Sukses

Harmoni di Lereng Bromo

Kearifan lokal masyarakat Tengger bahkan diabadikan Thomas Stamford Raffles Gubernur Hindia Belanda dalam bukunya "The History of Java".

Liputan6.com, Pasuruan - Bromo dan Tengger tak pernah terpisahkan. Bagi Suku Tengger, Gunung Bromo adalah anugerah Tuhan yang paling besar. Tak hanya tempat bergantung hidup, Bromo juga menjadi simbol pengikat penganut Hindu Tengger dengan Sang Hyang Widi dan para leluhur.

Kepatuhan terhadap Tuhan dan leluhur telah mendarah daging di sanubari warga Tengger. Atas dasar inilah peringatan Hari Raya Yadnya Karo dilakukan.

Bagi umat Hindu Tengger, pada hari raya yang diperingati setiap bulan kedua penanggalan Saka inilah saatnya untuk merenung. Mereka melakukan napak tilas perjalanan hidup sekaligus mengenang arwah para leluhur.

Dalam kepercayaan Suku Tengger, sosok leluhur teramat penting. Mengingat leluhur juga tak bisa lepas dari penciptaan jagat raya. Sesepuh adat atau dukun menggiring warga untuk memahami proses penciptaan alam atau Pawedalan Jagad.

Melalui tarian sodoran, warga Tengger menyibak asal-usul lahirnya manusia. Tarian sakral ini hanya dihelat saat Hari Raya Karo.

Warga Tengger dikenal begitu meresapi ajaran Tri Hita Karana, yakni hidup seimbang dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Makan bersama menjadi medium untuk mempererat persaudaraan mereka. Kegiatan ini sekaligus sebagai simbol rasa syukur atas anugerah Sang Maha Kuasa.

Bagi warga Tengger, menghormati leluhur tak bisa ditawar-tawar lagi. Kehidupan berbeda dimensi tak menghalangi mereka untuk berkhidmat pada pendahulunya. Orang Tengger percaya tidak ada kehidupan yang fana. Semua akan kembali kepada Sang Maha Pencipta.

Nyadran atau berziarah ke makam leluhur menjadi salah satu ritual penting yang tetap lestari, termasuk saat peringatan Hari Raya Karo.

Warga Tengger meyakini kematian adalah jalan terbaik menuju keabadian. Mengenang yang telah tiada menjadi cara terbaik memaknai kehidupan.

Menyiapkan sesaji sebagai sesembahan kepada leluhur selalu dilakukan warga Tengger usai menjalani ritual Nyadran. Sesaji kemudian didoakan pemuka adat atau dukun. Sesaji yang dibalur mantra diyakini dapat memberi berkah.

Sesaji juga diantar ke tempat suci atau Punden demi mengharap karunia Sang Maha Pemberi. Mereka juga memohonkan ampun atas kekeliruan para leluhurnya.

Sebagai pamungkas dari rangkaian ritual Karo, warga Tengger menggelar Ujung-ujungan atau atraksi saling pecut. Peraturannya sederhana. Masing-masing bergantian saling cambuk menggunakan rotan. Namun ini bukan ajang kepura-puraan.

Meski hanya sebatas hiburan, atraksi ini mempunyai filosofi yang tinggi. Jika tak ingin disakiti, maka jangan pernah melukai orang lain. Nilai-nilai itulah yang selama ini menjaga harmoni kehidupan di lereng Gunung Bromo.

Kearifan lokal masyarakat Tengger ini bahkan diabadikan Thomas Stamford Raffles, Gubernur Hindia Belanda yang juga pendiri negara Singapura dalam bukunya "The History of Java".

Seperti apa kehidupan masyarakat Tengger yang menjadi salah satu ikon Gunung Bromo? Saksikan selengkapnya video Potret Menembus Batas SCTV, Minggu 9 November 2014. (Rmn)