Sukses

Berburu Menteri ala Soeharto, dari Intel Hingga Mata Batin

Beda presiden beda pula cara memilih menteri. Itu terlihat dari cara Presiden Soeharto hingga Joko Widodo memilih para pembantunya.

Liputan6.com, Jakarta - Pengusaha sekaligus politisi Partai Golkar Fahmi Idris punya cerita menarik saat dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi calon menteri. Awalnya, mantan Menteri Tenaga Kerja (2004-2005) dan Menteri Perindustrian (2005-2009) itu dihubungi staf SBY bahwa dirinya akan dipanggil ke Cikeas dan diminta untuk menyiapkan diri.

"Saya belajar seperti mau ujian," ujar Fahmi yang kini terbaring sakit itu, beberapa waktu lalu.

Fahmi mengaku mulai membuka-buka buku lama, menebak-nebak pertanyaan apa yang akan diajukan Pak Presiden nanti. Namun, ternyata materi yang ditanyakan saat audisi berbeda dari apa yang telah dipelajari. Kendati demikian, posisi menteri akhirnya tetap dalam genggaman pria kelahiran Jakarta, 20 September 1943 itu.

Setelah terpilih sebagai Presiden pada Pilpres 2004, SBY memang terlihat sibuk merancang kabinet yang akan menjalankan roda pemerintahan. Saat mengundang wartawan ke rumah pribadinya di Puri Cikeas, Bogor, Jawa Barat, SBY mengakui sudah banyak peminat mengirim lamaran untuk menjadi menterinya.

"Banyak sekali rekomendasi atau lamaran dialamatkan kepada saya. Bahkan beberapa organisasi, sekali mengusulkan bisa 10 bisa 15 nama. Saya hormati, saya baca usulan itu," jelas SBY seperti dikutip dari BBC.

Yang jelas, langkah pertama Yudhoyono saat mencari calon menteri adalah dengan menjaring sekaligus menyaring nama-nama yang masuk. Tugas ini dibebankan kepada Badan Pemenangan Pemilu SBY.

Nama-nama calon yang lolos itu kemudian diumumkan melalui siaran televisi. Satu per satu calon menteri lantas dipanggil SBY untuk dilakukan wawancara di kediaman pribadinya di Puri Cikeas.



"Wawancara dengan Yudhoyono lebih pas dibilang diskusi daripada ujian," tutur mantan Rektor Institut Teknologi Bandung Kusmayanto Kadiman, salah seorang yang mengikuti seleksi calon menteri dan akhirnya menempati posisi sebagai Menteri Riset dan Teknologi pada Kabinet Indonesia Bersatu periode 2004-2009.

Lolos seleksi di Puri Cikeas, para calon menteri kemudian menjalani pemeriksaan kesehatan, termasuk psikotes, di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Mereka harus menjawab 567 pertanyaan tertulis untuk pemeriksaan kesehatan jiwa.

Meskipun sudah diliput televisi dan menjalani tes kesehatan, belum tentu pula calon itu lolos menjadi menteri. Sedangkan jika dianggap lolos, yang bersangkutan akan diminta menandatangani komitmen koalisi, kontrak kinerja, serta pakta integritas. Seluruhnya ditujukan untuk mengikat komitmen calon agar bekerja sesuai keinginan Sang Presiden.

Namun, proses yang terjadi sebenarnya tidak sesederhana urut-urutan tersebut. Tekanan dari luar juga terus berdatangan dalam bentuk usulan nama untuk jadi calon menteri SBY.

Yang dikirim lewat jalur pribadi atau orang dekat, tidak kurang banyaknya. SBY tidak mengatakan berapa persis jumlah nama yang diusulkan padanya. "Permintaan...maaf saya tidak mungkin semua dapat diwadahi. Kursinya terbatas," kata SBY.

2 dari 5 halaman

Kisah SBY Kena Marah

Kisah SBY Kena Marah


Ada cerita di balik permintaan maaf SBY. Usai mengumumkan Kabinet Indonesia Bersatu pada 20 Oktober 2004, SBY mendapat banyak kiriman pesan singkat (SMS), baik yang memuji, berterima kasih dan tak sedikit pula yang marah-marah.

"Mereka mengumpat dan bahkan mendamprat saya," tutur SBY dalam buku 'SBY: Selalu Ada Pilihan'.

Umumnya yang marah-marah itu adalah mereka yang merasa bakal jadi menteri namun tidak jadi kenyataan. Padahal, menurut SBY, kesalahan ada di pers yang kerap menulis kabinet bayangan dan memuat nama-nama calon menteri yang sebenarnya tidak berasal dari dia. Hal yang sama juga terjadi pada seleksi menteri periode kedua Yudhoyono.

"Dalam penyusunan kabinet berikutnya tidak akan ada yang marah-marah lagi. Tapi, ternyata tidak," ujar SBY.



Saat SBY mengumumkan KIB Jilid II pada Oktober 2009, kasus yang sama terulang lagi. Meski tidak lagi marah-marah, banyak yang mengungkapkan kekecewaan atas kabinet yang dibentuk SBY.

"Saya tahu bahwa mereka marah dan hubungan saya dengan mereka menjadi renggang. Saya ikuti, mereka akhirnya memperkuat barisan yang gemar mengkritik saya," jelas SBY.

Bisa dimaklumi, karena SBY melakukan seleksi secara terbuka, sehingga siapa saja bisa melihat sosok yang dipanggil untuk menjadi calon menteri, meski belum tentu yang bersangkutan bakal terpilih. Tentu saja, setiap nama yang dipanggil atau disebut Tim SBY akan menaruh harapan dan menjadi kekecewaan serta rasa malu ketika harapan itu tidak menjadi kenyataan.

Selain itu, pemerintah di era Presiden SBY disokong oleh sejumlah partai politik, sehingga perlu mempertimbangkan keterwakilan parpol pendukung di kabinet sebagai bentuk balas budi. Kerumitan itu yang tidak dimiliki pemerintahan Soeharto sepanjang dirinya memilih menteri.

3 dari 5 halaman

Seleksi ala Soeharto

Seleksi ala Soeharto

Cosmas Batubara yang 3 kali menjadi menteri pada kabinet pemerintahan Soeharto mengatakan Sang Presiden hampir tidak mengenal kata kompromi politik saat menyusun kabinet.

"Golkar adalah single majority sehingga memudahkan beliau menentukan pilihan. Sedang saat ini adalah partai yang ada berkoalisi sehingga tidak semudah Pak Harto menentukan pembantunya," ujar Cosmas.

Untuk mencari menteri yang terbaik dan bisa dipercaya masuk kabinet, Soeharto biasanya mengandalkan orang-orang yang berada di jaringan yang sangat dia percaya. Yang utama adalah mereka yang berasal dari TNI (dulu ABRI) dan Partai Golkar, baru kemudian calon dari kalangan profesional.

Tidak hanya itu, Soeharto juga sangat memperhatikan asas perimbangan wilayah yang ada di Indonesia dengan mencari calon menteri dari latar belakang etnis yang beragam sebagai perwakilan pulau-pulau besar.

Tak sulit bagi Soeharto mencari sosok menteri yang dia inginkan karena dia bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang data-data penting calon terkait.

"Pak Harto memiliki sumber data yang rinci terkait orang yang dicalonkan sebagai menterinya," tegas Cosmas.

Cosmas sendiri dipanggil Soeharto ke kediamannya di Jalan Cendana tahun 1978 setelah sidang MPRS mengangkatnya kembali sebagai presiden. Soeharto memintanya masuk kabinet dan Cosmas bertahan hingga 15 tahun di kabinet sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat (1978-1988) dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (1988-1993).

Intelijen dan Terawangan Batin Pak Harto



Ucapan Cosmas bahwa Soeharto punya sumber data yang rinci terkait calon menterinya ternyata masuk akal. Bagi mantan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara di era Soeharto, Sarwono Kusumaatmadja, Presiden yang berkuasa selama 32 tahun itu menggunakan jasa intelijen untuk merekrut para menterinya.

Soeharto akan menggunakan data-data dari laporan intelijen untuk melihat data dan latar belakang seseorang yang ingin ditunjuknya menjadi menteri. Karena itu, kehidupan calon menterinya sangat diketahui secara detail oleh Pak Harto.

"Pak Harto itu memiliki metode untuk mencarikan orang, beliau sering memakai laporan intelijen. Jadi siapa pun yang ingin menjabat, data, latar belakang itu Pak Harto sudah punya, dan cara itu sangat akurat dan profesional," ujar Sarwono kepada Liputan6.com, Minggu 26 Oktober 2014.

Cerita Sarwono dibenarkan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti. Menurutnya, apa yang dilakukan pada era Soeharto semuanya harus lolos screening (pengecekan) yang dilakukan Badan Intelijen Negara (BIN).

"Zaman Pak Harto, itu semuanya harus screening. Mau jadi PNS, menteri, harus screening dulu lewat Badan Intelijen Negara. Barulah nanti terlihat laporan kegiatan itu. Pernah kritik atau tidak? Ikut organisasi apa? Sama dengan Akbar Tandjung dan Pak Sarwono yang terus dipantau BIN," jelas Ikrar.

Namun begitu, Ikrar mengatakan meski mendapatkan info dari BIN, Pak Harto menyusun sendiri kabinetnya tanpa orang lain. Menurut dia, Pak Harto dalam memilih selalu melihat benar-benar tentang track record para kandidat.

"Pak Harto itu menyusun sendiri tanpa orang lain. Memang zaman tersebut jelas sangat otoriter. Di mana, Pak Harto memilih yang baik di hitung benar-benar track record-nya," jelas dia.

Dengan kekuasaan besar yang dimiliki, Soeharto juga tak banyak meminta saran atau tanggapan dari wakil presiden yang mendampinginya. "Saran saya itu ada yang dia (Soeharto) terima, dia oke. Tapi ada yang dia tidak terima, dan dia marah-marah sama saya," kata mantan Wapres BJ Habibie (Maret 1998-Mei 1998), belum lama ini.

Jika sudah terjadi perbedaan pendapat seperti itu, Habibie mengaku tak bisa lagi berbuat banyak. Soeharto akan tetap mengusung nama yang dipilihnya, meski Habibie tidak menyetujuinya.

"Dia (Soeharto) bilang, 'pokoknya menterinya ini. Saya kan presidennya'. Kata saya silakan, tapi saya tahu menurut saya itu salah," ujar Habibie.

Sikap Soeharto yang tak mau mendengarkan masukan dalam memilih seorang menteri itu sangat disayangkan Habibie. Meskipun memilih menteri adalah hak prerogatif presiden, masukan dari berbagai pihak menurut dia tetap penting untuk didengarkan.

Dengan pola semacam ini, meski dukungan politik nyaris mutlak, Soeharto masih membutuhkan waktu panjang dan proses yang tidak mudah. Mungkin karena itu, setelah memilih menteri-menterinya, Soeharto hampir tidak pernah merombak kabinetnya di tengah jalan.

Di tempat terpisah, mantan ajudan Soeharto,  Letjen (Purn) Soerjadi  mengatakan, yang membedakan Pak Harto dari presiden lainnya adalah dia sangat mengerti kualitas anak buahnya, sehingga untuk menyeleksi tidak diserahkan pada orang lain atau tim.   

"Tidak diserahkan kepada tim, ditangani sendiri. Ada 1 contoh, tahun 1981 atau 1982, saya mendapat tugas menghubungi 2 orang calon menteri untuk datang ke Pak Harto. Akhirnya ditangani sendiri, dan beliau (Pak Harto) punya record sendiri terhadap orang-orang itu," jelas Soerjadi kepada Liputan6.com.

Dia melanjutkan, dengan berpegang pada data dan pertimbangan yang matang, Pak Harto percaya dan yakin bahwa orang yang dia pilih sebagai menteri bisa melaksanakan pekerjaannya. "Jadi bukan karena ini pilihan siapa atau masukan siapa," tegas Soerjadi. Pak Harto, kata dia, juga mengandalkan mata batin. Haya dengan melihat., ia bisa menilai kualitas seseorang.

"Saya pernah ikut beliau kunjungan ke Asem Bagus, Jawa Timur. Ada tentara yang dia (Pak Harto) lihat bagus. Di tengah jalan dia lihat dan ditanya, 'iku sopo?' Namanya Basofi Sudirman. Kemudian dia ditarik jadi Gubernur Jawa Timur."

4 dari 5 halaman

Pecat Menteri ala Gus Dur

Pecat Menteri ala Gus Dur

Dipilih di tengah kompromi politik ketat antarkekuatan pendukung dan penentang pascapemilu multipartai pertama tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid yang berkuasa tahun 1999-2001 mengalami tekanan hebat dalam pembentukan kabinetnya.

"Tapi Gus Dur tidak menganggap itu sebagai tekanan. Prinsipnya menurut Gus Dur, tidak bisa ada jaminan menteri itu sekali dipilih pasti cocok," kata mantan juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid, Adhie M Massardi.

Audisi menteri era Abdurrahman Wahid lebih sederhana. Setelah mencari-cari orang yang cocok atau menerima masukan dari pihak lain, Gus Dur biasanya akan langsung mengangkat yang bersangkutan.

Secara umum, menurut Adhie Gus Dur sudah punya visi apa yang diinginkannya dalam pemerintahannya. Visi ini lalu diterjemahkan dalam bentuk penunjukan orang yang dianggap Gus Dur sesuai dengan konsepnya.

"Kecakapan teknis saja tidak cukup. Harus juga memiliki kepemimpinan, integritas dan keberpihakan kepada rakyat yang jelas," kata Adhie.

Dia memberi contoh, misalnya Gus Dur punya konsep tentang TNI, tentang pertahanan. Kemudian akan dicari orang yang punya pemikiran serta sikap yang sesuai tentang itu.

"Maka ketemulah Mahfud MD yang orang lain mungkin tidak tahu, tapi Gus Dur tahu ketika Mahfud sebagai anggota MPR dulu dia mendengarkan pemikirannya tentang pertahanan. Maka dia dijadikan Menteri Pertahanan, habis itu kita tidak perlu kontrol lagi, pasti akan seperti itu pemikirannya. Rata-rata begitu," tegas dia.

Kalau ternyata menteri yang sudah dipilih tidak mampu bekerja sesuai keinginan, menurut Adhie, Gus Dur tidak segan-segan mencopot mereka di tengah jalan, termasuk untuk mereka yang membawa legitimasi partai politik.

"Dulu Jusuf Kalla kan juga diganti, Susilo Bambang Yudhoyono, lalu Laksamana Sukardi. Ada Bondan Gunawan, kemudian juga Hamzah Haz, ya nggak apa apa," kata Adhie.



Oleh karena itu, dia menyarankan Jokowi agar melakukan rekrutmen calon menteri-menteri seperti halnya yang dilakukan Gus Dur.

"Menurut saya, cara Gus Dur melakukan rekrutmen anggota kabinet adalah cara paling benar untuk saat ini. Gus Dur memakai pola pelatih sepakbola Inggris. Memilih orang untuk jadi anggota kabinet berdasarkan karakter dan integritas," terang Adhie.

Memilih menteri menurut Adhie tak sulit-sulit amat, karena tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang terpilih akan menjadi baik setelah menjadi menteri, meski yang bersangkutan dari akademisi sekalipun.

"Tidak ada jaminan. Misal kalau ada orang dari akademisi begitu duduk di kabinet tidak ada jaminan dia akan baik," ucap Adhie.

Dia mencontohkan Rudi Rubiandini, mantan Kepala SKK Migas. Rudi berasal dari akademisi, tepatnya profesor dari Institut Teknologi Bandung (ITB), namun tersangkut masalah suap terkait kewenangannya sebagai orang nomor 1 di SKK Migas.

"Contoh, kurang baik apanya Profesor Rudi Rubiandini, menjadi dosen teladan, tapi dia masuk kabinet dengan iklim yang korup. Dia masuk dalam pusaran korup juga. Jadi ya jalan saja, kalau jelek kan diganti," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat pekan lalu.

5 dari 5 halaman

Merah dan Kuning Calon Menteri Jokowi

Merah dan Kuning Calon Menteri Jokowi

Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya cara tersendiri untuk merekrut para pembantunya. Tidak mau mencari sendirian, Jokowi menggunakan lembaga profesional semacam head hunter.

"Mereka yang menyeleksi, tapi dikomunikasikan dengan Tim Transisi," kata salah satu mantan Deputi Tim Transisi Andi Widjajanto.

Ini jelas bukan tugas yang ringan karena mereka sangat rentan untuk ditekan serta diintervensi. Karena itu tim ini harus meneken pakta kerahasiaan. Identitas mereka juga dirahasiakan demi menjaga independensi.

Lembaga yang disewa Jokowi ini di akhir tugasnya menghasilkan 2.800 nama. Jumlah itu kemudian dikerucutkan menjadi 200 dan langsung dikelompokkan sesuai dengan keahlian dan bidang profesinya. Tim pemburu ini selesai bertugas ketika menghasilkan 42 nama.

Setelah itu, seleksi dilakukan langsung oleh pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Berbeda dengan era SBY yang diliput media, Jokowi-JK cenderung melakukannya dalam suasana senyap. JK punya alasan sendiri soal cara dia dan Jokowi menyeleksi calon menteri.

"Coba bayangkan, kalau orang yang kami seleksi terbuka ternyata tidak lulus, malunya kayak apa ini orang," ujar JK.

Tahap akhir seleksi calon menteri juga berbeda dengan era SBY. Nama yang sudah diseleksi diserahkan Jokowi kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna menelusuri apakah si calon bersih dari kemungkinan keterlibatan kasus korupsi.

Wakil Ketua KPK Zulkarnain mengatakan catatan KPK didasari dugaan keterkaitan calon menteri itu dalam kasus-kasus yang ditangani lembaganya. "Kami memberikan saran sesuai dengan yang diminta," tutur Zulkarnain, Senin 20 Oktober lalu.

Zulkarnain mengatakan, calon menteri yang dinilai bermasalah diberikan warna merah pada namanya. Sedangkan calon menteri yang berpotensi bermasalah ditandai dengan warna kuning.

"Kita tidak pakai istilah lolos tidak lolos, tapi memberikan masukan sesuai yang diminta. Yang berisiko tinggi kami anggap merah, yang kami anggap kurang kami beri warna kuning," kata Zulkarnaen dalam pesan singkatnya, Senin 20 Oktober lalu.

Kabinet Solid dan Bongkar Pasang

Setiap kabinet yang pernah dibentuk memang punya karakteristik masing-masing. Pemerintahan Presiden Soeharto antara tahun 1966-1998 dikenal memiliki kabinet dengan sejarah solid, nyaris tanpa friksi dan hampir tidak pernah diubah sebelum masa jabatan 5 tahun selesai.

Sebaliknya, kabinet di bawah pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang hanya memerintah antara 1999-2001 justru mengalami banyak perubahan personel di tengah jalan.

Demikian pula dengan pengumuman menteri, tak ada yang baku terkait waktu yang dihabiskan untuk melakukan seleksi. Semuanya ditentukan oleh tarik ulur kepentingan serta selera presiden tertentu.

Gus Dur dan wakilnya ketika itu, Megawati Soekarnoputri, dilantik pada 20 Oktober 1999 dan mengumumkan kabinet mereka yang disebut Kabinet Persatuan Nasional 6 hari sesudahnya, pada 26 Oktober.

Kabinet Persatuan Nasional hanya bertahan selama 2 tahun karena pergantian presiden di tengah jalan. Kabinet itu berakhir 9 Agustus 2001 ketika Megawati naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur yang dilengserkan sebelum periode pemerintahannya berakhir.

Megawati yang resmi menjabat sebagai presiden pada 23 Juli 2001 kemudian mengubah susunan kabinet. Ia baru mengumumkan kabinetnya yang diberi judul Kabinet Gotong Royong pada 9 Agustus 2001, 2 pekan lebih setelah ia menjadi presiden.

SBY paling cepat mengumumkan kabinetnya. Ia dilantik menjadi presiden pada 20 Oktober 2004, dan mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Indonesia Bersatu I sehari sesudahnya, 21 Oktober.

Sedangkan Jokowi yang dilantik pada 20 Oktober 2014 baru mengumumkan kabinetnya pada hari ke-7 masa kerjanya yaitu 26 Oktober 2014. (Ein/Ans)