Liputan6.com, Jakarta - Coretan-coretan tangan di atas kertas putih: rumah sederhana, orang, dan kursi yang menggambarkan takhta. Pembuatnya adalah para anak indigo -- yang diyakini memiliki kemampuan atau sifat yang spesial, tidak biasa, dan bahkan supranatural -- pada April 2005 dalam acara televisi 'Bukan Empat Mata'. Sebuah ramalan Indonesia di masa mendatang.
Isinya bikin bergidik. Indonesia saat itu diramalkan akan mengalami banyak bencana. Akan tetapi alam berbaik hati mendidik dan memunculkan pemimpin yang lahir dari kesederhanaan. "Sekitar 6 atau 7 tahun dari 2005, sang pemimpin itu sudah mulai kelihatan."
Baca Juga
7 tahun setelah nurbuat, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 digelar. Pemilihan gubernur ini menarik perhatian masyarakat Indonesia, bukan hanya di Ibukota.
Advertisement
Ada 6 pasang calon yang ikut kontestasi. Dari mereka, seorang pria menarik perhatian masyarakat. Namanya Joko Widodo, dia berpasangan dengan mantan Bupati Belitung Timur Basuki Tjahaja Purnama.
Saat itu Jokowi masih menjabat sebagai Walikota Surakarta untuk periode keduanya. Kala menjabat sebagai walikota, dia hanya duduk di kantor kurang lebih 2-3 jam. Selebihnya terjun langsung ke lapangan, melakukan inspeksi mendadak, dan mengawasi pelaksanaan program.
Modal inilah yang dipakai Jokowi untuk merebut hati warga Jakarta saat mengikut Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Mengikuti Pilkada DKI, Jokowi awalnya tak diunggulkan, termasuk oleh partainya sendiri.
Banyak yang meragukan kemampuannya untuk bisa memimpin Ibukota, apalagi menarik simpati warga Jakarta. Lawannya pun tak sembarangan, gubernur incumbent Fauzi Bowo. Namun, takdir berkata lain.
Jokowi yang terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017 tetap mempertahankan kesederhanaannya. Kendati sudah menjadi orang paling berkuasa di ibukota, dia hanya menggunakan mobil Toyota Kijang Innova sebagai kendaraan dinasnya.
Dalam 1 hari bisa lebih 5 tempat dikunjunginya, menemui langsung warga Jakarta dengan aktivitas blusukan. Kesederhanaan, kerja keras, prestasi, dekat dan peduli dengan rakyat, bersih dan populer, inilah yang kemudian menjadikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengusung Jokowi sebagai calon presiden pada Pilpres 9 Juli 2014.
Jokowi berpasangan dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan berhasil mengalahkan pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Berdasarkan hitung resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diumumkan 22 Juli 2014, Jokowi-JK memperoleh 70.997.883 suara atau 53,15%. Sedangkan Prabowo-Hatta memperoleh 62.576.444 suara atau 46,85%. Selisih suara antara keduanya mencapai 8.421.389 atau 6,3%.
Kemenangan ini otomatis membawa Jokowi sebagai Presiden ke-7 Republik Indonesia.
Selanjutnya: Mitos di Balik Angka 7...
Mitos di Balik Angka 7
Mitos di Balik Angka 7
Angka 7 dinilai sebagai angka keramat dan sakral. Menurut paranormal Suhu Naga, angka 7 juga disebut angka Ketuhanan. Angka 7 juga berarti pertolongan.
Maksudnya Jokowi hanya akan mendapat pertolongan dari Tuhan dan rakyat yang mempercayainya.
"Angka 7 itu jika dikaitkan dalam bahasa Jawa maka disebut pitu atau bermakna pitulungan (pertolongan). Meski disebut angka Ketuhanan yang sakral dan keramat, hal ini tidak membuat Jokowi mudah melewati itu semua. Dia akan melewati lika-liku perjuangan yang luar biasa,” kata Suhu Naga.
"Akan tetapi filosofi angka 7 ini menyimbolkan arus bawah yang kuat, di mana dirinya mendapat dukungan dari arus bawah. Dirinya mendapat bantuan dari kekuatan Tuhan dan masyarakat bawah," imbuh Suhu Naga kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Suhu Naga mengatakan, berdasarkan segi supranatural, Jokowi tidak mendapat dukungan dari kekuasaan Bumi, hanya kekuasaan Tuhan yang mendukungnya. "Kekuatan Tuhan dan masyarakatlah menjadi sumber utamanya," papar dia.
Menurut Suhu Naga, Jokowi terpilih karena simpati rakyat yang begitu besar kepadanya. Namun, dia tidak memegang tongkat kekuasaan. "Kalau saya memandang dari energi alam sebenarnya timing-nya tidak pas, akan tetapi simpati rakyatlah membuat dirinya menang," ucap Suhu Naga.
Suhu Naga mengatakan, Jokowi tidak disukai pihak yang kalah dalam Pilpres 9 Juli kemarin. "Karena di dunia politik ini energi siapa yang bermain dan memegang kekuasaan dia yang bisa mengendalikan," tegas dia.
Meskipun demikian, Suhu Naga mengatakan Jokowi akan berhasil melewati rintangan yang menghadang di depannya yang berlika-liku meskipun terseok-seok.
Anak Indigo Naomi Angelia Sea mengatakan, Jokowi memang sudah diramalkan menjadi presiden, sejak menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
"Dari awal terlebih saat menjadi Gubernur, aku sudah percaya bahwa Jokowi akan menjadi presiden. Aku merasa sosok beliau adalah teladan untuk semua kalangan. Bapak Jokowi adalah sosok yang amat baik," ujar Naomi kepada Liputan6.com.
Senada dengan pernyataan Suhu Naga, Naomi juga mengatakan, banyak elite yang merasa pintar sehingga tidak mau menerima kehadiran Jokowi walaupun sosoknya diinginkan rakyat Indonesia.
"Pada dasarnya rakyat hanya menginginkan pemimpin yang bisa dicintai rakyat yaitu yang bisa memberi rasa aman dan nyaman pada rakyat Indonesia," kata perempuan muda ini.
Baca juga: Faktor Jusuf Kalla...
Advertisement
Faktor Jusuf Kalla
Faktor Jusuf Kalla
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan terpilihnya Jokowi sebagai presiden sangat menarik. Sebab, Jokowi tidak memiliki latar belakang militer, atau dekat dengan kekuasaan.
"Gaya Jokowi menabrak suasana kekakuan dalam penampilan, penampilan yang sederhana adalah senjata Jokowi jadi presiden, sehingga muncul branding image pemimpin yang lahir dari rakyat," ujar pria yang akrab disapa Ipang kepada Liputan6.com.
Selain itu, kemenangan Jokowi juga tidak lepas pengaruhnya dari kerja mesin politiknya dalam Koalisi Indonesia Hebat serta pendampingnya Jusuf Kalla yang mempunyai basis kuat.
"Mesin partai cukup membantu Jokowi, yaitu Koalisi Indonesia Hebat, tidak bisa dinafikan memenangkan Jokowi. Selain itu, faktor JK sangat besar pengaruhnya membantu kemenangan Jokowi. Kalau Jokowi salah mengambil cawapres kemarin, Jokowi bisa tenggelam dan kalah dalam kontestasi pilpres," ujarnya.
Ipang juga menilai, kemunculan Jokowi tak lepas dari usaha relawannya. Tim konsultan, relawan, dan tim pemenangannya cukup canggih dan sistematis dalam menelurkan strategi bertarung memenangkanya. “Ditambah tim tersebut all out dan solid," tegas Ipang.
Dia menilai, gaya Jokowi yang bekerja cepat dan melawan mainstream kekakuan birokrasi selama ini yang biasanya menghambat kinerja dan prestasi, hingga blusukan menjadikannya kurang disukai elite politik atau pihak-pihak yang ingin bermain nakal.
"Program Jokowi itu sederhana sekali sehingga program kerja Jokowi lebih mudah diterima publik (daripada yang lain)," kata Ipang.
Pengamat politik yang memimpin lembaga riset Indo Barometer M Qodari mengatakan, kondisi perpolitikan saat ini yang terbelah pascapilpres bisa diubah oleh Jokowi.
"Kuncinya di Jokowi," ujar Qodari. Menurut dia, ketegangan antara pemerintah dan legislatif bisa dicairkan jika Jokowi rajin menjalani komunikasi dengan elite-elite di KMP.
"Dia harus banyak-banyak berkomunikasi dan blusukan ke elite ( partai anggota KMP)," kata Qodari. Dia mengungkapkan, selama ini Jokowi lebih kuat di bawah (akar rumput), tapi lemah di atas.
Jokowi beberapa hari belakangan telah melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie dan mantan rivalnya dalam Pilpres 2014 yaitu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto.
Dampak positif terjadi usai Jokowi menemui Prabowo. Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menjadi positif.
Baca selanjutnya: Si Kuda Hitam...
Si Kuda Hitam
Si Kuda Hitam
Kemenangan Jokowi-JK pada Pilpres 2014, sudah diramalkan. Paranormal Ki Kusumo pada 22 Juni sebelum pencoblosan Pilpres 9 Juli 2014 mengatakan, yang akan memenangkan Pilpres adalah sosok kuda hitam. "Tapi dia bukan pemilik kuda," kata Ki Kusumo.
Saat itu, rival Jokowi yaitu Prabowo Subianto dikenal suka berkuda dan memiliki banyak ekor kuda. Dalam beberapa kesempatan kampanye, Prabowo bahkan menunggang kuda.
Walau diramalkan menang, dia mengimbau kepada dua pendukung Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta bergandengan tangan kembali dan beraktivitas seperti biasanya usai pemilihan. Sebab, wajar dalam proses demokrasi, ada yang kalah dan menang.
Budayawan Rohmad Hadiwijoyo juga meramal, Jokowi sebagai presiden Indonesia 2014. Menurut dia, pemimpin Indonesia akan selalu berasal dari keturunan 3 kerajaaan besar yakni Mataram, Majapahit dan Demak.
Karena 3 kerajaan ini sudah mengenal demokrasi sejak puluhan abad sehingga memahami sosok pemimpin yang diidamkan rakyatnya.
"Kalau sudah Majapahit, biasanya presiden kita ganti dari keturunan Mataram, kalau sudah Mataram ganti kerajaan Demak. Karena mereka manunggaling Gusti (berketuhanan)," ujar Rohmad, Rabu 24 Juli 2013.
"Nah, Jokowi dari Mataram. Dulu Habibie hanya singgah saja sebentar," sambungnya.
Kemenangan Jokowi juga telah diprediksi mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono. Dia mengklaim, kemenangan pasti Jokowi-JK itu telah berdasarkan ramalan dari intelijen Indonesia.
"Menurut ramalan intelijen, akan menang," ucap Hendro di DPP Partai Keadilan dan Persatuan (PKPI), Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis 22 Mei 2014.
Proses pergantian kepemimpinan di Indonesia bagi sebagian masyarakat sudah tertuang dalam ramalan.
Bagi masyarakat Jawa, Jongko Joyoboyo atau Ramalan Jayabaya punya tempat istimewa. Tak sekadar ramalan tentang 'notonagoro' yang disebut-sebut sebagai urutan kepemimpinan nasional -- meski hanya no dan to, Sukarno dan Soeharto yang terbukti. Ramalan ini dipercaya dari pemikiran Prabu Jayabaya, Raja Kediri yang memerintah sejak tahun 1135 hingga 1157 Masehi.
Mantan Presiden Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia yang dilambangkan sebagai Satrio Kinunjoro. Seorang yang mempunyai peran besar dengan pengalaman berkali-kali dipenjara.
Sedangkan mantan Presiden Soeharto digambarkan sebagai pemimpin yang harus lengser karena tuntutan rakyatnya. Presiden Soeharto dilambangkan sebagai Satrio Mukti Wibowo.
Kemudian Presiden BJ Habibie dilambangkan sebagai Satrio Jinumput atau Satrio Sumelo Atur.
Almarhum KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur disebut sebagai Satrio Lelono Bumi. Yakni pemimpin yang gemar keliling dunia walau tidak bisa melihat. Adapun Megawati Sukarnoputri dipercaya sebagai Satria Piningit Hamong Tuwuh. Yakni yang membawa nama besar sang ayah.
Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono disebut sebagai Satrio Pinilih. Yakni presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Joko Widodo digambarkan sebagai pemimpin yang gemar mengembara menemui rakyatnya atau Satrio Pandito Reki Ngambara Layung- Layung.
Tak Relevan
Sejarawan Sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Juwono mengatakan, ramalan suksesi di Indonesia sudah tak cocok lagi di era sekarang. Sebab, sekaranglah rakyat yang menentukan pilihannya.
"Sekarang ini yang berkuasa rakyat. Dulu kan raja. Kalau sekarang kan rakyat yang menentukan pilihannya pemimpin siapa. Jadi ramalan tidak cocok lagi, itu 2 hal berbeda. Bahwa peritiwa sejarah bukan ditentukan penguasa. Tapi sekarang rakyat dengan demokrasinya," kata Prapto Juwono. (Ein/Ans)
Advertisement