Liputan6.com, Yogyakarta - Henri Subianto, dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga saksi ahli dalam sidang kasus pencemaran nama baik oleh Ervani Emi Handayani menyatakan jika Jaksa Penuntut Umum (JPU) salah menggunakan pasal dalam menjerat Ervani. Bagi Hendri Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan untuk menjerat Ervani tidaklah tepat. Pasal dalam UU tersebut tidak jelas dalam makna pencemaran nama baik dan penghinaan seperti yang dituduhkan terhadap terdakwa Ervani.
"Jadi pencemaran nama baik dan penghinaan itu kan sangat subjektif, karena itu perlu diobjektifkan dulu dakwaan terhadap Ervani ini. Pasal 27 ITE tidak mengatur itu, tapi dijelaskan dalam KUHP 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan penghinaan," kata Hendri saat memberikan kesaksiannya di Pengadilan Negeri Bantul, Senin (01/12/2014).
Henri menegaskan jika sebelum membuktikan apakah Ervani melanggar UU ITE pasal 27 ayat 3, harus dibuktikan Ervani melanggar KUHP pasal 310 dan 311 terlebih dahulu.
"Tidak mungkin orang bisa dijerat dengan pasal 27 ayat 3, kalau dia tidak melanggar KUHP pasal 310 dan 311, karena pencemaran nama baik itu diaturnya dalam KUHP itu. Sementara UU ITE merupakan perluasan, jika pencemaran nama baik itu dilakukan di dunia maya. Tapi norma pencemaran nama baik itu sama artinya antara di dunia nyata dan dunia maya," jelas Henri.
Henri melanjutkan, berdasarkan definisi pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik dan penghinaan, status Ervani bukanlah termasuk pencemaran nama baik.
"Dalam KUHP pencemaran nama baik itu adalah menuduh orang melakukan perbuatan, padahal orang tersebut tidak melakukan. Misalnya saya bilang Anda korupsi, itu bisa pencemaran nama baik, jika Anda tidak korupsi. Tapi jika saya bilang anda jelek, itu adalah opini, penilaian, pendapat. Karenanya tidak ada perbuatan yang dituduhkan," papar Henri.
Bagi Henri, perbedaan antara pencemaran nama baik dan pendapat sangatlah jelas. Sehingga terlihat status Ervani yang menyebut Ayas labil, seperti anak kecil dan berlebihan termasuk pencemaran nama baik atau masuk opini.
"Jelas dalam status Ervani hanyalah opini atau pendapat. Perlu diingat semangat UU ITE itu bukan membungkam pendapat. Pendapat, opini tidak bisa dikriminalisasikan," ujar Henri.
Ervani dilaporkan atas tuduhan pelanggaran Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 45 UU ITE. Dia dipanggil polisi pertama kali pada 9 Juli 2014 dan langsung ditetapkan sebagai tersangka. Pada 29 Oktober 2014, berkas kasus Ervani dilimpahkan ke kejaksaan dan Ervani pun sempat ditahan di Lapas Wirogunan, Yogyakarta selama 20 hari.
Saat ini Ervani ditangguhkan penahanannya oleh majelis hakim dan kembali beraktivitas sebagai ibu rumah tangga. Ervani ditangguhkan penahanannya dengan jaminan 50 orang baik dari masyarakat di Gedongan, Bangunjiwo, Bantul hingga tokoh masyarakat.
Kasus ini berawal saat Alfa Janto, suami Ervani yang bekerja di Joely Jogja Jewellery, akan dipindahtugaskan ke Cirebon. Karena merasa tak ada perjanjian dalam kontrak kerja, Alfa Janto keberatan dengan keputusan manajemen.
Penolakan itu kemudian berujung pemecatan. Merasa suaminya diperlakukan tidak adil, Ervani mengeluh di Facebook 13 Maret lalu. Dalam statusnya, Ervani menyebut nama salah satu karyawati yang dianggap berperan dalam proses pemecatan suaminya. (Ans)
Saksi Ahli Pertanyakan Pasal yang Jerat Ervani
Pasal 27 ayat 3 UU ITE yang digunakan untuk menjerat terdakwa status Facebook, Ervani, dinilai tidak tepat.
Advertisement