Liputan6.com, Jakarta - Kokpit bergetar hebat, deru udara di bagian sayap terdengar seperti jeritan yang memekakkan telinga. Dua orang di sana sibuk mengendalikan konsol yang gemetar, mata mereka nanar menatap lusinan tombol, alat pengukur, layar petunjuk yang berkedip galak. Panik. Sesaat kemudian, pesawat retak lalu pecah.
Peter Siebold tak ingat apa yang terjadi saat ia terlontar dari SpaceShipTwo yang hancur saat melaju dengan kecepatan 1.000 km/jam di ketinggian 15.200 meter di atas permukaan Bumi -- hampir dua kali tinggi puncak gunung tertinggi dunia: Everest.
Tubuhnya yang masih terikat di kursi pilot melayang ke atmosfer tipis di ketinggian 14.000 meter. Di mana oksigen nyaris tak ada, dengan suhu hanya 57 derajat Celcius, sedikit lebih hangat dari temperatur terdingin yang pernah tercatat di Alaska.
Advertisement
Hantaman angin tanpa ampun menghajar tubuhnya. Dalam kondisi buta dan tuli sementara, juga tak sepenuhnya sadar, entah bagaimana ia meloloskan diri dari kursi pilot, kemudian parasut otomatis terbuka membawanya turun ke gundukan pasir Gurun Mojave. Pilot 43 tahun itu shock, terluka, namun masih bernyawa. Siebold sempat merasakan air di lidahnya mendidih sebelum akhirnya pingsan.
Sementara, sang kopilot, Mike Alsbury (39) ditemukan terikat di kursinya, di tengah puing-puing pesawat yang bertebaran di lantai gurun. Nyawanya sudah pisah dari raganya. Ia orang keempat yang tewas demi mewujudkan mimpi wisata komersial ke angkasa luar Virgin Galactic.
Sebelumnya, sebuah ledakan yang terjadi pada 2007, selama tes bahan bakar roket menewaskan 3 pekerja di Mojave Airand Space Port.
Bahwa sang pilot berhasil lolos hidup-hidup adalah hal luar biasa. Apalagi, ia tak memakai baju astronot. Para penerbang yang terbang di ketinggian ekstrem biasanya memakai pakaian khusus untuk keamanan.
“Aku tak bisa membayangkan dahsyatnya kekuatan alam yang harus ia lawan saat terlempar dari dalam pesawat,” kata Jeff Sventek, ahli fisiologi antariksa sekaligus direktur eksekutif Aerospace Medical Association Alexandria di Virginia, seperti dikutip dari situs Ottawa Citizen.
Terjangan angin dengan kecepatan lebih dari 965 km/jam, Sventek menambahkan, bisa membuat tubuh Siebold babak belur Dan, dengan kondisi nyaris tanpa oksigen, ia bisa tak sadarkan diri dalam waktu beberapa detik. Demikian menurut Federal Aviation Administration. Untungnya, tak bakal menyebabkan kerusakan permanen karena berlangsung dalam waktu singkat.
Pada 1965, Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pernah melakukan pengujian terhadap seseorang dalam kondisi nyaris vakum, dan pakaian bertekanannya yang nyaris bocor di kamar atmosfer. Orang itu tetap sadar, namun hanya selama 14 detik, ia terbangun kembali saat modul mencapai ketinggian 15.000 kaki. Ingatan terakhir subjek sebelum pingsan adalah ia merasakan air di lidahnya mendidih.
Misteri Penyebab
Misteri Penyebab
Jumat 31 Oktober 2014, SpaceSwipTwo milik perusahaan Virgin Galactic celaka tak lama setelah melepaskan diri dari pesawat induk WhiteKnightTwo dan menyalakan roket hibrid-nya.
Awalnya semua berjalan normal, pesawat berkapasitas 8 orang itu mulai naik dengan kecepatan 1 Mach atau sekitar 1.210 km/jam. Sembilan detik setelah mesin dinyalakan, terjadi ‘anomali’. Rudder atau pivot wings justru dalam posisi tegak saat pesawat itu sedang naik.
Badan Keamanan Transportasi Amerika Serikat atau US National Transportation Safety Board mengatakan, berdasarkan keterangan pada penyelidik pada 7 November 2014, Siebold mengaku tak menyadari kopilot Michael Alsbury membuka sistem pengereman lebih awal dari yang ditetapkan dalam prosedur.
NTSB mengungkapkan, sistem yang disebut 'feather' itu diketahui terbuka beberapa detik sebelum SpaceShipTwo pecah di angkasa.
Sistem tersebut memungkinkan SpaceShipTwo terbang stabil, mirip gerakan daun yang jatuh. Feather bekerja saat bagian ekor diputar ke atas. Udara yang melewati celah di ekor tersebut memaksa hidung pesawat naik dan menjaganya tetap stabil.
Sistem pengereman itu didesain untuk memperlambat laju pesawat selama proses masuk kembali ke Bumi.
Feather seharusnya tak diutak-utik sampai pesawat mencapai kondisi nyaris vakum di titik tertinggi 361.000 kaki atau 110 km. Di sana para penumpang akan menikmati sensasi tanpa bobot selama 5 menit.
Pilot diinstruksikan membuka kuncian sistem pada kecepatan Mach 1,4 atau sekitar 1.480 km per jam di ketinggian itu. Diduga kopilot memindahkan tombol kuncian saat mencapai Mach 1, sekitar 965 km /jam. Akibatnya, hentakan yang ditimbulkan mengarah ke bencana.
Sementara, switch untuk mengaktifkan mekanisme feather kedua tak disentuh pilot satunya. NTSB sejauh ini masih mengkaji desain sistem feather, pun dengan desain pesawat, dan data-data pendukung lain. Para penyelidik belum mengeluarkan kesimpulan definitif terkait penyebab pasti kecelakaan.
Advertisement
Martir atau Tumbal?
Martir atau Tumbal?
Suatu hari yang cerah di musim dingin 1909 di Hampshire, seorang pria muda bernama Geoffrey de Havilland lepas landas menggunakan kapal terbang dengan baling-baling ganda buatannya sendiri. Dibuat dari bahan sederhana: kayu, kawat bekas piano, dan kain linen yang dijahit oleh istrinya.
Peluncuran awalnya sempurna, sesaat kemudian ia merasakan sensasi naik nyaris tegak lurus menuju langit biru yang cerah.
Namun, tiba-tiba, Havilland menyadari ada yang tak beres. Sudut naik tak stabil. Benar saja, sesaat kemudian, pesawat eksperimen itu pecah, jatuh berantakan jadi ribuan serpihan tajam yang bisa saja membunuhnya sebelum ia jatuh ke tanah.
Entah bagaimana, si pilot selamat. Eksperimen gagal Sir Geoffrey -- ia mendapatkan gelar kebangsawanan atas jasanya menjadi pionir dalam dunia penerbangan -- menghasikan retetan pesawat sipil hingga militer, termasuk pesawat jet komersial pertama di dunia, de Havilland Comet.
Pengamat penerbangan Sam Howe Verhovek langsung teringat kisah itu saat mendengar kecelakaan Virgin Galactic. Sejumlah orang mungkin berpikir, 4 nyawa, 1 pilot dan 3 teknisi, demi mewujudkan mimpi wisata angkasa komersial adalah pengorbanan yang tragis.
Orang-orang itu kehilangan nyawa demi pelesiran mahal sekumpulan triliuner dan selebritis Hollywood, yang tak ragu merogoh kocek hingga US$ 250 ribu demi merasakan sensasi mendebarkan melewati batas atmosfer dan merasakan sensasi tanpa bobot selama 5 menit di atas Bumi, plus berhak mendapat gelar sebagai ‘astronot’.
Saat pesawat naik ke ketinggian 328.000 kaki atau 100 km, melewati Garis Karman -- batas atmosfer bumi dengan angkasa luar. Di situ para penumpang SpaceShipTwo bisa dianggap sebagai astronot.
Namun, pengorbanan mereka mungkin lebih berarti, lebih dari sekedar mati demi hobi orang kaya tanpa nilai praktis.
“Wisata antariksa adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Di masa depan, orang-orang nantinya akan berterimakasih dengan ‘kaum 1 persen’ (orang-orang superkaya). Seperti di masa lalu, hanya mereka yang bisa membeli komputer raksasa supermahal, namun karena merekalah, kita bisa menikmati laptop atau komputer yang saat ini bisa kita beli dengan harga hanya US$ 250,” kata Sam Howe Verhovek, seperti dikutip dari Seattle Times.
Dia menambahkan, Sir Geoffrey tak menyerah membuat pesawat meski nyaris mati akibat kecelakaan. Tak sampai di situ, 2 dari 3 putranya tewas saat mengemudikan kapal terbang Havilland ciptaannya. Pun dengan ratusan atau mungkin ribuan nyawa yang menjadi ‘martir’ perkembangan teknologi dan peningkatan standar keamanan penerbangan saat ini.
Ini yang dikatakan seorang pakar Harvard pada tahun 1908. "Masyarakat terlalu over-estimasi pada pesawat, membayangkan bahwa generasi mendatang akan bisa terbang ke London dalam satu hari. Ini jelas-jelas tidak mungkin."
Namun perkiraannya terbukti salah. Pesawat kini memudahkan kehidupan jutaan orang. Memangkas jarak, mendekatkan antar manusia yang terpisah lautan, samudera, benua. Dan kita pun tak lagi menganggapnya keajaiban.
“Pada akhirnya kita akan sepakat, pesawat luar angkasa tak berbeda dengan kapal terbang biasa,” kata Sam Howe Verhovek.
Senada, Mark Sirangelo, dari Sierra Nevada Corp mengatakan, meski tragis, kecelakaan yang menimpa Virgin Galactic adalah katalis. "Sesuatu yang terjadi untuk membuat kita lebih baik," kata dia. "Kita tak akan punya mobil yang bagus saat ini jika tak pernah ada kecelakaan dan kita melakukan perbaikan."
Bisnis luar angkasa komersial telah menjadi subyek aturan ketat, namun, industri harus membuka diri. "Yang harus kami lakukan, alih-alih melarikan diri adalah untuk menghadapinya, menjelaskan, dan menjadi terbuka serta jujur -- mungkin harus lebih terbuka dari sebelumnya agar masyarakat memahami apa yang terjadi," seperti dimuat Reuters.
Virgin Galactic pun memutuskan tak akan berhenti, meski berduka kehilangan salah satu pilotnya, Mike Alsbury. “Mike akan diingat terus, bahkan setelah kita semua pergi,” kata CEO perusahaan George T. Whitesides.
Pendiri Virgin Galactic, Richard Branson menyebut mendiang sebagai pahlawan. “Dunia kehilangan pionir penerbangan antariksa. Sementara tim kami kehilangan pemimpin, mentor, dan sahabat,” kata dia.
Pesawat SpaceShipTwo kedua kini sedang dikerjakan di hanggar Virgin Galactic. Sudah lebih dari separuh yang digarap dan dijadwalkan melakukan uji terbang pada 2015. Branson mengatakan, para insinyur yang sedang membangunnya memberikan julukan ‘Hope’. Harapan.
“Mike memberi kita harapan itu. Dan sebagai bentuk penghormatan pada Mike, kami akan mewujudkan mimpi yang ia kejar dengan gagah berani,” kata Branson, seperti dikutip dari Geek. (Yus)