Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Adian Napitupulu tak bisa lagi menyembunyikan kegeraman serta kegusaran atas dirinya yang disebut tertidur saat mengikuti rapat paripurna di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Kendati sebelumnya sudah membantah pemberitaan tentang dirinya yang tertidur, kini Adian berniat untuk melaporkan redaksi Koran Tempo ke Dewan Pers. Dia tak terima karena Koran Tempo memuat laporan foto yang memasang foto dirinya dan ditulis dengan judul 'bobo siang'.
Adian tak membantah kalau dirinya memang hadir dalam rapat paripurna yang digelar Selasa 4 November 2014 itu. Rapat yang digelar anggota DPR dari kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) itu tengah membahas alat kelengkapan dewan (AKD).
Namun, aktivis 1998 itu membantah jika dirinya tertidur saat rapat digelar. Bahkan, Adian dengan tegas mengatakan punya saksi di lokasi yang bisa membuktikan kalau saat itu dia tidak sedang tertidur.
"Di berita foto itu judulnya 'bobo siang', padahal itu ada orang di samping saya dan saya tidak tertidur. Saya merem iya, duduknya memang gaya gue. Tapi masa matanya merem dibilang tidur," geram Adian saat menggelar jumpa pers di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (9/11/2014).
Adian menjelaskan, sehari setelah foto 'bobo siang' itu beredar, dia tidak berani membuka semua pesan masuk termasuk akun media sosialnya. Ia menambahkan, ada ribuan pesan yang masuk, lebih dari separuh mencerca dirinya.
"Coba bayangin, gue nggak berani baca SMS, BBM, Twitter. Itu setengah lebihnya pesan semua yang masuk mencerca memaki gue. pernyataan orang-orang di Kaskus lebih kejam menggiring (opini), saya lebih kejam daripada koruptor. Terus anak saya di sekolahnya ditanyai Bapak kamu di kantor kerjanya tidur ya? Tahu nggak sakitnya di mana? Sakitnya tuh di sini," ujar Adian sambil menujuk dada.
Dengan semua alasan itu, serta menurut Adian karena peduli terhadap perjalanan pers di Indonesia, dia memutuskan untuk membawa kasus ini ke Dewan Pers.
"Atas pertimbangan tersebut serta dalam upaya mendukung meningkatkan kehidupan pers nasional yang independen profesional dalam menjalankan profesinya sesuai kode etik jurnalistik, saya melalui kuasa hukum mengadukan redaksi Koran Tempo atas pelanggaran Kode Etik Jurnalistik kepada Dewan Pers," kata Adian..
Dia mengaku tak habis pikir, kenapa saat zaman Orde Baru ketika bersama media-media lain berjuang melawan maraknya pembredelan termasuk Tempo, justru saat ini dirinya menjadi bahan 'pembunuhan karakter'.
"Gue paham betul, gue sama Tempo dan yang lainnya itu berjuang saat maraknya pembredelan media. Tapi kenapa media yang gue perjuangin malah ngebunuh karakter gue? Ini jelas pembunuhan karakter, padahal gue nggak seperti yang dikatakan," tegas Adian.
Adapun kode etik yang dilanggar Tempo menurut Adian, yaitu Pasal 1 dan Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik. Ia pun menyayangkan redaksi Tempo yang tidak melakukan konfirmasi kepada dirinya agar berita tersebut berimbang.
"Kita buka kode etik, jelas hak saya tertera dalam pasal tadi. Tempo bukan media baru. Tempo media lama dan jadi tempat belajar media lain, kalian baca tulisan-tulisan saya, bacaan saya, sama dengan Gunawan Muhammad," ujar Adian.
Akan Melapor ke Dewan Pers
Untuk itu, mantan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini bersama kuasa hukumnya akan melaporkan Koran Tempo secara resmi ke Dewan Pers pada Senin 10 November 2014. Adian meminta adanya klarifikasi atau semacamnya dari media yang bersangkutan.
"Gue mau pembuktian berita itu kuat apa nggak kalau gue tidur. Jujur gue dirugiin jangan bunuh gue dengan berita itu. Saat ini gue juga minta klarifikasi karena berita foto 'bobo siang' itu nggak benar," tandas Adian Napitupulu.
Ini bukan kali pertama Adian membantah kabar seputar foto yang kemudian menyebar di banyak media sosial itu. Saat ditemui 2 hari setelah rapat dimaksud, dia mengatakan kalau cara duduk dengan menyilangkan tangan di dada serta kepala agak tertunduk itu memang gaya dia.
"Itu leyeh-leyeh, itu jam 10 pagi. Harusnya dibuka foto mereka yang dari awal, itu memang meram. Masa meram nggak boleh, emang itu gaya gue itu, tapi nggak tidur," kata Adian di Gedung DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (6/11/2014).
Adian berujar, saat ia terlihat seperti orang tidur sebenarnya dia sedang memikirkan kapan kekisruhan di DPR berakhir. Adian pun mengaku, jika dia orang yang susah tidur.
"Saat itu gue lagi memikirkan ending kekisruhan (DPR) ini gimana, kita lagi merunut peristiwa. Kita nggak tidur, gue tahu kok siapa yang bicara di rapat. Gue orang yang susah tidur, kuat melek," ujar dia.
Adian kembali menegaskan, foto dirinya yang terlihat seperti tertidur hanyalah memejamkan mata sesaat dan tidak benar-benar sedang tidur.
"Faktual merem ya iya, masa melek terus nggak merem. Harusnya jangan secepat itu diambil kesimpulan, dibilang bobo siang. Kan itu belum siang, jam segitu (10.00 WIB) lagi segar-segarnya," tandas Adian.
Koran Tempo Siap Memuat Hak Jawab
Koran Tempo sendiri tidak mempermasalahkan langkah Adian untuk mencari kejelasan atas kasus laporan foto tersebut. Yang jelas, Koran Tempo mengaku sudah menerima surat permintaan hak jawab dari Adian.
"Kita akan layani, kita akan muat hak jawab (Adian) di edisi besok (Senin 10 November 2014)," ujar Pemimpin Redaksi Koran Tempo, Gendur Sudarsono saat dihubungi Liputan6.com, Minggu malam.
Gendur juga tidak mempermasalahkan langkah Adian yang menggelar jumpa pers untuk menjelaskan apa yang dia rasakan dengan kejadian ini. "Ini kan soal persepsi, dan Adian berhak untuk menjelaskan kepada publik, itu memang hak dia," tegas Gendur.
Demikian pula soal rencana anggota DPR itu untuk melapor ke Dewan Pers, menurut dia itu langkah yang memang bisa dilakukan Adian. "Jika besok masih belum puas silakan ke Dewan Pers. Kita sudah biasa dan itu langkah yang bagus dan tepat kalau memang tidak puas atas hak hak jawab. Dan itu kita hargai," pungkas Gendur.
Adian sejatinya bukan sosok yang asing dalam jagad politik Tanah Air. Sejak masih duduk di bangku kuliah, dia sudah tertarik untuk mengkritisi kondisi politik yang ada dengan cara turun ke jalan dengan mahasiswa lainnya.
Adian adalah salah satu tokoh Forum Kota (Forkot), salah satu aliansi mahasiswa 'garis keras' yang ikut menjatuhkan rezim Soeharto pada reformasi 1998. Bersama Forkot, Adian termasuk sebagai pengggagas pendudukan Gedung MPR/DPR yang berujung jatuhnya Soeharto pada 1998.
Advertisement
Dari Jalanan ke Gedung DPR
Sebelum Orde Baru tumbang, sebagai aktivis jalanan Adian kerap kali ditangkap. Tercatat pada 1995 Adian ditangkap karena terlibat dalam demonstrasi soldaritas di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam kasus Sri Bintang Pamungkas terkait aksi demonstrasi anti-Soeharto di Dressden, Jerman. Saat itu, dia ditangkap dan diinterograsi di Polres Jakarta Pusat.
Tidak hanya itu, pada 1996 Adian mendirikan posko Pemuda Mahasiswa Pro Megawati, yang diketahui sebagai satu-satunya posko non-PDI yang menggalang dukungan untuk anak pertama Proklamator RI itu. Kemarahan Adian terhadap rezim Orde Baru semakin memuncak, ketika dia menyaksikan dan ikut melakukan perlawanan saat aparat keamanan dan pendukung Suryadi melakukan penyerbuan terhadap kantor DPP PDI pada tanggal 27 Juli 1996.
Di era reformasi, aksi Adian juga pernah menyita perhatian publik saat dia nekat mogok makan pada tahun 2008, atau tepat 10 tahun perjalanan reformasi. Bersama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Benteng Demokrasi Rakyat (BENDERA) yang didirikannya, Adian dikenal sebagai salah satu pengkritik keras rezim SBY-Boediono.
Setelah gagal saat menjadi caleg No. 4 PDIP untuk Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) pada Pemilu 2009, Adian akhirnya lolos ke Senayan saat menjadi caleg No.2 PDIP Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor) pada Pemilu 2014.
Saat menjadi caleg dan harus berkampanye sebelum Pileg 2014, Adian mengaku hanya bermodal pas-pasan. Namun ia optimis dan bertekad memenangkan suara di Dapil Jabar V, karena dirinya mendapat banyak dukungan dari orangtua, keluarga, hingga teman-teman. Termasuk dari sang istri yang rela cincinnya dijual untuk biaya kampanye.
"Saya dapat modal dari orangtua, keluarga, teman-teman, mertua. Sampai jual cincin istri saya, cincin kawin. Dan tidak ada rasa takut untuk kalah. Kenapa harus takut? Menurut saya mengorbankan untuk perubahan yang lebih besar tidak perlu takut. Apalagi timbang jual cincin," ujar Adian saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Kamis (27/3/2014).
Tentang BBM, Dulu dan Kini
Dan ketika akhirnya dinyatakan terpilih untuk duduk sebagai wakil rakyat di Senayan, Adian tetaplah pribadi yang meledak-ledak. Dia tetap mengkritisi banyak hal yang dilakulan pemerintah terdahulu serta pasangan capres-cawapres yang diusung Koalisi Merah Putih, Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa.
Namun, ketika sudah mulai berkantor di Gedung DPR, ada yang berubah dengan Adian. Dirinya tak lagi bersuara keras terhadap isu yang dulu sangat ditentangnya. Seperti rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM, Adian menanggapi dengan tenang.
"(Soal BBM) Kita bicara dulu di general partai," kata Adian di Gedung Parlemen, Kamis 6 November lalu.
Ia berujar, sekalipun dirinya menjadi bagian dari PDIP sebagai partai pengusung pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (Jokowi-JK), perihal berbeda pendapat soal BBM tidak masalah. "Memang kalau beda pendapat nggak masalah," ujar dia.
Ketika kembali ditanya soal mendukung atau tidak akan rencana kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut, dia menjawab singkat. "Kalau diperhatiin, mata gue udah bicara (nolak). Tapi ya pokoknya tunggu partai. Gue kan orang baru, bos," ujar Adian.
Ini jelas berbeda dengan saat dia bersuara lantang ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berencana menaikkan harga BBM. Bahkan, Adian yang tergabung bersama puluhan aktivis 1998 yang tergabung dalam [tim advokasi mahasiswa]( 383407 "") dan rakyat mendeklarasikan Ratna Sarumpaet Crisis Center untuk menolak kenaikan harga BBM, pada Jumat 23 Maret 2012.
Seperti pengakuan Adian sendiri bahwa dia orang baru, pria bernama lengkap Adian Yunus Yusak Napitupulu itu memang baru merasakan menjadi anggota DPR yang selalu disorot, ditanya perihal berbagai isu serta persoalan politik, dan harus tampil sempurna. Agaknya Adian belum terbiasa.
Selain itu, dari sisi kebiasaan agaknya Adian juga harus mulai membiasakan diri untuk berganti peran. Jika sebelumnya sang aktivis begitu lantang berteriak dan mengkritisi, kini mungkin tiba giliran untuk menjadi sasaran kritikan. Wajar, karena posisi sebagai wakil rakyat di Indonesia akan sangat dekat dengan kritikan ketimbang pujian.