Sukses

PPATK: Uji UU TPPU Lemahkan Rezim Pemberantasan Korupsi

Pengajuan uji materidari Akil Mochtar terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sangat disayangkan.

Liputan6.com, Jakarta - Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menghargai hak warga negara untuk mengajukan judicial review (uji materi) di Mahkamah Konstitusi (MK). Meski demikian, pengajuan uji materi terhadap Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), sangat disayangkan.

Ketua PPATK Muhammad Yusuf menegaskan, langkah uji materi tersebut pada hakikatnya melemahkan rezim pemberantasan TPPU dan anti pencucian uang, juga pemberantasan korupsi.

"Tanpa mengurangi hak kewarganegaraan untuk ajukan judicial review, perkenankan kami ungkapkan keprihatinan adanya permohonan ini yang sudah melalui sidang yang sah dan terbuka dan terbukti bersalah. Pasalnya, judicial review pada hakikatnya melemahkan rezim pemberantasan TPPU dan anti pencucian uang, juga korupsi," jelas Yusuf di MK, Jakarta, Kamis (9/10/2014).

Yusuf juga menegaskan, dalam pengajuan uji materi UU TPPU, proses legal standing (ketetapan hukum) pemohon, yaitu mantan Hakim Ketua MK Akil Mochtar, sudah tidak ada.

"Pemohon tidak memiliki legal standing karena dalil-dalil yang diajukan tidak menjelaskan konstitusional kesalahan konstitusionalnya lebih pada perbedaan pendapat," jelas Yusuf.

Selain itu, Yusuf juga menerangkan penggunaan prinsip 'follow the money' dalam upaya penanganan kasus pencucian uang terbukti telah mampu memberikan hasil yang maksimal bagi negara. Menurut dia, lantaran prinsip ini seluruh kerugian negara dapat dikembalikan.

"Selama ini pendekatannya hanya berasal dari tindak pidana korupsi, sehingga aset tidak bisa disita dan negara cenderung tidak bisa mengambil uang dari kroni-kroni pelaku," jelas Yusuf.

Yusuf meyakini frasa 'patut diduga' tercantum dalam Pasal 2 ayat 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 69, Pasal 76 ayat 1, Pasal 77, Pasal 78 ayat 1, dan Pasal 95 UU TPPU yang saat ini dipermasalahkan oleh Akil tidak perlu diubah. Ini lantaran dapat berdampak buruk bagi upaya pemberantasan kejahatan pencucian uang di Indonesia.

"Upaya pengembalian uang negara tidak akan maksimal. Tujuan anti-pencucian uang untuk menurunkan tingkat kriminal tidak akan efektif," pungkas Yusuf.

Dalam permohonannya, Akil Mochtar mempersoalkan kewenangan penyidikan, penuntutan, dan penyitaan harta kekayaan dari Tindak Pidana Pencucian Uang.

Akil merasa hak-hak konstitusionalnya dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 Ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 Ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU.

Terdakwa seumur hidup kasus suap sengketa pilkada di MK dan dugaan TPPU ini meminta MK menyatakan Frasa "atau patut diduga" dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.

Akil Mochtar sebelumnya divonis seumur hidup oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, pada 30 Juni 2014 lalu. Mantan Anggota DPR Fraksi Partai Golkar itu dinyatakan bersalah atas kasus suap sengketa pilkada di MK dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). (Mut)

Video Terkini