Sukses

Saksi Korupsi Turbin: BPKP Tak Berwenang Hitung Kerugian Negara

Dani mengatakan, sesuai Pasal 2 ayat 2 UU No 15/2004 disebutkan, yang memiliki kewenangan mengungkap indikasi kerugian negara adalah BPK.

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa Direktur PT Mapna Indonesia M Bahalwan, menggugat Deputi Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Bidang Investigasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan itu terkait penghitungan kerugian keuangan negara, dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi pekerjaan life time extension (LTE) Flame Turbin GT 2.1 dan 2.2 PLTGU Belawan.

Mantan Deputi Kepala BPKP Bidang Pengawasan Pengeluaran Pusat dan Daerah Dani Sudarsono saat menjadi saksi ahli dalam sidang kasus tersebut menyebutkan, BPKP tidak memiliki wewenang menghitung kerugian keuangan negara dalam pekerjaan itu.

"Sesuai UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, BPKP tidak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menghitung kerugian keuangan negara,” kata Dani dalam sidang gugatan di PTUN, Jakarta, Selasa (14/10/2014).

Dani menjelaskan, sesuai Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 15 Tahun 2004 disebutkan, yang memiliki kewenangan mengungkap indikasi adanya kerugian negara adalah BPK. Meski BPKP memiliki kewenangan berdasarkan Keppres 31 Tahun 1983 tentang BPKP, yaitu Pasal 3 huruf J, L, N dan O dan khususnya Pasal 22 sampai 24.

"Namun peraturan tersebut tidak berlaku lagi sejak 27 Maret 2001 dengan keluarnya Keppres 42 Tahun 2001. Saat ini saya tidak menemukan adanya peraturan perundangan-undangan yang memberikan kewenangan kepada BPKP untuk melakukan pemeriksaan kerugian keuangan negara," ujar dia.

Di soal tentang laporan BPKP dalam pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2, Dani menyatakan laporan tersebut hanya bisa dijadikan landasan adanya kerugian negara jika dilakukan sesuai Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) sebagaimana UU 15 Tahun 2004 dan merupakan pelaksanaan pekerjaan untuk dan atas nama BPK.

"Dalam perkara LTE GT 2.1 dan 2.2, perhitungan kerugian negara yang dilakukan BPKP tidak bisa dijadikan landasan investigasi karena tidak menjalankan standar audit, dalam hal ini tidak sesuai SPKN," ungkap Dani sembari menegaskan, dalam penghitungan kerugian negara juga harus bersifat pasti dan nyata.

Sementara, pakar hukum Administrasi Negara Philipus M Hadjon mengatakan, BPKP hanya dapat memeriksa dalam rangka pengawasan internal pemerintah, dan tidak memiliki wewenang mengaudit BUMN, karena BUMN bukan bagian internal pemerintah.

"Ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah," ucap Philipus saat bersaksi di sidang PTUN itu.

Philipus mengatakan, pemeriksaan yang dilakukan BPKP atas permintaan penyidik dan hanya berdasarkan dokumen dari penyidik. Karena itu, tidak ada opini dan hasil audit BKPP yang mempunyai kekuatan mengikat, karena tidak didasarkan legalitas kewenangan.

‪"Dalam beberapa kali sidang saya sering melihat tampilnya petugas ahli BPKP di sidang korupsi hanya bertindak 'juru bicara  instansi penyidik'," jelas dia.

Sebab kata Philipus, pihak BPKP kerap ditampilkan di depan sidang hanya masalah kerugian keuangan negara. Sedangkan pelaksanaan penghitungan dan penyusunan laporan perhitunganya harus mejadi tanggung jawab instansi penyidik sendiri. ‬

Gugatan Bahalwan itu, ikut juga para terdakwa lainnya dalam kasus ini, diantaranya Chris Leo Manggala. Chris dkk sebagai pihak penggugat Intervensi dalam perkara itu, karena pihak-pihak tersebut dinilai mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk masuk sebagai pihak dalam perkara tersebut.

Sementara, kuasa hukum Bahalwan, Ari Juliano Gema memaparkan alasan gugatan terhadap BPKP, yaitu laporan BPKP tentang kerugian negara pada pekerjaan LTE GT 2.1 dan 2.2 bertentangan dengan UUD 1945 dan UI Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK.

"lembaga yang mempunyai wewenang untuk melakukan perhitungan kerugian keuangan negara adalah BPK, bukan BPKP," singkat Ari.

Live dan Produksi VOD