Liputan6.com, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menilai buyarnya kesepakatan damai yang sudah terjadi menunjukkan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengidap dua sindrom. Hal itu terkait munculnya tuntutan baru untuk revisi aturan Hak Menyatakan Pendapat di UU MD3.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PKS Mahfudz Siddiq mengatakan, sindrom pertama adalah kemarahan terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi dari unsur-unsur KIH yang kecewa terhadap formasi kabinet.
"Ada yang tidak terakomodir lalu ngambeknya ke DPR dengan buat DPR tandingan. Sehingga DPR tidak bisa bekerja efektif. Ini sebenarnya pesan ke Presiden Jokowi bahwa pemerintahannya nggak akan bisa bekerja jika DPR masih terbelah," kata Mahfudz melalui pesan elektroniknya, Jakarta, Jumat (14/11/2014).
Advertisement
Ketua Komisi I DPR itu berujar, urusan tersebut akan selesai bila Presiden Jokowi mau mengakomodir kepentingan pihak yang marah dan kecewa.
Sindrom kedua, menurut Mahfudz adalah ketakutan. Yakni, pihak KIH mencoba untuk mengamankan kekuasaan Presiden Jokowi dengan mengidentifikasi kecenderungan sejumlah ancaman dalam kewenangan DPR.
"Hak menyatakan pendapat DPR dipandang sebagai ancaman. Padahal hak tersebut dari dulu sudah ada. Jadi dua sindrom yang mewakili kepentingan dua kubu KIH inilah yang sebenarnya sumber masalah. DPR cuma kena imbasnya saja, tapi KIH coba salahkan KMP," ucap dia.
Mahfudz menjelaskan, KMP solid dalam memberi ruang akomodasi dengan 16 kursi pimpinan AKD dan revisi terbatas UU MD3 dan Tatib DPR. Kubunya, kata dia, juga solid menolak usul revisi hak dan kewenangan DPR yang tak terkait dengan jumlah pimpinan AKD. Selain itu, Mahfudz juga menyarankan pimpinan sejumlah partai KIH segera menyelesaikan masalahnya.
"Karena jika tidak yang akan sangat dirugikan adalah pemerintahan Jokowi. Jika presiden Jokowi maksa kementerian dan programnya berjalan tanpa ada pembahasan (Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga) RKAAL kementerian baru tersebut, maka presiden berpotensi melanggar UU. Dan itu punya implikasi hukum dan juga politik," tandas Mahfudz. (Ans)