Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) bersama Chiba University, Jepang mengembangkan microsatelite canggih pertama di dunia yang menggunakan Sensor Aynthetic Aperture Radar (SAR).
Chiba University diwakili Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL) milik Profesor Josaphat Tetuko Sri Sumantyo -- ilmuwan asal Indonesia yang punya nama di Negeri Sakura.
Â
Kabid Teknologi Muatan Satelit Lapan, Wahyudi Hasbi mengatakan, pihaknya dengan Profesor Josaphat telah melakukan MoU pada Mei 2013 terkait pengembangan satelit bernama A-5 berbobot 100 kg ini. Lapan akan mengerjakan Platform/BUS-nya sedangkan Profesor Josaphat akan sensor SAR untuk payloadnya.
Â
"Jika ini berhasil bagian dari suatu terobosan, karena kita bisa pasang payload SAR yang biasanya di satelit besar ke satelit yang kecil. Dari segi payload ini memang belum ada, nah itulah tantangannya. Kalau kelas 600-an kg, baru di Eropa kalau nggak salah itu Astrium, mereka sudah punya rancangannya," ucap Wahyudi kepada Liputan6.com.
Â
Wahyudi menjelaskan, teknologi SAR ini adalah teknologi terbaru dan sangat sulit, oleh karenanya pihaknya mengajak Prof. Josh -- panggilan Josaphat-- yang sudah terkenal di dunia mengembangkan ini. Pihaknya pun akan berusaha agar Microsatellite LAPAN A-5 ini akan sangat bermanfaat untuk masyarakat Indonesia.
Â
"Sekarang arah Pak Presiden Jokowi masalah maritim ya, jadi SAR ini sangat akan membantu makanya kita akan berusaha dan belajar. Untuk maritim itu sangat butuh SAR. Selain itu sesuai dengan pengalamannya, teknologi SAR bisa juga membantu pengamatan kota, lingkungan dan sebagainya. Selama ini satelit yang menggunakan optic bermasalah dengan awan, nah SAR bisa tembus awan bahkan hingga dapat menghitung ketinggian pohon," tambahnya.
Â
Sementara itu, saat ditemui saat diundang memberikan kuliah umum di Institut Teknologi Bandung pada 05 November 2014 kemarin, Prof. Josh menuturkan, sensor yang ia buat juga akan sangat bermanfaat untuk program ketahanan pangan. Kualitas benih padi pun bisa dianalisa menggunakan satelit ini.
Â
"Kita juga mengembangkan Microwave-Vigitation-Remote Sensing, itu menggunakan gelombang electromagnetic ini untuk melakukan monitoring tumbuhan. Jadi teknologi ini bisa melihat bibit padi apakah kualitas bagus atau tidak, ini yang sedang kita kembangkan," tutur Guru besar Universitas Chiba, Jepang ini kepada Liputan6.com.
Â
Menurut Wahyudi, untuk desain pihaknya sudah ada. Saat ini tantangannya adalah memasukan sebuah radar yang biasanya ukurannya sangat berat ke dalam sebuah satelit dengan berat 100-200 kg. Untuk itu diperlukan ketelitian, namun ia yakin kita mampu menguasai teknologi ini.
Â
"Satelit yang menggunakan SAR ini rata-rata biasanya ukuran 1-2 ton ke atas. Ini butuh power besar sampai 1.000 watt. Ini menggunakan solar panel, bayangkan jika satelitnya kecil harus punya power besar untuk memancarkan sinyal radar ke Bumi. Jadi tantangannya besar sekali," katanya.
Â
"Kemarin itu Pak Josh ada beberapa perubahan misalnya antenna kita rencanakan deploy, nah sekarang itu beliau lagi rancang yang tidak perlu di-deploy jadi ukurannya diperkecil. Untuk teknologi antenna, beliau memang pakarnya di bidang itu," ungkapnya.
Komponen Dalam Negeri
Komponen Dalam Negeri
Selain tantangan di bagian payload, pihaknya juga mendapatkan tantangan lainnya yakni dari segi anggaran pembuatan satelit ini. Direncanakan Satelit LAPAN A-5 ini bisa selesai pada 2019. Ia berharap pemerintah dan masyarakat mendukung dan mendoakan agar program ini bisa terlaksana dengan baik.
Â
"Untuk membuat ini kira-kira biayanya di bawah Rp 150 milliar, kalau satelit besar (menggunakan SAR) itu bisa Rp 5-10 trilliun. Sekarang di Eropa juga sedang bikin Satelit SAR dengan berat 600-an kg, itu harganya Rp 1-2 trilliun. Karena sangat mahal dan melihat keterbatasan anggaran kita makanya kita berusaha semuanya yang kita bisa, kita mampu tapi semua itu butuh waktu. Kita harapkan tetap di-support oleh pemerintah," harapnya.
Â
Prof. Josh yang lahir di Bandung, Jawa Barat pada 25 Juni 1970 mengaku, saat ini tidak ada masalah dalam pengembangan Satelit A-5 ini. Dengan didukung anggaran yang baik ia yakin pengerjaan satelit ini bisa lebih cepat.
Â
"Pengembangan butuh kurang dari 3-4 tahun. Kalau ada biayanya, setahun atau 2 tahun sudah selesai. Untuk masalah saya rasa nggak ada, cuman masalah security aja, misalnya pengembangan radar dari saya, Lapan yang kembangkan satelitnya. Mudah-mudahan 4 tahun ke depan kita sudah bisa meluncurkan, tergantung masalah di atas tadi," tutur Josh yang juga menjadi Visiting Profesor di Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA).
Â
Dengan pengalaman mengembangakan satelit A-1 hingga A-4, Wahyudi yakin Satelit A-5 akan "kaya" dengan komponen dalam negeri. Ia mencontohkan, dalam satelit LAPAN A-2 pihaknya telah berhasil membuat desain satelit, struktur satelit dan payload, stepper motor, magnetic coil, reaction wheel, power converter, harnessing satelite, test componen, sistem satelitnya, dan ground stationnya.
Â
"Lapan A-3 yg sedang dikembangkan ini kita sudah bisa bikin Star Sensornya, jadi untuk attitude control satelit kita pakai sensor bintang itu kita sudah bikin sendiri di A-3. Nah makin kedepan Insya Alah kita makin tinggi kandungan dalam negerinya. Karena kita harapkan industri dalam negeri bisa support kita," ujar Wahyudi.
Â
"Target kita 60-70 persen ya, cuman kalau kita hitung dari desain dari integrasi itu sudah 100%, hanya di level komponen ada beberapa kita masih impor karena kita nggak mungkin bikin sendiri. Misalnya, Gyro mau nggak mau kita harus impor. Itu masih ada lagi dari Prof. Josaphat yang sensornya dibuat sendiri, jadi kira-kira cukup besar ya. Nah beliau dihitung sebagai putra bangsa," imbuhnya.
Â
Lalu bagaimana dengan peluncurannya?
Â
"Untuk peluncuran kayaknya kita harus bersama Jepang ya, karena teknologi ini bisa dipakai untuk militer dan sipil jadi Jepang membatasi kita untuk tidak meluncurkan menggunakan yang lain kecuali sama mereka," jelasnya.
Â
Karena ini pengembangan teknologi radar, ia berharap peluncuran sendiri dilakukan di orbit ekuator. Namun, karena menumpang ia menyerahkan semua kepada Jepang sebagai pihak yang membantu.
Â
"Sebaiknya untuk SAR ini kita bisa di equatorial orbit ya, kita bisa dapat 14 kali revisit/kontak tiap hari dari satelitnya sendiri. Dan karena teknologinya radar yah, lebih baik di equatorial. Cuman itu kita harus melihat peluang peluncuran dengan Jepang itu, kalau mereka bisa ke Equatorial pasti kita ke situ. Cuman equatorial orbit ini peluangnya kecil sekali, mau nggak mau kita harus menunggu. Karena biasanya untuk satelit kecil kita numpang, sampai ada kesempatan," mintanya.
Â
"Dapat 14 kali lewat, waktu untuk setiap kali kontak itu 7-12 menit. Saat ini Lapan sudah memiliki beberapa stasiun penerima data sehingga seluruh Indonesia dapat kita cover. Misalnya dari Papua 12 menit selesai lalu kita terima datanya dari Jawa nanti sampai ke Sumatera kita bisa terima datanya lagi," harapnya.
Â
Synthetic Aperture Radar (SAR) adalah suatu bentuk radar yang digunakan untuk membuat gambar dari obyek seperti Landscape. SAR biasanya dipasang di pesawat atau pesawat ruang angkasa dan berasal sebagai bentuk lanjutan dari Side Looking Airbone Radar (SLAR). Jarak perangkat SAR dikirim melalui Antenna Aperture.
Â
Melalui pengembangan di Lab-nya, Prof. Josh mengaku teknologi yang ia kembangkan bisa menembus segala macam cuaca, kabut, awan, awan dan hutan. Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR) ciptaannya pun banyak dilirik oleh Badan Antariksa Internasional.
Â
"Karena teknologi SAR onboard di dunia itu selama ini hampir tidak ada. Dan yang bisa mengembangkan itu hanya ada di Lab saya. Karena itu mereka tertarik untuk mengimplementasikan hasil riset kita itu untuk pengembangan satelit-satelit mereka nanti.
Â
Sedangkan, LAPAN saat ini telah menyelesaikan pengerjaan Satelit A-1, A-2, dan menyempurnakan satelit A-3 yang mempunyai lompatan teknologi yang cukup jauh dan mulai mendekati persyaratan operasi penginderaan jauh. Kemudian, Pusat Teknologi Satelit dan Pusat Sains Antariksa LAPAN akan mengembangkan Satelit A-4 dengan menambahkan teknologi sensor infra merah dekat tanpa cooler untuk monitoring kebakaran hutan dan pemantauan gunung berapi dan juga sensor medan magnet bumi yang akan digunakan untuk prediksi gejala alam dan juga penelitian geologi. (Ein)
Advertisement