiko itu," pungkas SBY.

Pertarungan belum berakhir. Untuk sementara, pendukung Pilkada lewat DPRD boleh menepuk dada.

Selanjutnya: Misteri Demokrat, Walk Out atau All Out?...

2 dari 2 halaman

Misteri Demokrat, Walk Out atau All Out?

Misteri Demokrat, Walk Out atau All Out?

Ruhut Sitompul ikut bangkit dari kursi saat partainya memutuskan walk out dari sidang paripurna. Namun tanda tanya tersirat di wajahnya. Bingung.

Ia mendekati Benny K Harman, menggamit tangan kanan koleganya itu. Keduanya sempat terlibat obrolan, tapi hanya sebentar, keburu disela oleh kemunculan politisi Golkar Nurul Arifin yang mengulurkan tangan untuk jabat tangan.

Belakangan, si Poltak mengaku kaget.  Kok ujung-ujungnya Demokrat walk out...”Kami kan kaget, mungkin yang nggak kaget ya Ibu Nurhayati (Nurhayati Assegaf), Pak Max (Max Sopacua), sama Benny (Benny K Harman),” kata Ruhut.

Karena mengira bahwa walk out itu instruksi SBY, Ruhut ikut keluar. Apalagi, Max Sopacua mengaku mendapat SMS berisi instruksi untuk meninggalkan ruang sidang.

Ruhut mengaku sempat menghubungi SBY, namun tak diangkat. Sang Ketua Umum yang sedang berada di Washington DC hanya membalas lewat SMS. Isinya: ‘sorry, I'll call you later..’

Tak hanya Ruhut, Ketua DPP Demokrat Sutan Bathoegana pun heran bukan kepalang. Ia menduga ada salah pengertian instruksi SBY.  “Memang ada kesalahan. Instruksi all out (total) tapi malah walk out (keluar),” kata dia kepada Liputan6.com.

Entah perintah mana yang benar, tapi yang pasti SBY mengaku kecewa. “Saya kecewa dengan hasil proses politik yang ada di DPR RI, meskipun saya menghormati proses itu sebagai seorang Demokrat, sekali lagi saya kecewa dengan proses dan hasil yang ada,” kata dia di seberang benua.

Padahal, jauh sebelum sidang paripurna, SBY menyatakan dukungannya pada pilkada langsung, meski ada syaratnya.

Sebagai kepala negara, SBY mengaku berat. “Bagi saya, berat untuk menandatangani UU Pilkada oleh DPRD.”  Alasannya, ada pertentangan fundamental dengan UU yang lain. Misalnya UU tentang Pemda, khususnya pada klausul atau pasal-pasal yang mengatur tentang tugas, fungsi, dan kewenangan DPRD.

Juga tak bersesuaian dengan UU aturan yang tidak memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah. Gugatan akan disiapkan, ke MA maupun MK. Dalam pernyataan yang disampaikan di Amerika Serikat dan Jepang, SBY sama sekali tak menyinggung soal SMS.  

Pada Senin 29 September 2014, para petinggi Demokrat menggelar jumpa pers di kantor DPP. Ketua Fraksi Demokrat, Nurhayati Ali Assegaf angkat bicara sekaligus pasang badan. “Keputusan walk out adalah keputusan saya,” kata dia, membantah ada komunikasi dengan SBY.

Pernyataan tersebut diamini Ketua Harian Partai Demokrat Syarief Hasan. Ia mengatakan, WO dilakukan karena usulan pilkada langsung dengan 10 perbaikan yang mereka usulkan tak diakomodir. “Justru itulah kami jelaskan secara utuh, proses paripurna di luar dan tidak diketahui SBY. Yang tahu hanya kami di DPR, saya, Pak Sekjen, dan anggota fraksi kami,” kata dia.

‘Sandiwara’ Demokrat

Namun, tak semua percaya dengan niat baik Demokrat. Salah satunya Anggota Panja RUU Pilkada dari F-PDIP Yasona Laoly.

“Setelah kami dukung teman-teman Fraksi Partai Demokrat dalam forum lobi, kami melihat mereka justru kaget, bukan bersuka-cita. Maka Bapak Ibu sekalian, skenario yang cukup cantik ini buyar untuk menampilkan kami dukung rakyat, tapi sebenarnya hatinya ada di seberang sana. Mohon maaf, ini hanya rekayasa politik untuk tampilkan pencitraan, mohon maaf,” kata dia Jumat dini hari lalu.

Pun dengan rakyat kebanyakan. Di Twitter, tagar #ShameOnYouSBY sempat merajai trending topic dunia selama 48 jam sebelum tiba-tiba menghilang.

Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Teppi) Jeirry Sumampow, menilai Demokrat melakoni politik muka dua. “Seolah-olah hadir sebagai penyelamat demokrasi dengan mendukung pilkada langsung dan mengakomodasi aspirasi rakyat, padahal tidak. Mereka melakukan drama yang mencitrakan bahwa mereka baik, padahal itu hanya pencitraan semata,” ujar Jeirry.

Senada, Direktur Lingkar Madani (Lima) untuk Indonesia Ray Rangkuti menganggap, pengesahan RUU Pilkada Tak Langsung adalah babak akhir dari sebuah drama.

Dia pun mempertanyakan sikap SBY yang mengungkapkan akan melakukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menduga SBY sedang membuka babak baru dalam dramanya.

Sementara, Peneliti Senior Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo menambahkan, seharusnya SBY dan partainya bersikap jantan dengan mengikuti apa yang sudah diputuskan sebelumnya, yaitu mendukung Pilkada langsung. Bagi dia, sandiwara yang ditunjukkan SBY tidak mengherankan. Karena judul serupa pernah dilakukan pada Pilpres 2014 lalu.

“Ini tidak hanya 1 kali saja. Masih ingat Pilpres? Demokrat dalam Rakornas sebut dirinya netral. Kemudian injury time, dia ubah dukung Prabowo-Hatta. Pada 20 Mei nyatakan netral, tapi injury time berubah. Tadi malam terulang kembali.” (Lihat selengkapnya: INFOGRAFIS)

Balas Dendam?

Sekelompok orang berkumpul di Hotel Sultan, memakai kemeja putih dengan simbol Garuda Merah tersemat di dada. Semua semringah, wajah-wajah yang sedang merayakan kemenangan.

Hasil voting RUU Pilkada, dengan perolehan suara 226 versus 135, dianggap kemenangan kedua buat Koalisi Merah Putih. Sebelumnya mereka sukses mengegolkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3).

“Kita sekarang berkumpul dalam suasana lega, semringah. Setelah tadi malam kita bersama-sama yang di luar parlemen mengikuti dari TV,” kata Prabowo Subianto.

Dalam pidatonya, mantan Pangkostrad itu mengkritik reaksi atas kemenangannya itu. “Saya diberi laporan tadi malam begitu kita menang voting, langsung pers asing menyerang kita.” Sementara, Amien Rais tak kalah bahagianya. Sampai sujud syukur.

Di tempat terpisah, Direktur Riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Arman Salam menilai, Sidang Paripurna RUU Pilkada di DPR telah berubah menjadi ajang pelampiasan dendam politik.

“Ini dendam politik, di mana Koalisi Merah Putih dengan koalisi gemuknya bisa dipukul kalah oleh PDIP Cs saat Pilpres. Kini mereka ingin menunjukkan taring bahwa Koalisi Merah Putih kuat di parlemen,” ungkap Arman saat berbincang dengan Liputan6.com.

Menurut dia, dengan disahkannya UU Pilkada dengan mekanisme dipilih melalui DPRD, Koalisi Merah Putih berambisi menguasai eksekutif tingkat daerah. Sebab, hampir seluruh kursi DPRD di Indonesia dikuasai kader parpol yang mendukung Prabowo-Hatta saat Pilpres 2014.

Dengan Pilkada oleh DPRD maka menguntungkan Koalisi Merah Putih, karena perolehan kursi di DPRD dikuasai mereka. Jadi, di atas kertas, kepala daerah akan dikuasai kader Koalisi Merah Putih.

“Dengan dikuasai Koalisi Merah Putih, maka akan sulit bagi Jokowi mengaplikasikan program kebijakannya yang sudah dirumuskan. Walaupun itu kembali kepada peran, tapi dari sisi politik pasti akan ada ganjalan,” jelas Arman.

Terpisah, Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) Ikrar Nusa Bhakti memprediksi, Koalisi Merah Putih berhasrat menguasai politik Indonesia bukan dengan cara pemilihan umum. Indikasi itu terlihat mulai dari disahkannya UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3).

“Kalau buat saya sih mereka itu ingin menguasai politik Indonesia bukan dengan cara melalui Pemilu. Mereka ingin meraih kekuasaan dengan sistem perwakilan. Test case pertamanya adalah UU MD3, kedua RUU Pilkada,” ungkap Ikrar saat berbincang dengan Liputan6.com.

Dalam UU MD3 baru, Pasal 84 menyatakan pimpinan alat kelengkapan dipilih melalui sistem paket. Dalam UU MD3 yang lama, pada Pasal 82 disebutkan pimpinan DPR dan alat kelengkapan diberikan secara proporsional sesuai dengan hasil pemilu legislatif.

Dengan UU MD3 baru ini, PDIP sebagai partai pemenang pemilu tidak otomatis menduduki kursi Ketua DPR. Bahkan PDIP juga terancam tidak mendapatkan kursi Wakil Ketua DPR bila paket yang dipilih tidak menyertakan kader PDIP.

“Ketua DPR menurut suara terbanyak menghargai putusan rakyat saat Pemilu. Tapi dengan gayanya, KMP bermain mengembalikan semuanya menjadi sebelum era reformasi, ketika Ketua DPR itu ditentukan melalui pilihan para anggota dewan,” jelas Ikrar.

Kemudian, lanjut dia, bila uji materi UU Pilkada juga ditolak Mahkamah Konstitusi, maka Koalisi Merah Putih memiliki peluang besar menguasai kursi kepala daerah. Sebab, jumlah suara Koalisi Merah Putih di seluruh DPRD cukup signifikan.

Puncak dari syahwat politik Koalisi Gerindra, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan Demokrat ini, dinilai Ikrar, adalah mengembalikan pemilihan presiden ke tangan MPR. Tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat.

“Mereka bisa berupaya untuk menyapu bersih pemilihan kepala daerah di berbagai daerah. Kalau mereka bisa menguasai daerah, bukan tidak mungkin mereka akan mengembalikan Presiden dipilih MPR. Dengan begitu, maka syahwatnya Prabowo bisa dipenuhi, karena Prabowo pasti kalah terus kalau pemilihan langsung,” tukas Ikrar. Benarkah RUU Pilkada hanya jalan pemuas nafsu? Sejarah yang akan menentukan. (Ein)

Video Terkini